Rabu, 15 Desember 2010

ANTARA LOGIKA DAN INTUISI


“Walau nilainya mepet, jangan masuk IPS lho Nduk,” kata seorang taxi driver saat cerita padaku tentang anaknya yang (katanya) pintar waktu akan penjurusan di SMA.
Si anak menjawab sambil mewek-mewek, “Jangan sampai deh masuk IPS! Nanti satu kelasnya sama anak-anak bodoh!”

Aku cengar-cengir sendiri mendengarnya. Mau mendebat kok gak worth it, mau membiarkan kok kayaknya gak suka saja dengan salah kaprah yang sudah berurat-akar ini. Hallo, aku sendiri lulusan IPS dan aku sama sekali gak bego ya.


Pemikiran akan aku seret ke kondisi yang aku lihat di sekolah-sekolah. Saat aku mencari informasi sekolah untuk Bob, sebagian besar (kalau tidak boleh aku bilang semua) sekolah membanggakan posisi mereka sebagai pemegang juara olimpiade sains, matematika, IPA. Jarang sekali sekolah yang membanggakan diri sebagai peraih penghargaan puisi, menulis, sastra.
Bagi sekolah dan para orangtua, menjadi yang terdepan di bidang sains jauh lebih membanggakan dibanding menjadi orang yang terasah jiwa seninya. Hal ini juga yang kayaknya akhirnya menjadi patokan para murid untuk berlomba-lomba masuk ke jurusan IPA (minat ataupun tidak). Karena IPA identik dengan otak encer.
Lebih baik mereka menjadi orang yang biasa-biasa saja prestasinya di kelas IPA daripada harus ditimpa malu karena berada di jurusan IPS.

Hal ini membuatku mengaitkannya dengan filosofi Timur yang sedang aku dengarkan saat ini (membuat transkrip seminar Etika Nusantara). Bagi filosofi Timur, posisi seniman berada lebih tinggi dari ilmuwan. Berbeda dengan filosofi Barat yang lebih menganggap logika sebagai hal yang paling penting.
Mengapa bagi Timur rasa lebih unggul dari logika?
Dalam filsafat Timur, ada tahapan mental di mana kehidupan sehari-hari dinalar dengan logika, sedang memaknainya dianggap sebagai gemanya. Gema ini tidak bisa ditangkap setiap orang,karena harus melalui proses pemurnian. Penyaringan, pemurnian, dan penangkapan makna inilah yang dilakukan oleh seniman.

Jadi yang aku pertanyakan sekarang fakta pemakaian pemikiran Barat bahwa logika adalah yang terpenting, saat kita masih sering mengunggul-unggulkan diri sebagai “Orang Timur” dengan “Etika Timur” yang selalu kita kaitkan kala melihat realitas yang dianggap di luar batas kesopanan standar.
Mengapa kita menggunakan standar ganda?
Saat membahas tentang keilmuan, kita selalu mengangap filosofi Barat yang benar (logika lebih tinggi posisinya dibanding rasa), sedang saat sedang membahas norma, kita selalu keukeuh berpegang pada etika yang kita anggap Etika Timur? Padahal kalau boleh mengingatkan, etika adalah produk dari “rasa”.

Aku kembalikan bahasan pada wilayah pendidikan. Aku sangat berharap adanya kesadaran untuk menempatkan pendidikan sebagai kendaraan untuk mencetak manusia yang lebih baik. Dan ini rasanya sangat membutuhkan pengertian dari pihak pendidik dan orangtua untuk lebih memerhatikan minat dan bakat sebagai acuan penilaian prestasi anak.
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa kecerdasan perasaan sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual. Kecerdasan perasaan bisa lebih digali dengan “rasa”.
Jangan jadikan ilmu eksakta sebagai primadona, karena kita juga membutuhkan para ahli “rasa”.
Jangan paksa anak untuk mengakui keunggulan IPA saat akhirnya nanti mereka harus bertekuk lutut di jalur IPC karena memang di situ lah jurusan yang mereka inginkan, atau hanya agar bisa menyelamatkan kesempatan masuk ke universitas negeri. Lebih baik bekali anak dengan apa yang mereka suka dan mereka minati karena itu adalah hidup mereka, bukan alat bagi kita untuk menuai kebanggaan.

(Bob, pada saatnya kamu harus memilih, Mama pastikan Mama bakal mendukung apapun pilihanmu karena bagi Mama, kamu sempurna tanpa berlakunya syarat dan ketentuan)

Selasa, 09 November 2010

MUTLAKKAH HARGA KEPERAWANAN SAAT INI?


Tergelitik oleh postingan salah seorang blogger yang mempertanyakan “Keperawanan, Masihkah Jadi Harga Mutlak?”, aku kemarin mencoba jawab nulis di fitur reply-nya. Eh, ternyata ada sedikit hang yang malah bikin tulisanku hilang.
Baiklah, ini aku coba lagi tulis, tapi dengan media blog yang berbeda.

Keperawanan adalah bahasan yang selalu beredar. Mau kita bilang basi, nyatanya orang masih selalu memperbincangkan. Mau kita blow up, biasanya kaum perempuan akan menjadi pihak yang terugikan. Bagaimana tidak, hanya perempuan kok, yang bisa dituntut untuk berdarah-darah di malam pertamanya.

Kembali ke pertanyaan di atas, saat kita membahas tentang keperawanan, aku lebih senang jika mengelompokkan bahasan ke dalam empat dasar pemikiran. Masing-masing dasar pemikiran akan memengaruhi bagaimana cara kita memandang keperawanan itu sendiri.
1. Kesehatan
2. Agama
3. Sosial
4. Jender

Sebelumnya kayaknya perlu kita batasi dulu istilah keperawanan ini. Apakah benar yang namanya keperawanan adalah bahwa seorang gadis belum pernah “disentuh”, atau harus ada darah yang menitik sebagai buktinya? 
Mengapa batasan ini penting? Karena sobeknya selaput dara adalah penyebab menitiknya darah. Sayangnya, bentuk, kelenturan, dan ketebalan selaput dara ini berbeda-beda untuk masing-masing orang. Sehingga semakin lentur, tebal, dan kuat si selaput dara, akan semakin mengurangi kesempatan organ tersebut akan rusak dan berdarah pada saat tersentuh.
Jadi di sini batasan keperawanan itu akan menjadi bias. Jika akhirnya kita kembalikan istilah keperawanan itu ke keadaan di mana seorang gadis belum pernah “disentuh” sebelumnya, maka keperawanan tidak bisa dibuktikan, karena yang tahu hanya si gadis itu sendiri.
Nah, kalau sudah begitu, terserah deh buat yang mau mengartikan, ke mana keperawanan akan dibawa untuk diartikan. Karena pembahasan ini akan aku bawa lebih jauh lagi.

1. Dari sisi kesehatan, yang dicemaskan dari hubungan seksual adalah kehamilan yang tidak diharapkan, dan atau penularan penyakit yang hanya bisa ditularkan lewat kontak seksual. Jika kita bisa melakukan pencegahan secara maksimal dan bertanggung jawab saat melakukan setiap hubungan seksual, maka KEPERAWANAN TIDAK JADI HARGA MUTLAK.
2. Membicarakan keperawanan dari sisi agama, akan membuat jawaban menjadi KEPERAWANAN MASIH JADI HARGA MUTLAK. Mengapa? Jelas, karena agama apapun, akan selalu menuntut peresmian secara agama sebelum pasangan laki-laki-perempuan bisa melakukan hubungan seks. Jadi jelas suami (pertama) si perempuan yang akan mendapatkan keperawanan. Jika si laki-laki percaya pada si perempuan, berdarah atau tidak, ia akan meyakini keperawanan pasangannya. Jadi sekali lagi, semua kembali pada kejujuran dan kepercayaan, serta niat baik bahwa pernikahan termasuk bentuk ibadah.
3. Sekarang mari kita bahas dari sisi sosial kemasyarakatan. Penilaian masyarakat didasarkan pada norma. Norma tidak membawa sanksi yang mengikat dan membebani. Norma itu sendiri terbentuk dari pandangan masing-masing individu yang menjadi anggota masyarakat, yang akhirnya menjadi konsensus bersama. Pengawasan pelaksanaan norma dilakukan oleh anggota masyarakat sendiri. Jadi sepanjang pelanggaran norma tidak diketahui anggota masyarakat, pelaku pelanggaran bisa melenggang bebas. Sanksi pelanggaran norma (biasanya) adalah pengucilan. Masalahnya, penerapan norma berbeda-beda di tiap kelompok masyarakat. Jadi untuk kasus keperawanan ini, KEMUTLAKAN ATAU KETIDAKMUTLAKAN SANGAT BERGANTUNG KEPADA MASYARAKAT MANA YANG MENERAPKAN.
4. Sekarang mari kita bawa pembahasan ke sisi gender. Dari sisi ini, KEPERAWANAN ADALAH MUTLAK milik perempuan. Keperawanan adalah atribut yang menempel bersamaan dengan atribut keperempuanannya. Terserah dia untuk memberikan kepada siapapun yang menurutnya pantas menerima. Kapan, alasan, kepada siapa keperawanan itu diberikan, tidak akan mengurangi nilai keperempuanan yang ia miliki, dan tidak akan mengurangi kualitas diri. Tolong bedakan kehilangan keperawanan dengan prostitusi.

Bagi aku sendiri, menjaga keperawanan hingga memasuki pernikahan aku lakukan bukan sebagai persembahan kepada suami. Hal tersebut aku lakukan karena aku takut akan mengalami penyesalan. Penyesalan yang seperti apa? Lihat saja keempat kriteria penilaian kemutlakan atau ketidakmutlakan keperawanan yang ada di atas. 


Memandang keperawanan dari menetesnya darah hanya akan memarakkan bisnis operasi plastik pengembalian keperawanan. Maka kalau didesak lebih jauh, aku lebih suka mengupas keperawanan dari sisi gender. Karena di sini, berarti dunia mengakui kendali perempuan atas tubuhnya sendiri.



Minggu, 07 November 2010

Jangan Malu Mengaku Ego


Di tengah masyarakat kita, mengaku kalau memiliki ego kadang dianggap tabu. Karena orang yang memiliki ego kadang dilekati dengan predikat egois. Maka orang berlomba-lomba ingin menutupi egonya. Padahal jika kita mau mengembalikan ke arti sebenarnya, ego memiliki beberapa artian yang mendekati positif.

e·go (kata benda)
1. ide seseorang mengenai nilai penting dirinya biasanya ini tentang tingkatan yang dianggap tepat.
2. pelebih-lebihan nilai diri dan rasa superioritas dibanding orang lain
3. Dalam psikologi aliran Freudian, ego adalah satu dari tiga bagian utama dalam pikiran manusia, yang mengandung kesadaran dan memori dan dipengaruhi oleh kontrol, perencanaan, dan konfirmasi terhadap realitas
4. Diri individual, yang secara jelas terpisah dari dunia luar dan orang lain. (terjemahan bebas dari World English Dictionary)

Artiannya tidak buruk-buruk amat, kan?

Nah, di bawah ini adalah dua kejadian yang menurutku tepat dijadikan contoh di mana ego bermain-main.

Ada seorang teman di agency lain yang marah-marah, saat ia melihat print ad yang ia buat, tiba-tiba sudah diubah-ubah copy-nya. Dan si teman saat itu disodori print ad yang sudah dipermak copy-nya, karena ia diminta untuk tambah memermak lagi.
Temanku menolak. Ia bilang, “Maaf, aku nggak bisa, karena gayanya sudah beda.”

Pernyataan yang menunjukkan tingginya ego temanku, kan? Ia tidak mau merevisi, karena ada orang lain yang sudah merevisi juga sebelumnya. Ada orang lain yang sudah mengobrak-abrik pekerjaannya.

Tapi jangan salah, aku juga bakal bereaksi sama jika dihadapkan di situasi serupa. Mengapa?
Bekerja di Creative perusahaan periklanan, saat menghadapi sebuah campaign, kita selalu mengadakan brainstorming. Di proses ini semua orang yang masuk ke dalam tim akan urun ide, habis itu saling bantai ide, hingga akhirnya keluar dari ruang brainstorming, bukan cuma puyeng kepala yang didapat, tapi setidaknya konsep matang sudah di tangan. Setelah itu, dikembalikan ke masing-masing art director dan copywriter untuk mengolah konsep yang disetujui tim. Nah, hasil itulah yang dijadikan bahan presentasi ke klien. Kalau pada saat internal presentation ada masukan, atau kritikan, atau perubahan, sampaikan saja ke si pembuat. Karena dengan logika yang tepat, pasti masukan, kritikan, dan perubahan itu akan menyempurnakan konsep yang dibuat.
Dalam kasus temanku, selagi dia gak di tempat, ada yang melakukan perubahan copy yang dia buat. Karena menurut si pelaku copy-nya kurang tepat. Setelah bos melihat hasil perubahan, bos datang ke temanku untuk merevisi copy hasil revisi gelap juga. Jadinya sudah tangan ke berapa tuh?
Nah, di sini lah temanku menetapkan garis. Ia tidak bersedia merevisi karena ia merasa itu sudah bukan hasil buatannya.
Mungkin akan lebih tepat, kalau si bos membentuk tim baru untuk memberikan ide pembanding. Tim mandiri yang lepas 100% dari tim awal dengan ide-ide yang segar.
Sekarang, kalo temanku mutung dan sudah gak mau terlibat dengan kerjaan itu lagi, siapa yang bisa disalahkan?

Ada satu kasus lain lagi. Dalam sebuah perusahaan periklanan, alur pengerjaan order adalah:
AE>Creative (AD &CW)>approval CD>AE>Klien
Nah, saat ada pekerjaan pembuatan buletin yang sudah ada materinya, AE langsung masuk ke Graphic Designer untuk membuatkan layout. Proses selanjutnya seharusnya adalah copy proofing untuk mengecek ejaan, penggalan, dan tata bahasa. Karena AE memiliki ketidaksukaan pribadi kepada CW, maka ia bertekad mengerjakan sendiri copy proofing tersebut. CW melihat si AE melakukan pekerjaan yang seharusnya ia lakukan, tapi ia diam saja. Ia biarkan si AE repot mengedit, karena toh memang request pengerjaan tidak pernah ia terima, secara lisan atau pun tertulis. Si AE tahu kalau CW tahu ada pekerjaan itu dan diam saja.
Akhirnya ada pihak lain yang menegur si AE bahwa bukannya itu seharusnya dikerjakan CW?
Dan apa jawaban AE? Katanya, ia mengerjakan sendiri pekerjaan itu karena CW tak mau bantu.

Di sini aku ingin bicara tentang ego. Tidak banyak orang yang mau mengakui ia memiliki ego yang besar. Tapi dalam kasus-kasus di atas, ego memang kadang perlu dimunculkan. Ini hubungannya erat dengan proses penciptaan sendiri.
Kasus 1.
Saat kita membuat sesuatu, maka kita memiliki gambaran jelas tentang latar belakang, proses, dan tujuan pembuatannya. Saat orang lain memutus proses itu di belakang kita, apa dia mempertimbangkan latar belakang, proses, dan tujuan yang kita ambil? Apalagi seperti kasus teman itu, perubahannya di saat ia sedang tidak ada di tempat. Jadi bagiku sah-sah saja buat teman untuk memutuskan mundur dari tim campaign tersebut. Ia mempersilakan bosnya untuk menyelesaikan campaign itu tanpa keikutsertaan temanku itu.

Kasus 2.
Di kasus 2, ada 2 ego yang berkeliaran. Ego pertama muncul dari si CW yang keras kepala tak mau ikut copy proofing karena tidak ada request lisan/tertulis. Ego kedua muncul saat AE tahu bahwa CW tahu ia mengedit sendiri, sehingga itu membuahkan cap si CW tak mau bantu. Di sini, sudah jelas, mana telurnya mana ayamnya. Sehingga awal mula keruwetan bisa ditelusuri dengan mudah.

Ada ego yang dengan bangga dipertahankan. Ada ego yang bisa ditekan jika dipancing dengan sikap yang tepat. Ada pula ego yang sebaiknya dibuang karena menghambat pekerjaan.


Kamis, 04 November 2010

Saat hal "tidak penting" tiba-tiba menjadi urusan penting


“Kenapa sih kamu gak temenan dengan dia di Facebook?” tanya si A
Si B menjawab, “Wah, buatku tidak penting berteman dengan dia.”

Itu diucapkan si B tentang teman sekantornya, padahal semua teman sekantor ada di friends list-nya. Jadi buat si B, hanya satu orang itu saja yang “tidak penting”. Padahal, kalau boleh mengingatkan, bahkan tahu tentang Facebook saja dia kenalnya dari si “tidak penting”. Tahu tentang Friendster juga dari "tidak penting”. Jadi “tidak penting" ternyata memberi informasi dan pengetahuan yang penting kan?

Sekarang, begitu si “tidak penting” tahu alasan dia di-remove dari FB si B (meski fakta ter-remove sudah tahu sejak April 2009), dan berkata bahwa “ra kekancan ra patheken”, si B kebingungan sendiri dan bikin apologi bahwa alasan dia tidak berteman dengan “tidak penting” di FB karena “ingin meminimize bentrokan dan cara pandang yang berbeda”.

Hmm ... sekali lagi, itu hanya apologi. Karena toh seluruh orang kantor juga gak bakal punya pandangan yang sama. Kenapa juga hanya satu orang (dan suaminya) yang dia remove? Apa karena si "tidak penting” dulu beberapa kali minta uang taksi sebagai pengganti transpor lembur? Atau karena suami si tidak penting ‘masuk’ ke ruang direktur dan berkantor di sana? Atau karena si “tidak penting” menurut si B tidak mau masuk ke ruang Keuangan? Atau karena suara “tidak penting” yang sering didengarkan Bos, dan Bos bertindak mempertimbangkan pendapat “tidak penting” yang menurut si B itu sebagai bentuk pilih kasih Bos?

Kalau memang itu alasannya, "tidak penting" kasihan sekali dengan si B yang mau berepot-repot mengotori hatinya selama ini dengan asumsi-asumsi tentang "tidak penting". Karena toh si B tidak pernah bertanya pada “tidak penting” masalah-masalah di atas. Dia hanya berasumsi dan akhirnya menyebarkan asumsi itu kepada orang-orang lain, membuat semua orang punya persepsi keliru tentang si “tidak penting” bahkan ke orang baru.

Sebagai penjelasan untuk hal-hal di atas:
1. Si “tidak penting” sebenarnya tidak pernah minta uang ganti taksi ke kantor. Secara pribadi, “tidak penting” minta pada Bos untuk mengganti uang taksi dengan uang Bos pribadi, karena ia tahu, jika minta ke kantor pasti akan muncul polemik (terbukti kan?). Kalau akhirnya Bos reimburst ke kantor, itu di luar kehendak si “tidak penting”. Bukan karena si “tidak penting” tidak mau masuk ke ruang Keuangan. Hanya karena memang urusan uang taksi menurut “tidak penting” ia minta pada Bos secara pribadi. Yang akhirnya selalu membuat "tidak penting" kecewa saat ia diacungi form reimburst untuk ditandatangani, oleh Bos.

2. Suami “tidak penting” masuk dan berkantor di ruang direktur bukan karena suami “tidak penting” pengen jadi direktur. Tapi waktu itu karena semua meja penuh, dan Bos sendiri yang menawarkan untuk berbagi ruang. Jangan kira suami “tidak penting” bahagia dengan kondisi itu. Karena ia tahu, apa yang tampak, selalu diterjemahkan sebagai hal yang berbeda di kantor, tanpa usaha untuk klarifikasi pada yang bersangkutan.

3. Mengenai suara yang didengarkan, sebaiknya kita kembalikan ke duduk permasalahan. Seorang Bos tidak bodoh. Kalau bodoh ia tidak akan bisa dipercaya menjadi Bos. Jika ia mendengarkan “tidak penting” itu karena apa yang dibicarakan “tidak penting" logis dan masuk akal, dan didasari pada keinginan untuk melihat kondisi kantor yang lebih sehat. Jika akhirnya diterima sebagai bentuk pilih kasih Bos, itu karena B tidak mau susah-susah klarifikasi, hanya ngrasani di belakang, sehingga opini tidak terbentuk dengan objektif. Tanpa B tahu, Bos juga sering tidak sependapat dengan "tidak penting". Tapi hal itu tidak untuk diketahui semua orang, kan?

“Tidak penting” tahu soal ia tidak disukai B bahkan mungkin sejak 2006, meski alasan tidak sukanya itu tidak berhasil ditemukan (karena B memang tidak punya alasan kuat!). “Tidak penting” tadinya menganggap itu tidak perlu dipermasalahkan, karena rasa tidak suka itu manusiawi. Kita tidak bisa memaksakan hati. Tapi kalau hal itu diangkat ke orang lain, itu lain perkara. Apalagi jika alasannya tidak masuk akal. May God bless her.

“Tidak penting” sudah berusaha bersabar dengan tingkah B sejak lama. Jangan dikira jika suatu hal tidak diungkap, itu berarti karena “tidak penting” tidak tahu. Tapi itu karena “tidak penting” menganggap itu gak worth it, dan gak nganggu alur kerja. Jangan dikira pengetahuan “tidak penting” hanya berasal dari A saja. Karena seperti ungkapan klise yang sering kita dengar, “Dinding bisa punya telinga”. Dan banyak orang kantor yang dengan suka rela tanpa ditanya memberikan informasi mengenai topik pembicaraan B selama ini tentang “tidak penting”.

Tapi kalau melihat perilaku B, kelihatannya B bahkan tidak bisa membedakan masalah pribadi dengan masalah pekerjaan di kantor. Mau bukti?

Pekerjaan editing yang harusnya masuk ke “tidak penting” repot-repot dikerjakan sendiri oleh B karena ia tidak mau mencoba berkoordinasi dengan ”tidak penting” dengan risiko kemungkinan kesalahan, dan kerepotan. Itu bukan perilaku yang profesional, bukan?

Karena urusan kerjaan itu bukan “bantuan”. Tapi “kewajiban”. Jadi memang “tidak penting” wajib mengerjakan pekerjaan itu (jika ia tahu). Dan itu sebenarnya tidak akan mengganggu niatan untuk tetap "tidak penting berteman”. Jangan harap "tidak penting" meminta pekerjaan, karena urusan alur kerja, perpindahan job, itu tugas B. "Tidak penting" tidak bakal tahu keberadaan kerjaan jika tidak ada yang memberitahu. Tapi for the sake of professionalism, "tidak penting" tidak akan menolak job apapun yang masuk, meski itu datang dari orang yang membenci "tidak penting".

Mungkin ini memang tidak penting dibahas. Tapi kalau akhirnya jadi perpecahan, mungkin tradisi ngrasani sebaiknya dihapuskan. Mungkin yang ngrasani tidak merasa ia/mereka melakukannya. Tapi kalau kita membicarakan hal-hal tentang orang lain di belakang orang itu, namanya tetap ngrasani. Apalagi kalau akhirnya topik itu bisa didengar objek rasanan dan menimbulkan masalah tambahan.

Urusan kantor sebaiknya tetap jadi urusan kantor. Jangan dijadikan urusan pribadi. Kalau ada masalah dengan alur kerja di kantor, lakukan konfirmasi, bukan hanya mancing-mancing jawaban tanpa ketahuan background jelasnya.
Contohnya saat "tidak penting" berkali-kali ditanyai oleh orang berganti-ganti (dan sering diulang tanya lagi) masalah "sebenarnya ongkos taksi dari rumah ke kantor itu berapa sih?". "Tidak penting" tahu, para penanya pengen "tidak penting" terjerumus dan menjawab, (mungkin) "sepuluh ribu". Padahal selama ini klaim taksi yang masuk 50rb. Hmm ... mungkin para penanya itu sebaiknya sekali-kali ikut pulang "tidak penting" agak bisa membuktikan sendiri.

Mau tahu efek buruk dari hal di atas? Seperti di atas inilah salah satu efeknya.

Apa yang "tidak penting" tahu dari A, bukan penyebab terpecah-belahnya kantor, karena "tidak penting" sudah tahu hampir semua masalah yang dikatakan A jauh sebelum A mengatakan apapun. bahkan sampai sekarang pun ada hal-hal yang belum dikatakan A yang sudah "tidak penting" tahu. Tapi sejak awal "tidak penting" memang berusaha untuk tidak mengangkatnya.

Apa yang kemarin muncul di FB "tidak penting", itu hanya untuk kalangan "teman" si "tidak penting". Hanya ungkapan kemangkelan sesaat karena insight yang didapat secara tiba-tiba. Sebenarnya itu tidak akan mengubah bentuk (tanpa) hubungan antara "tidak penting" dengan B. Basa-basi masih bisa jalan terus, karena itu tidak berpengaruh apapun. Apapun yang B katakan, selama ini tidak pernah memberi pengaruh apalagi sampai mencederai "tidak penting". Hal di atas (mengenai ketidaksukaan B), tidak akan menjadi perkecualian.

Karena itu hanya lagu lama yang didendangkan penyanyi berbeda.


Rabu, 13 Oktober 2010

Apakah mahasiswa memerlukan mata kuliah Sopan-santun?



Kalau pertanyaan itu ditanyakan pada aku saat ini, maka jelas jawabanku adalah: TENTU SAJA, STAT! URGENT!

Aku ingat, beberapa hari yang lalu si Bob yang baru 5 tahun komplen, “Kok aku disuruh-suruh terus, diatur-atur terus, Ma? Terserah aku dong!”
Aku tanya, “Memangnya kenapa Sayang?”
Bob menjawab, “Bosen! Aku kan pengen semua terserah aku!”
Oke. Lalu aku jelaskan, bahwa dia baru 5 tahun. Anak seumur dia sampai lulus SMA adalah anak yang ada di masa belajar bertanggung jawab dan belajar disiplin. Anak di rentang usia tersebut belum bisa diandalkan untuk membedakan antara benar dengan salah, baik dengan buruk, pantas dengan tidak pantas.
Dan Bob kembali bertanya, “Disiplin itu apa?” Hmm, aku terangkan, bahwa disiplin itu adalah mampu mengikuti aturan yang ada, mampu mengatur diri sendiri.
Masih penasaran, ia kembali bertanya, “Lalu kapan dong aku bisa disiplin?”
Waduh. Akhirnya aku jelaskan, disiplin itu musti dilatih. Itulah mengapa anak seusia dia sampai lulus SMA harus mengikuti aturan orangtua dan guru. Karena orangtua dan guru lah pihak-pihak yang menanamkan disiplin, tanggung jawab, sopan-santun, dan budi pekerti.
“Lalu kalo sudah lulus SMA?” kejar Bob.
“Anak yang sudah lulus SMA, anak kuliah, biasanya diharapkan sudah mampu untuk belajar mandiri, disiplin, dan bertanggung jawab. Mereka harus mulai menerapkan aturan untuk diri sendiri. Berangkat dan bangun tidur tidak diatur, belajar tidak diatur. Nanti kalo sudah lulus kuliah dan kerja, diharapkan mereka sudah siap menjadi orang yang benar-benar disiplin, mandiri, dan bertanggung jawab.”
Di sini Bob mulai berusaha memahami.

Sayangnya ternyata selama beberapa bulan terakhir ini aku justru membuktikan sendiri kalo teoriku bahwa anak kuliahan sudah memiliki sopan santun dan pantas untuk mulai diberi kebebasan mengatur kemandirian, kedisiplinan, serta tanggung jawab adalah salah. Anak kuliahan juga aku buktikan sendiri masih jauh dari standar moral dan pekerti yang berlaku di masyarakat umum. Pendapat ini aku dapat setelah aku mengalami sendiri rendahnya nilai-nilai dasar manusiawi yang dimiliki anak kuliahan jaman sekarang (maaf, mungkin pendapat ini mengandung generalisasi).

Mari aku ceritakan dua peristiwa yang mendasari generalisasi ini:
1. Ini tentang satu kampus di mana aku ngajar mata kuliah Komunikasi Periklanan saat semester ganjil dan Manajemen Periklanan saat semester genap.
Jumlah mahasiswanya hanya enam orang. UAS tiba. Dua minggu sebelum jadwal ujian mata kuliah yang aku ampu, aku memberikan tugas sebagai pengganti ujian dengan catatan tugas tersebut harus dikumpulkan pada hari dan jam ujian. Lembar tugas aku bagikan disertai satu soft copy untuk file bagian Pengajaran. Saat hari ujian tiba, tak ada seorang pun mahasiswa yang hadir dan menyerahkan ujian (untung aku tidak menunggui sendiri ujian tersebut) tanpa ada pemberitahuan apapun. Mereka baru mengumpulkannya dua minggu setelah tanggal ujian.
Baik, aku maafkan sekali ini. Dan semester berikutnya kami bertemu lagi di mata kuliah Manajemen Periklanan. Kami kembali menjalani perkuliahan dengan lancar, meski masalah kesukaan mereka membolos bareng-bareng kembali jadi salah satu hal yang menggangguku. Bayangkan saja, apa mereka tidak bisa berpikir untuk sekedar menelpon memberitahukan bahwa mereka tidak bisa masuk kuliah? Apa mereka tidak bisa berempati membayangkan pengajar yang bersusah payah meluangkan waktu untuk memberi tambahan ilmu, harus kecewa saat datang ke kampus dan menemui kelas yang kosong melompong? Pengalaman ini ternyata juga dialami dosen-dosen yang lain.
Saat UAS. Ternyata modus ketidaksensitifan mereka tersebut berulang lagi di UAS Manajemen Periklanan. Aku tunggu sampai seminggu setelah hari ujian, tetap tidak ada yang mengumpulkan tugas. Aku sampaikan ultimatum lewat bagian Pengajaran, bahwa aku sudah tidak akan mengambil tugas mereka ke kampus. Jadi aku persilakan yang menginginkan nilainya tetap keluar untuk mengumpulkan tugas mereka ke kantorku. Mereka akhirnya mengumpulkan tugas dua minggu setelah hari ujian. Nilai pun aku keluarkan dengan memberi nilai minimal untuk tugas UAS mereka, sehingga satu dari enam orang mahasiswa tersebut tidak lulus. Yang lainnya lulus dengan nilai mepet.
2. Pengalaman selanjutnya terjadi baru dalam minggu ini. Tentang satu kampus di mana aku mengajar Manajemen Periklanan di semester ganjil dan Copywriting di semester genap.
Di awal perkuliahan Manajemen Periklanan, aku memberikan tugas review buku bagi 38 peserta didik. Seminggu kemudian sebagian besar dari mahasiswa mengumpulkan tugas, meski kebanyakan masih bingung dan kurang memuaskan hasilnya.
Oke, itu bukan masalah karena aku bisa memberikan solusi perbaikan nilai. Perkuliahan pun aku anggap berjalan cukup lancar setelahnya. Kemarin, aku iseng dan sengaja membuka-buka profile-profile mahasiswa peserta Manajemen Periklanan tersebut di Facebook. Bukan pekerjaan yang gampang, karena belum ada satu pun yang masuk ke dalam friends list-ku dan kebanyakan menggunakan nama-nama samaran yang bahkan untuk melafalkannya pun sulit. Tapi aku punya satu dan lain cara untuk mencocokkan track mereka, dan masalah ini bukan intinya kok.
Singkat cerita, di salah satu profile ada yang menulus status JUNGLE BITCH ... JAM YAH MENE TUGASE LG RAMPUNG, ASYU ... GEK KERTAS QUARTONE ENTEK SISAN. JINGAN2 ... Banyak tanggapan yang masuk. Salah satunya dari teman dia (peserta manajemen Periklanan juga) yang menanyakan apa dia sudah selesai dengan tugas yang aku berikan. Tapi ia memberikan embel-embel ‘nggateli’ di depan namaku.
Aku kaget banget baca itu. Karena:
a. Seumur-umur aku ngajar di kampus tersebut (mahasiswa angkatan-angkatan sebelumnya), belum pernah ada mahasiswa yang bersikap tidak sopan terhadapku. Selama ini kami berhasil menjalin hubungan saling menghormati.

b. Baru pertemuan pertama oknum tersebut sudah berani menempelkan kata super kasar/kurang ajar/nggak sopan kepada aku? Apa pengalaman interaksinya sudah cukup untuk itu?
c. Tugas aku berikan untuk bekal pemahaman mereka di pertemuan-pertemuan selanjutnya. Tugas tidak aku berikan karena aku iseng atau pun aku secara subjektif ingin menyiksa mahasiswa.
d. Tugas itu hanya review buku, for God’s sake! Apa sih dari review buku yang layak diberi umpatan ‘nggateli’?
e. Mahasiswa menggunakan kata-kata umpatan dan kasar di forum yang bisa dibaca orang banyak? Apa bagusnya? Apa bangganya?
f. Last but not least, kita semua tahu Facebook adalah forum umum. Dan banyak kasus yang menceritakan orang-orang terperosok masalah pencemaran nama baik, penghinaan, dll di micro blog ini. Tidakkah ybs belajar dari berita-berita yang ada?

Ingat tidak, disiplin, budi pekerti, sopan-santun, dan rasa tanggung jawab yang aku sebut di atas? Terasa banget kalau orangtua berandil besar dalam penanamannya. Nah, apa aku salah jika aku mempertanyakan orangtua jenis apa yang membesarkan para mahasiswa tersebut di contoh? Apa perlu kampus mempertimbangkan sopan santun dan budi pekerti untuk dimasukkan dalam silabus perkuliahan? Karena ternyata bekal yang selama ini mereka dapat masih sangat kurang.
Aku menganggap hal ini terjadi karena kegagalan pengasuhan dari orangtua dan kegagalan pendidikan di jenjang sebelumnya.
Dengan contoh seperti di atas, bisa dibayangkan atau tidak, bagaimana kacau-balaunya dunia kerja yang bakal mereka masuki? Bagaimana kagetnya partner kerja yang mereka temui? Bagaimana shock-nya klien yang harus menghadapi?

Sebagai catatan saja: aku mengajar di mana pun, karena kampus yang memintaku. Tak ada latar belakang finansial yang menjadi dorongan, meski tentu saja ada biaya transportasi yang wajib ditanggung kampus. Waktu yang banyak tersita, emosi ekstra yang harus disiapkan, pikiran yang harus diperas-peras adalah konsekuensi yang sama sekali tak bisa diukur dengan uang. Apalagi aku masih aktif bekerja di sebuah perusahaan periklanan.
Kepuasanku hanya bisa diperoleh dengan keaktifan mahasiswa di ruang kuliah, usaha dan nilai yang mereka dapatkan, pengakuan dari pihak luar atas prestasi yang mereka capai, serta senyum tulus yang mereka berikan untuk ilmu praktis yang diterima yang memang tidak tersedia di kampus. Niat awal mengajar adalah untuk berbagi ilmu mengharap berkah Allah dari keikhlasan yang selalu aku coba lakukan.

Apakah aku harus mengkaji ulang motifku?

Kamis, 07 Oktober 2010

Memahami konsumen butuh pemahaman ekstra

Mendengarkan adalah kerjaan yang pasif. Secara skill-pun, mendengarkan membutuhkan skill yang lebih rendah dari berbicara. Tapi di dunia yang berhubungan langsung dengan pelanggan, ternyata skill mendengarkan lebih sulit untuk diterapkan. Padahal, mendengarkan adalah kunci pertama menuju pemahaman.

Aku suka banget dengan artikel buatan temanku, Bambang Sukma Wijaya yang sudah pernah dia posting di blog dia sendiri. Berhubung nyari link-nya kok susah banget (dan aku sudah pernah ngopi ke MS Word), jadi maaf ya Bambang ... copasnya gak pake share link. hehehe. Intinya aku hanya pengen mengingatkan (diri sendiri) kalo nulis iklan bukan hanya kemampuan menyusun deretan kata-kata indah. Nulis iklan juga bukan hanya kemampuan bikin headline dan tagline yang ngebom. Tapi nulis iklan lebih banyak mementingkan kemampuan memahami pemasaran, pengetahuan tentang brand, dan pengetahuan tentang si target audience (si raja) itu sendiri


Have you ever been fed up to the children’s act? They’re crying when you don’t give what they want. They protest when you don’t put enough attention. Like children, consumers are also having the same characters. Of course the consumers are not our beloved children, but, unfortunately, they–as the traditional wisdom says—are the king. So, we have to understand their characters in order to preserve them.

I’m very important

Look at a consumer who attends a shop. They want to be served especially, even they only look around or just window shopping. They want to be always being heard, and if they feel ignored, they would sulk.
Like a child, they will show their dislike or do something annoying to get our attention, such as complain in yelling or write to newspaper with words full of hatred, and then they moved to other shop or brand to express their protests. They mope because we had failed to make them the very important attentively, treat them with care, and the most important, love them.

My own must be better than my friend’s

Ichal, an employee who offices at Menteng, just changed his cellular to the latest model as he
and actually she doesn’t really need the feature also. “I just want to try it while it was in the
free-tariff promo and wanted to show my sophisticated phone,” she said as she laughs.
Rahmat Susanta, editor in chief of Marketing magazine has approved upon the facts.
According to him, the consumers sometimes ask for features that not exist in their product while their friend’s or other people’s have it, even they might not need or use the features it self. “They envy if other people’s have more,”

In the telecommunication market, we can see many costumers complain, either about the operator (service provider) or the handset. Our research revealed that some respondents have moved from one operator to other operator as their complain. And when we ask them, they really have a lot of expectations on their chosen operator service. The tariff must be low, the credit Reload must be easy, the network has to be excellent, and it has to have a lot of bonuses and features, and so on. There is no other way to win their heart except understanding them like we
understand our own child. It means we listen to them seen it in a magazine. He assured
that his friends have not having one of those. “It feels cool to own something that others haven’t own it,” he revealed as he shows his Nokia E90. Erna, a MarkComm Mercu Buana University student, revealed that she has moved recently to another operator because it offers more
sophisticated 3G services than her friend’s operator, even that means she had to buy a new handset that provide 3G which is more expensive. When her friends only make calls and send SMS, she does video call and chatting. It makes her proud. But now, she doesn’t use the 3G services anymore because the promo has ended and the operator are now charging the service,
Susanta said. He gave an example of many people has chosen operator with free roaming service, even though 90 percent of them are rarely out of town. That’s why we have to be
smart on reading what the consumer wants. It might be unrealistic and frustrating, but
that’s how a child does. “They always demand what they wants or needs are available in
time,” Susanta adds.

So, if we have the patience or experience of taking care children, we probably could
successfully handle our consumers. Let’s prove it!

Rabu, 06 Oktober 2010

Menyikapi Kecurangan Calon Klien


Seorang calon klien mengajak ketemuan karena ia ingin membuat event dan sekalian membuat logo perusahaan barunya. Akhirnya kita datang berempat.
Perkembangan selanjutnya, si calon klien banyak bertanya soal strategi menggelar event, plus minus venue, budgeting, konten, dll, dll. Tentu saja dia juga minta beberapa alternatif logo untuk kita tunjukkan.
Beberapa hari kemudian kami datang lagi dengan hasil logo (yang menurut kami kurang maksimal, karena memang input dari dia tidak memadai) yang niatnya kami gunakan sebagai pancingan supaya dia bisa memberi masukan lebih jauh lagi.
Ternyata pembicaraan kali itu merembet ke biaya-biaya yang harus dia keluarkan. Setelah dikomparasikan dengan perusahaan lain, dia memandang bahwa harga kita lebih mahal. Padahal kita memberikan beberapa penjelasan di mana letak kemahalan tersebut bisa dirasionalisasikan. Dia juga kaget dengan beberapa treatment pemberian harga dari kita (yang memang sudah blunder dari awal ketemu). Hingga saat itu pun aku ngerasa, prospek kerjasama antara dua pihak kecil sekali bisa terjadi.
Nah, bener saja. Setelah itu, selama beberapa hari si klien jadi sulit banget dihubungi. Akhirnya baru hari ini aku dengar kabar kalo dia gak jadi pake kita dengan alasan, “Tidak suka dengan desain logo yang kita ajukan”. Padahal sejak awal kan memang sudah aku terangkan tuh, kalo logo yang kita ajukan ke dia cuma pancingan, karena input yang memang minim banget, padahal ekspektasi dia tinggi.
Jadi sampai di sini saja lah hubungan kerja sama yang belum terjalin.
Ganjelanku adalah …
Selama beberapa kali pertemuan, aku sudah diseret ke tempat si klien untuk memberikan advis banyak sekali. Dengan gagalnya proyek ini, yakin deh, dia pasti lari ke agensi lain pilihan dia, dengan bekal advis segudang yang sudah terlanjur kita berikan.
Aku pengen banget kita bisa nge-charge cancellation fee. Tapi sayang, selama ini kasus cancellation fee belum pernah naik ke permukaan kantor. Jadinya sekarang aku ilfil banget. Rasanya kok dikadali tanpa bisa balas. Dirampok tanpa sempat menjerit minta tolong, ditipu tanpa bisa lapor polisi.
Ada beberapa pemikiran yang sempat muncul untuk kasus-kasus seperti ini:
1. Jelas, seharusnya kita menerapkan cancellation fee dari awal. Sebelum klien memanggil, kita tegaskan bahwa memang begitulah cara kerja yang benar. Bukannya datang dengan full team, habis itu diskusi panjang lebar, dan kerjasama dibatalkan secara sepihak.
2. tapi jika itu dilakukan, maka pasti akan muncul ganjalan di tim Marketing. Bagaimana mereka bisa ‘jualan’ jika calon-calon klien mereka sudah ditakut-takuti dari awal dengan cancellation fee?
3. Nah, agar besok lagi kasus seperti ini tak terjadi lagi dan lagi, kayaknya harus ada rumus baku yang musti kita canangkan. Menurutku sih … saat ada calon klien menghubungi, sudah tugas Marketing untuk menindaklanjuti. Temui si calon klien, cari tahu kebutuhan mereka, cari tahu ekspektasi mereka, pastikan keseriusan mereka, dapatkan insight mereka, gali kebingungan mereka. Setelah itu, masih tugas Marketing untuk memberi arahan awal dan merumuskan sejauh mana tim kita perlu terlibat dalam memberikan advis. Karena terlalu banyak overhead karyawan yang didatangkan untuk calon kien akan berimbas pada biaya operasional yang terbebankan bagi proyek yang belum pasti kan?
4. Jika memang rumusan sudah didapat, masih tugas Marketing untuk membicarakan term and condition kerjasama, termasuk pembebanan cancellation fee.
5. jika kesepakatan sudah dicapai, baru deh tim lebih luas boleh dilibatkan.

Semoga pemikiran ini bisa jadi patokan tim kantor dalam mengadakan pertemuan dengan calon klien. Semoga kesebalan tidak muncul lagi kemudian. Semoga besok lagi blunder-blunder tidak perlu terjadi dan pertemuan dengan calon klien bisa membuahkan kesepakatan.

Selasa, 21 September 2010

HASIL PANDANGAN MATA DAN REKAMAN TELINGA DARI KUNJUNGAN KE KLIEN SORE TADI ...

d
Sore tadi kami berempat datang ke klien dengan maksud mempresentasikan logo yang diminta dan mendiskusikan beberapa hal lainnya ... Resume pembicaraan:


1. Klien keberatan saat kita mematok harga logo, karena mereka berasumsi jika mereka nantinya produksi di company kita, maka logo dan desain material promo bakal gratis tis ... (gak tau deh, bagaimana asumsi itu bisa tercipta, secara dari awal kita sudah memberikan ancer2 'bakal ada harga').

Hmm ... halo, komponen penawaran kita selalu terdiri dari 3 item. logo & corporate identity, graphic designs, production. kalau brosur dan atau company profile masih mengharuskan kita melakukan riset sendiri dan kemudian menyusun copywriting-nya, maka bakal muncul juga komponen copywriting. Nah, logo & corporate identity jelas harus terbayar. sedang graphic designs dimunculkan harganya untuk 'njagani' kalau klien menyukai desain kita, tapi tidak cocok dengan harga produksi kita, hingga hanya menghendaki konsep yang kita bikin dan akan memproduksinya di percetakan lain. Nah kalo klien produksi di tempat kita dengan jumlah yang cukup banyak, biasanya company bisa membertimbangkan diskon untuk di posisi graphic designs sebagai compliment.


2. Klien shock waktu kita bilang harga logo 1 juta (hmm ... itu harga buat klien lokal yang baru akan mulai usaha. untuk klien mapan, tentunya harganya gak bakal sejumlah itu). Kemudian mereka mengira harga logo bakal hanya 250rb.

Makanya begitu angka 1 juta muncul, sesi curhat pun dimulai :) ...
Akhirnya kita jelaskan, kalo harga 250rb bisa kita berikan untuk logo event yang tempo penggunaannya terbatas. Untuk corporate logo, jelas angka tersebut terlalu rendah, secara logo sebenarnya bisa kita jual sampai puluhan juta rupiah. Harga 1 juta kita munculkan karena klien adalah perusahaan yang baru akan berdiri, dan dengan harapan kerja sama kita bakal jangka panjang.


3. Waktu kita ngebahas lokasi tempat usaha, giliran kita yang cerita kalo kita agak2 shock. Soalnya lokasinya bener2 in the middle of nowhere. Bayangkan saja, di luar jalan utama, masuk ke jalan berbatu, ketemu semak-semak di pinggir jalan, dapat kompleks perumahan di sebelah kiri, masuk ke jalanan ber-paving block, belok ke kiri, ada tanah kosong di beberapa petak, dan TADA! di situlah lokasi usaha. Bener2 tempat jin buang anak. Kita tanyakan kemungkinan untuk mengganti lokasi, dan jelas dijawab nggak mungkin, karena sewa sudah dibayar. Wow, tugas berat untuk membuat sign board, tugas berat buat promotion materials, tugas berat buat babat alas ...

Waktu mempelajari Marketing Mix, kita mengenal Product-Price-Place-Promotion. Tapi selama ini aku belum pernah berjumpa dengan lokasi usaha yang 'semenantang ini'. intinya adalah, bagaimana bisa menyeret konsumen untuk mau menggunakan jasa usaha klien di tempat yang ngumpet gitu, sementara jenis usaha yang dijalankan klien adalah jenis usaha dengan kompetitor yang sudah cukup banyak. Kompetitor juga memiliki lokasi yang relatively lebih strategis. Untuk kasus ini aku benar2 bisa menghayati frasa 'hanya Tuhan yang tahu'.


4. Klien mempertanyakan "Kenapa saya harus bayar harga desain. Padahal kan kalo brosur, materinya sudah dari saya. Foto, juga kemungkinan dari saya. Jadi tugas Anda 'cuma' mengatur-atur posisi"?

Akhirnya penjelasan harus sampai ke pentingnya corporate identity. Satu pemahaman di luar hanya sekedar penempatan naskah dan foto di bidang corel draw. Pemahaman mengenai corporate identity dimiliki para graphic designers. Mereka yang tahu, bahwa tiap komponen warna, bidang, font, gambar, dan grafis, sangat menentukan bagi kepribadian yang akan dibangun corporate. Skill itu yang membuat graphic design dan logo memiliki harga, bukan hanya jadi compliment semata.


5. Klien bertanya, untuk buku tahunan, bisa nggak ditulis dengan 3 bahasa: Indonesia, English, dan Mandarin (plus tulisan Mandarin)

Hmm, untuk yang ini terpaksa aku laporkan dengan pembukaan: Ooops!
Kita tadi jelaskan ke klien, kalau di kantor gak ada yang punya kemampuan dengan bahasa dan tulisan Mandarin. Jadi untuk editing bakal jadi masalah tersendiri.
Tapi ternyata baru saja aku diberi tahu, kalo hal itu bisa dengan mudah diselesaikan. Berikan saja template kosong ke klien dalam bentuk print out. Di print out itu, kan kelihatan space yang bisa diisi dengan tulisan Mandarin. nah, persilakan saja klien menulis sendiri seukuran kolom yang tersedia. nanti, kita setting pake page up, terus ditempel deh ke corel draw template. Hehehe ... untuk yang ini, terpaksa bakal ada ralat ke klien deh besok :P

Fiuuuuhhh ... (kipat-kipat keringet di jidat, dan kita pun beranjak pulang)

Kamis, 05 Agustus 2010

Aku tidak suka Barbie, bisakah aku bikin anakku berpendapat sama?



Pulang kerja, aku dapat suguhan Rapunzel dan Aramina tergeletak telanjang tanpa daya. Oke, di mana pakaian mereka? Segera aku bongkar tumpukan barang-barang gak penting yang sudah diwanti-wantikan Bob untuk jangan dibuang (cuil-cuilan tisu, bungkus kado ulang tahun dia bulan lalu, potongan-potongan kayu, tiket bis kota, dan struk belanja lecek). Ada juga pakaian-pakaianku yang dipinjam Bob sebagai properti main peran-peranan.
Akhirnya pakaian Rapunzel dan Aramina bisa ketemu di balik bantal-bantal.

Fakta ini semakin bikin aku memikirkan kembali keputusan membelikan Bob boneka Barbie, meski alasan pembelian waktu itu bukan karena ketertarikannya pada sosok Barbie yang cantik, montok, dan berpakaian bagus. Bob begitu menginginkan Barbie (sampai minta dibelikan oleh pakdhenya dari Jakarta karena di Solo belum ada). Di sini Barbie berperan sebagai tokoh-tokoh dongeng favoritnya, Rapunzel dan salah satu anggota Three Musketeer versi Barbie, Aramina.
Tapi tetap saja, kepemilikan Barbie membuat anakku jadi punya keinginan untuk menelanjangi pakaiannya, mengagumi bentuk tubuhnya, dan mempertanyakan organ yang tak tampak. Bukan mainan yang aman untuk rasa ingin tahu anak kecil, aku rasa. Mengapa?

Now let’s talk about Barbie.
Aku dari dulu heran, apa sih magnet yang bikin Barbie jadi digandrungi di seluruh dunia? Tampang Barbie menurutku biasa saja. Cantik sih, tapi semua Barbie punya cetakan yang sama. Paling cuma warna rambut, warna kulit, dan warna make up yang dibedakan. Coba saja kalau kalian punya beberapa boneka itu dengan tema yang berbeda-beda. Ambil fotonya, lalu cetak BW. Pasti tampak kesupermiripannya masing-masing. Karakter Barbie cuma dimunculkan dari pakaiannya.
Nah, kalau begitu kita bicarakan pakaiannya deh. Barbie memang modis. Tapi kenapa sih banyak yang menggila-gilai pakaian yang ill fitting gitu? Bahannya seringkali terlalu kaku, jahitannya kasar, dan tidak pernah lengkap berpakaian hingga ke underwear.
Bagusnya pakaian Barbie menurut pengamatanku juga membuat anak-anak kecil cepat pengen dewasa. Mereka mendambakan pakaian dengan model yang serba terbuka dan pengekspos seksualitas. Apalagi sekarang banyak kontes-kontes berdandan mirip Barbie. Hallo, mereka masih anak kecil, sedang Barbie jelas-jelas boneka dengan payudara yang supergede untuk proporsinya.
Sekarang mari kita bahas proporsi tubuhnya …
Dalam sebuah artikel di International Journal of Eating Disorders terbitan tahun 1995 yang berjudul "Distorsi Realita untuk Anak-anak: Proporsi Ukuran Tubuh Boneka Barbie dan Ken”, K.D. Brownell dan Napolitano menggunakan ukuran pinggul sebagai konstanta, dan memperhitungkan perubahan yang diperlukan bagi perempuan dan pria dewasa muda yang sehat untuk mendapatkan proporsi tubuh yang sama dengan Barbie dan Ken.

Nah, perubahan yang diperlukan pada perempuan adalah penambahan tinggi sebanyak 60 cm, penambahan ukuran dada sebesar 12,5 cm dan penambahan panjang leher sebanyak 8 cm, sambil mengurangi ukuran pinggang sebesar 15 cm. Sedangkan pria membutuhkan penambahan tinggi sebanyak 50 cm, 27,5 cm pada dada, dan 19,75 cm pada lingkar leher. Jadi jika Barbie adalah perempuan di dunia nyata dengan tinggi awal 155 cm, maka tingginya bakal naik menjadi 215 cm dengan ukuran pinggang 55 cm dan leher yang melebihi panjang leher perempuan dari etnik Paudang-Thai. Sedangkan Ken akan bertinggi 230 cm, dengan ukuran pinggang 107,5 cm. Nggak realistis, ya?


Bekal seperti inilah yang bisa memberi persepsi tubuh yang keliru bagi gadis-gadis kecil kita. Tubuh ramping dengan lekuk-lekuk yang tepat di semua tempat, serta rambut panjang lebat. Padahal, tak semua orang dianugerahi proporsi tubuh yang bisa dibuat semirip Barbie. Satu langkah ke arah eating disorder, kan?

Barbie sejak dulu membawa citra feminin gender berkromosom X, hingga setiap orangtua akan mengarahkan referensi pada Barbie saat anak perempuan mungilnya minta boneka. Pembagiannya adalah: anak laki-laki dapat jatah boneka action figure, anak perempuan dapat Barbie. Kondisi bakal dianggap anomali dan mendapat cap tomboi jika ada anak perempuan yang ngutak-atik boneka action figure atau bahkan mainan kereta api, dan sebaliknya.

Sebaliknya, aku dan suamiku sejak dulu sepakat untuk tidak mengkotakkan gender pada saat anak kami masih balita. Pengkotakan gender adalah batasan yang ditetapkan orang dewasa. Hal ini jika diterapkan ke anak-anak bakal membatasi kreativitasnya. Baru saat dia mendapat pengaruh dari luar, maka penjelasan mengenai jenis kelamin kami rasa perlu diberikan. Hasilnya? Bob jadi lebih kreatif dalam memanfaatkan mainan-mainannya.
Untungnya ketertarikan Bob pada Barbie masih bisa kami batasi pada Barbie bertema khusus, sehingga ketertarikan dia karena kemampuan Mattel mewujudkan tokoh dongeng favoritnya menjadi boneka yang bisa ditimang, bukan pemujaan bentuk tubuh dan model pakaian yang tidak sesuai usia.

Minggu, 01 Agustus 2010

Saat bentuk tubuh, gender, dan pilihan seksualitas jadi ledekan


Tadi sore, di depan display baju tidur, seorang teman, A, mengacungkan selembar lingerie yang playful, dengan desain centil lengkap disertai renda-renda, pita, dan tentu saja tipis menerawang. Dia berkata ke aku, 'Mbak, coba pakai ini!' dan ketawa, '"Pasti kalo kamu pakai bakal keliatan kayak waria."

Oke. Tombol emosiku masuk mode ALERT.

Teman yang lain menyela, "Lho kok gitu?"

Si A dengan lagak tanpa dosa menjawab, "Ya, kan dia badannya gede gitu. Mana rambutnya pendek lagi. Hihihi!"

Tarik napas, tahan, lepaskan. Tarik napas, tahan, lepaskan. Tarik napas, tahan, lepaskan. Aku nggak boleh terpancing oleh line yang nggak educated itu. Baik, mungkin aku belum punya kesempatan mendidik mulut temanku satu itu. Tapi di sini aku ingin membicarakan beberapa hal:

1. Kenapa semua orang selalu menghakimi perempuan yang berambut pendek dan berbadan gede sebagai waria? Padahal jika mau mencoba ngecek lebih teliti, waria, karena mereka ingin sekali jadi perempuan, tidak bakal suka rela memangkas rambutnya menjadi pendek. Perempuan berambut pendek adalah perempuan yang sudah nyaman sekali dengan keperempuanannya, hingga bagi mereka ukuran rambut tidak akan mereka jadikan identitas keperempuanan. Hah, point of view baru, bukan?
2. Kalau kita membicarakan femininitas, sekali lagi aku tekankan, buatku femininitas sudah bukan saatnya ditunjukkan cuma lewat pakaian tipis melambai berjumbai-jumbai atau rambut panjang. Karena kadang identitas yang seperti itu rancu banget dengan sexiness. Dan keseksian, bukan kefemininan. Femininitas sebaiknya dimunculkan pada saat kita menghadapi situasi yang membutuhkan sifat itu. Bukan lewat dandanan fisik.
3. Rambut pendek bukan identik dengan laki-laki ataupun (sekali lagi) waria. Sejak kapan sih pemikiran itu muncul? Aku heran banget. Soalnya, kalau kita membicarakan tuntutan agama agar perempuan tidak berdandan seperti laki-laki, hmmm ... memangnya Nabi Muhammad dulu rambutnya pendek ya? Apa ada yang bisa menjamin? Soalnya jaman itu belum ada gunting lho.
4. Sekarang mari kita bicarakan masalah badan gede. Kalau aku boleh menggarisbawahi, temanku si A yang bicara tadi badannya bukan saja gede. Dia gendut, dengan huruf kapital. So, benernya aku tadi pengen ngajak dia ngaca. Look who’s talking?
5. Nah, setelah emosiku agak mengendap, aku pengen membahas tentang waria. Kenapa sih kita selalu memberi cap buruk pada mereka? Mengapa kita tidak bisa menerima mereka sebagai bagian dari masyarakat, meski mungkin secara agama memang mereka tidak diakui? Karena, mau diakui atau tidak, faktanya mereka ada, dan mereka merasa berbeda. Jadi bagiku, memperlakukan waria sebaiknya bukan sebagai olok-olokan. Terima saja keadaan ini seperti kita menerima perbedaan agama yang ada di dunia, lakum diinukum waliyadiin kan? Nah, berlakukan saja prinsip yang sama terhadap para waria. Selesai. Kita nggak terbebani, dan kita sendiri tidak menyinggung perasaan orang lain.
6. Jika kita membahas waria, rasanya belum tuntas kalau belum menyerempet ke homoseksualitas. Atau kalau dalam kasusku biasanya masalah lesbianisme. Aku straight (rasanya semua orang sudah tahu, meski dulu banyak yang ragu). Tapi itu bukan hal yang aku banggakan, meski juga bukan hal yang aku malukan. Biasa saja, karena buatku seperti waria, lesbianisme adalah dorongan hati. Kita tidak bisa menghakimi orang lain kalau itu kaitannya dengan dorongan hati, kan? Sisakan masalah surga dan neraka untuk urusan pribadi. Nah, mengenai lesbianisme ini, dulu aku sering juga dicap sebagai lesbian, hanya karena bentuk fisik, pilihan model rambut, dan jenis pakaian yang aku kenakan. TOLOL. Karena itu harusnya bukan urusan siapapun selain aku sendiri kan? Masalahnya, biasanya cewek-cewek bakal ketakutan jika tahu cewek X adalah lesbian. Kayak lesbian adalah penyakit menular saja. Kayak si lesbian bakal langsung naksir dan mengejar-ngejar cewek lain saja. Mengapa kita tidak bisa menilai para lesbian seperti kita menilai manusia pada umumnya? Toh mereka hanya akan naksir pribadi-pribadi yang ‘kena’ di hati mereka. Seperti para kita yang merasa straight memandang lawan jenis. kalau nggak naksir, nggak bakal ngelirik dua kali. Bukannya asal tomprok. Mau lesbian atau straight, setiap orang berhak dan harus dinilai achievement-nya. Jangan hanya berhenti di pilihan seksualnya.

Yang jadi pertanyaan bagiku adalah, mengapa di tengah masyarakat yang sudah modern ini perbedaan bentuk dan penampakan fisik masih jadi pembahasan yang menyebalkan? Mengapa pembicaraan di area ini biasanya menyerempet ke penghinaan dan pelecehan yang dikaitkan pada jenis kelamin tertentu atau pilihan seks tertentu? Mengapa orang tidak bisa menerima orang lain apa adanya, kalau itu kaitannya dengan bentuk fisik atau pilihan seks?

Rabu, 28 Juli 2010

Nambah dong ...



Itu adalah jenis tanggapan yang biasa aku dapat setelah menjawab pertanyaan:
1. Sudah punya anak? (sudah)
2. Berapa jumlahnya? (satu)
3. Umurnya berapa? (lima tahun/per 2010)

Dengan tanggapan begitu, biasanya bakal aku jawab lagi: nggak ah, cukup satu saja.
Nah, dengan jawaban itu, maka biasanya tanggapan berikutnya bakal: Kenapa? idealnya punya anak kan dua atau tiga. Anak satu kasihan lho. Nanti dia jadi kesepian, belum lagi jadi manja, dll, dll. Hmm ... "idealnya punya anak itu kan dua atau tiga". Ideal menurut siapa sih? Menurut program KB jaman Orba? Situasi ideal berbeda-beda di tiap situasi. Jumlah anak dua atau tiga, bukan disebut ideal, itu adalah keberhasilan indoktrinasi. Kita bisa menyebutkan sebuah situasi ideal jika kita punya alasan untuk itu.

Di sini aku punya beberapa pilihan jawaban.
1. Nggak mampu ah, menghidupi dan merawat tambahan anak dengan situasi ekonomi sekarang ...
Jawaban yang model begini bakal dapat tanggapan standar yang intinya: Ya nggak mungkin lah kamu nggak mampu merawat tambahan anak satu lagi. Kamu dan suamimu kan dua-duanya bekerja. mana kerjanya dobel-dobel lagi. Sebulan terima empat amplop, dll, dll.

Oke, kalo gitu jawaban aku berikan ke alternatif
2. Kasihan eyangnya yang ngerawat anak tiap hari. Satu anak saja sudah bikin eyang tobat-tobat, apa lagi kalo dua atau tiga ...
Dengan jawaban ini, maka tanggapan standar dari penanya adalah: makanya ditambahin tuh anak. Kalau punya saudara, pasti jadi nggak nakal (memang yang nanya bisa nanggung kalo saudaranya nggak bakal lebih nakal ya?)

Nah, dengan tanggapan seperti itu, maka jawaban aku lempar ke alternatif terakhir. Ini sebenarnya adalah jawaban idealku, karena memang inilah yang jadi alasan utama pilihan jumlah anakku. Tapi jarang aku keluarkan, karena jawabannya bakal bikin jidat banyak orang berkerut semakin nggak setuju.
3. Aku punya anak satu saja, karena bumi kita nggak bakal tambah luas. Mungkin aku masih punya "hak" untuk nambah satu anak lagi, dengan asumsi jumlah anak menggantikan nyawa kedua orangtuanya nanti. Tapi bagaimana dengan orang-orang sang sampai sekarang masih punya banyak anak dengan alasan: semakin banyak anak. semakin kuat laskar Allah, atau tiap anak bawa rezeki mereka masing-masing, atau yang lainnya? Jadi anggap saja aku memberi kesempatan: bagi mereka yang masih pengen nambah anak, pakailah kuota yang aku miliki. Bagaimana?

Jawaban ini masih kurang memuaskan. Karena dengan bentuk dan personality-ku, sepertinya jawaban yang diharapkan penanya dariku cuma satu:
"AKU NGGAK MAU PUNYA ANAK LAGI KARENA AKU KAPOK DENGAN KEREPOTAN DAN PROSES MELAHIRKANNYA!"

Padahal jujur saja, tidak. Mungkin di mata semua orang aku masuk kategori tomboi, nggak keibuan, dll. Bagiku, aku hanya menyukai kepraktisan. Dan ketomboian tidak mengurangi rasa keibuan yang aku miliki. Karena bagiku keibuan tidak perlu ditunjukkan dengan dandanan bergaya ibu-ibu mainstream. Keibuan muncul dari bagaimana kita bersikap saat sifat itu diperlukan muncul.

Jadi begini deh. Aku berikan jawaban panjang lebar di sini, semoga pertanyaan tentang jumlah anak nggak bakal aku temui lagi di depan ...
Anak adalah anugerah Allah. Aku dan suamiku sangat berterima kasih dengan kehadiran Bob di antara kami. Dengan kondisi perekonomian sekarang, untuk memberikan yang terbaik rasanya pilihan paling masuk akal bagi kami adalah berhenti di satu anak saja. Kami yakin, kami mampu mengarahkan anak kami untuk jadi anak yang baik meski dia agak manja dengan status anak semata wayangnya. Kehadiran saudara belum tentu bisa membantu kondisi kemanjaan, karena posisi anak manja kemungkinan besar akan beralih ke si bungsu. Kami pun masih harus deal dengan kecemburuan di sulung dan situasi perekonomian.
Mengenai masalah kesepian si anak, masalah itu akan pelan-pelan teratasi setelah ia beranjak besar dan mengenal teman banyak di luar sana. Kondisi kami di masa tua juga bukan alasan, karena berapapun jumlah anak, kita tetap harus siap ditinggalkan mereka begitu mereka tumbuh dewasa, bukan?
Kami tidak akan mempersoalkan pilihan jumlah anak ataupun pilihan masing-masing orang untuk punya anak atau pun tidak, karena masing-masing kasus tidak sama treatment-nya. Tapi tolong hargai pilihan yang kami ambil, dan kita bisa maju menghadapi konsekuensi pilihan kita masing-masing tanpa diributkan dengan pendapat dari kiri dan kanan.

Untuk masalah penuhnya bumi, biar alasan ini cukup jadi idealisme kami saja :D


alhamdulillah

akhirnya berhasil juga mengubah pilihan bahasa ke English. Hehehe. Soalnya pake bahasa Indonesia kok malah jadi bingung dan males nge-blog (meski entry-nya tetep pake bahasa Indonesia).