Rabu, 28 Juli 2010

Nambah dong ...



Itu adalah jenis tanggapan yang biasa aku dapat setelah menjawab pertanyaan:
1. Sudah punya anak? (sudah)
2. Berapa jumlahnya? (satu)
3. Umurnya berapa? (lima tahun/per 2010)

Dengan tanggapan begitu, biasanya bakal aku jawab lagi: nggak ah, cukup satu saja.
Nah, dengan jawaban itu, maka biasanya tanggapan berikutnya bakal: Kenapa? idealnya punya anak kan dua atau tiga. Anak satu kasihan lho. Nanti dia jadi kesepian, belum lagi jadi manja, dll, dll. Hmm ... "idealnya punya anak itu kan dua atau tiga". Ideal menurut siapa sih? Menurut program KB jaman Orba? Situasi ideal berbeda-beda di tiap situasi. Jumlah anak dua atau tiga, bukan disebut ideal, itu adalah keberhasilan indoktrinasi. Kita bisa menyebutkan sebuah situasi ideal jika kita punya alasan untuk itu.

Di sini aku punya beberapa pilihan jawaban.
1. Nggak mampu ah, menghidupi dan merawat tambahan anak dengan situasi ekonomi sekarang ...
Jawaban yang model begini bakal dapat tanggapan standar yang intinya: Ya nggak mungkin lah kamu nggak mampu merawat tambahan anak satu lagi. Kamu dan suamimu kan dua-duanya bekerja. mana kerjanya dobel-dobel lagi. Sebulan terima empat amplop, dll, dll.

Oke, kalo gitu jawaban aku berikan ke alternatif
2. Kasihan eyangnya yang ngerawat anak tiap hari. Satu anak saja sudah bikin eyang tobat-tobat, apa lagi kalo dua atau tiga ...
Dengan jawaban ini, maka tanggapan standar dari penanya adalah: makanya ditambahin tuh anak. Kalau punya saudara, pasti jadi nggak nakal (memang yang nanya bisa nanggung kalo saudaranya nggak bakal lebih nakal ya?)

Nah, dengan tanggapan seperti itu, maka jawaban aku lempar ke alternatif terakhir. Ini sebenarnya adalah jawaban idealku, karena memang inilah yang jadi alasan utama pilihan jumlah anakku. Tapi jarang aku keluarkan, karena jawabannya bakal bikin jidat banyak orang berkerut semakin nggak setuju.
3. Aku punya anak satu saja, karena bumi kita nggak bakal tambah luas. Mungkin aku masih punya "hak" untuk nambah satu anak lagi, dengan asumsi jumlah anak menggantikan nyawa kedua orangtuanya nanti. Tapi bagaimana dengan orang-orang sang sampai sekarang masih punya banyak anak dengan alasan: semakin banyak anak. semakin kuat laskar Allah, atau tiap anak bawa rezeki mereka masing-masing, atau yang lainnya? Jadi anggap saja aku memberi kesempatan: bagi mereka yang masih pengen nambah anak, pakailah kuota yang aku miliki. Bagaimana?

Jawaban ini masih kurang memuaskan. Karena dengan bentuk dan personality-ku, sepertinya jawaban yang diharapkan penanya dariku cuma satu:
"AKU NGGAK MAU PUNYA ANAK LAGI KARENA AKU KAPOK DENGAN KEREPOTAN DAN PROSES MELAHIRKANNYA!"

Padahal jujur saja, tidak. Mungkin di mata semua orang aku masuk kategori tomboi, nggak keibuan, dll. Bagiku, aku hanya menyukai kepraktisan. Dan ketomboian tidak mengurangi rasa keibuan yang aku miliki. Karena bagiku keibuan tidak perlu ditunjukkan dengan dandanan bergaya ibu-ibu mainstream. Keibuan muncul dari bagaimana kita bersikap saat sifat itu diperlukan muncul.

Jadi begini deh. Aku berikan jawaban panjang lebar di sini, semoga pertanyaan tentang jumlah anak nggak bakal aku temui lagi di depan ...
Anak adalah anugerah Allah. Aku dan suamiku sangat berterima kasih dengan kehadiran Bob di antara kami. Dengan kondisi perekonomian sekarang, untuk memberikan yang terbaik rasanya pilihan paling masuk akal bagi kami adalah berhenti di satu anak saja. Kami yakin, kami mampu mengarahkan anak kami untuk jadi anak yang baik meski dia agak manja dengan status anak semata wayangnya. Kehadiran saudara belum tentu bisa membantu kondisi kemanjaan, karena posisi anak manja kemungkinan besar akan beralih ke si bungsu. Kami pun masih harus deal dengan kecemburuan di sulung dan situasi perekonomian.
Mengenai masalah kesepian si anak, masalah itu akan pelan-pelan teratasi setelah ia beranjak besar dan mengenal teman banyak di luar sana. Kondisi kami di masa tua juga bukan alasan, karena berapapun jumlah anak, kita tetap harus siap ditinggalkan mereka begitu mereka tumbuh dewasa, bukan?
Kami tidak akan mempersoalkan pilihan jumlah anak ataupun pilihan masing-masing orang untuk punya anak atau pun tidak, karena masing-masing kasus tidak sama treatment-nya. Tapi tolong hargai pilihan yang kami ambil, dan kita bisa maju menghadapi konsekuensi pilihan kita masing-masing tanpa diributkan dengan pendapat dari kiri dan kanan.

Untuk masalah penuhnya bumi, biar alasan ini cukup jadi idealisme kami saja :D


alhamdulillah

akhirnya berhasil juga mengubah pilihan bahasa ke English. Hehehe. Soalnya pake bahasa Indonesia kok malah jadi bingung dan males nge-blog (meski entry-nya tetep pake bahasa Indonesia).