Rabu, 13 Oktober 2010

Apakah mahasiswa memerlukan mata kuliah Sopan-santun?



Kalau pertanyaan itu ditanyakan pada aku saat ini, maka jelas jawabanku adalah: TENTU SAJA, STAT! URGENT!

Aku ingat, beberapa hari yang lalu si Bob yang baru 5 tahun komplen, “Kok aku disuruh-suruh terus, diatur-atur terus, Ma? Terserah aku dong!”
Aku tanya, “Memangnya kenapa Sayang?”
Bob menjawab, “Bosen! Aku kan pengen semua terserah aku!”
Oke. Lalu aku jelaskan, bahwa dia baru 5 tahun. Anak seumur dia sampai lulus SMA adalah anak yang ada di masa belajar bertanggung jawab dan belajar disiplin. Anak di rentang usia tersebut belum bisa diandalkan untuk membedakan antara benar dengan salah, baik dengan buruk, pantas dengan tidak pantas.
Dan Bob kembali bertanya, “Disiplin itu apa?” Hmm, aku terangkan, bahwa disiplin itu adalah mampu mengikuti aturan yang ada, mampu mengatur diri sendiri.
Masih penasaran, ia kembali bertanya, “Lalu kapan dong aku bisa disiplin?”
Waduh. Akhirnya aku jelaskan, disiplin itu musti dilatih. Itulah mengapa anak seusia dia sampai lulus SMA harus mengikuti aturan orangtua dan guru. Karena orangtua dan guru lah pihak-pihak yang menanamkan disiplin, tanggung jawab, sopan-santun, dan budi pekerti.
“Lalu kalo sudah lulus SMA?” kejar Bob.
“Anak yang sudah lulus SMA, anak kuliah, biasanya diharapkan sudah mampu untuk belajar mandiri, disiplin, dan bertanggung jawab. Mereka harus mulai menerapkan aturan untuk diri sendiri. Berangkat dan bangun tidur tidak diatur, belajar tidak diatur. Nanti kalo sudah lulus kuliah dan kerja, diharapkan mereka sudah siap menjadi orang yang benar-benar disiplin, mandiri, dan bertanggung jawab.”
Di sini Bob mulai berusaha memahami.

Sayangnya ternyata selama beberapa bulan terakhir ini aku justru membuktikan sendiri kalo teoriku bahwa anak kuliahan sudah memiliki sopan santun dan pantas untuk mulai diberi kebebasan mengatur kemandirian, kedisiplinan, serta tanggung jawab adalah salah. Anak kuliahan juga aku buktikan sendiri masih jauh dari standar moral dan pekerti yang berlaku di masyarakat umum. Pendapat ini aku dapat setelah aku mengalami sendiri rendahnya nilai-nilai dasar manusiawi yang dimiliki anak kuliahan jaman sekarang (maaf, mungkin pendapat ini mengandung generalisasi).

Mari aku ceritakan dua peristiwa yang mendasari generalisasi ini:
1. Ini tentang satu kampus di mana aku ngajar mata kuliah Komunikasi Periklanan saat semester ganjil dan Manajemen Periklanan saat semester genap.
Jumlah mahasiswanya hanya enam orang. UAS tiba. Dua minggu sebelum jadwal ujian mata kuliah yang aku ampu, aku memberikan tugas sebagai pengganti ujian dengan catatan tugas tersebut harus dikumpulkan pada hari dan jam ujian. Lembar tugas aku bagikan disertai satu soft copy untuk file bagian Pengajaran. Saat hari ujian tiba, tak ada seorang pun mahasiswa yang hadir dan menyerahkan ujian (untung aku tidak menunggui sendiri ujian tersebut) tanpa ada pemberitahuan apapun. Mereka baru mengumpulkannya dua minggu setelah tanggal ujian.
Baik, aku maafkan sekali ini. Dan semester berikutnya kami bertemu lagi di mata kuliah Manajemen Periklanan. Kami kembali menjalani perkuliahan dengan lancar, meski masalah kesukaan mereka membolos bareng-bareng kembali jadi salah satu hal yang menggangguku. Bayangkan saja, apa mereka tidak bisa berpikir untuk sekedar menelpon memberitahukan bahwa mereka tidak bisa masuk kuliah? Apa mereka tidak bisa berempati membayangkan pengajar yang bersusah payah meluangkan waktu untuk memberi tambahan ilmu, harus kecewa saat datang ke kampus dan menemui kelas yang kosong melompong? Pengalaman ini ternyata juga dialami dosen-dosen yang lain.
Saat UAS. Ternyata modus ketidaksensitifan mereka tersebut berulang lagi di UAS Manajemen Periklanan. Aku tunggu sampai seminggu setelah hari ujian, tetap tidak ada yang mengumpulkan tugas. Aku sampaikan ultimatum lewat bagian Pengajaran, bahwa aku sudah tidak akan mengambil tugas mereka ke kampus. Jadi aku persilakan yang menginginkan nilainya tetap keluar untuk mengumpulkan tugas mereka ke kantorku. Mereka akhirnya mengumpulkan tugas dua minggu setelah hari ujian. Nilai pun aku keluarkan dengan memberi nilai minimal untuk tugas UAS mereka, sehingga satu dari enam orang mahasiswa tersebut tidak lulus. Yang lainnya lulus dengan nilai mepet.
2. Pengalaman selanjutnya terjadi baru dalam minggu ini. Tentang satu kampus di mana aku mengajar Manajemen Periklanan di semester ganjil dan Copywriting di semester genap.
Di awal perkuliahan Manajemen Periklanan, aku memberikan tugas review buku bagi 38 peserta didik. Seminggu kemudian sebagian besar dari mahasiswa mengumpulkan tugas, meski kebanyakan masih bingung dan kurang memuaskan hasilnya.
Oke, itu bukan masalah karena aku bisa memberikan solusi perbaikan nilai. Perkuliahan pun aku anggap berjalan cukup lancar setelahnya. Kemarin, aku iseng dan sengaja membuka-buka profile-profile mahasiswa peserta Manajemen Periklanan tersebut di Facebook. Bukan pekerjaan yang gampang, karena belum ada satu pun yang masuk ke dalam friends list-ku dan kebanyakan menggunakan nama-nama samaran yang bahkan untuk melafalkannya pun sulit. Tapi aku punya satu dan lain cara untuk mencocokkan track mereka, dan masalah ini bukan intinya kok.
Singkat cerita, di salah satu profile ada yang menulus status JUNGLE BITCH ... JAM YAH MENE TUGASE LG RAMPUNG, ASYU ... GEK KERTAS QUARTONE ENTEK SISAN. JINGAN2 ... Banyak tanggapan yang masuk. Salah satunya dari teman dia (peserta manajemen Periklanan juga) yang menanyakan apa dia sudah selesai dengan tugas yang aku berikan. Tapi ia memberikan embel-embel ‘nggateli’ di depan namaku.
Aku kaget banget baca itu. Karena:
a. Seumur-umur aku ngajar di kampus tersebut (mahasiswa angkatan-angkatan sebelumnya), belum pernah ada mahasiswa yang bersikap tidak sopan terhadapku. Selama ini kami berhasil menjalin hubungan saling menghormati.

b. Baru pertemuan pertama oknum tersebut sudah berani menempelkan kata super kasar/kurang ajar/nggak sopan kepada aku? Apa pengalaman interaksinya sudah cukup untuk itu?
c. Tugas aku berikan untuk bekal pemahaman mereka di pertemuan-pertemuan selanjutnya. Tugas tidak aku berikan karena aku iseng atau pun aku secara subjektif ingin menyiksa mahasiswa.
d. Tugas itu hanya review buku, for God’s sake! Apa sih dari review buku yang layak diberi umpatan ‘nggateli’?
e. Mahasiswa menggunakan kata-kata umpatan dan kasar di forum yang bisa dibaca orang banyak? Apa bagusnya? Apa bangganya?
f. Last but not least, kita semua tahu Facebook adalah forum umum. Dan banyak kasus yang menceritakan orang-orang terperosok masalah pencemaran nama baik, penghinaan, dll di micro blog ini. Tidakkah ybs belajar dari berita-berita yang ada?

Ingat tidak, disiplin, budi pekerti, sopan-santun, dan rasa tanggung jawab yang aku sebut di atas? Terasa banget kalau orangtua berandil besar dalam penanamannya. Nah, apa aku salah jika aku mempertanyakan orangtua jenis apa yang membesarkan para mahasiswa tersebut di contoh? Apa perlu kampus mempertimbangkan sopan santun dan budi pekerti untuk dimasukkan dalam silabus perkuliahan? Karena ternyata bekal yang selama ini mereka dapat masih sangat kurang.
Aku menganggap hal ini terjadi karena kegagalan pengasuhan dari orangtua dan kegagalan pendidikan di jenjang sebelumnya.
Dengan contoh seperti di atas, bisa dibayangkan atau tidak, bagaimana kacau-balaunya dunia kerja yang bakal mereka masuki? Bagaimana kagetnya partner kerja yang mereka temui? Bagaimana shock-nya klien yang harus menghadapi?

Sebagai catatan saja: aku mengajar di mana pun, karena kampus yang memintaku. Tak ada latar belakang finansial yang menjadi dorongan, meski tentu saja ada biaya transportasi yang wajib ditanggung kampus. Waktu yang banyak tersita, emosi ekstra yang harus disiapkan, pikiran yang harus diperas-peras adalah konsekuensi yang sama sekali tak bisa diukur dengan uang. Apalagi aku masih aktif bekerja di sebuah perusahaan periklanan.
Kepuasanku hanya bisa diperoleh dengan keaktifan mahasiswa di ruang kuliah, usaha dan nilai yang mereka dapatkan, pengakuan dari pihak luar atas prestasi yang mereka capai, serta senyum tulus yang mereka berikan untuk ilmu praktis yang diterima yang memang tidak tersedia di kampus. Niat awal mengajar adalah untuk berbagi ilmu mengharap berkah Allah dari keikhlasan yang selalu aku coba lakukan.

Apakah aku harus mengkaji ulang motifku?

Kamis, 07 Oktober 2010

Memahami konsumen butuh pemahaman ekstra

Mendengarkan adalah kerjaan yang pasif. Secara skill-pun, mendengarkan membutuhkan skill yang lebih rendah dari berbicara. Tapi di dunia yang berhubungan langsung dengan pelanggan, ternyata skill mendengarkan lebih sulit untuk diterapkan. Padahal, mendengarkan adalah kunci pertama menuju pemahaman.

Aku suka banget dengan artikel buatan temanku, Bambang Sukma Wijaya yang sudah pernah dia posting di blog dia sendiri. Berhubung nyari link-nya kok susah banget (dan aku sudah pernah ngopi ke MS Word), jadi maaf ya Bambang ... copasnya gak pake share link. hehehe. Intinya aku hanya pengen mengingatkan (diri sendiri) kalo nulis iklan bukan hanya kemampuan menyusun deretan kata-kata indah. Nulis iklan juga bukan hanya kemampuan bikin headline dan tagline yang ngebom. Tapi nulis iklan lebih banyak mementingkan kemampuan memahami pemasaran, pengetahuan tentang brand, dan pengetahuan tentang si target audience (si raja) itu sendiri


Have you ever been fed up to the children’s act? They’re crying when you don’t give what they want. They protest when you don’t put enough attention. Like children, consumers are also having the same characters. Of course the consumers are not our beloved children, but, unfortunately, they–as the traditional wisdom says—are the king. So, we have to understand their characters in order to preserve them.

I’m very important

Look at a consumer who attends a shop. They want to be served especially, even they only look around or just window shopping. They want to be always being heard, and if they feel ignored, they would sulk.
Like a child, they will show their dislike or do something annoying to get our attention, such as complain in yelling or write to newspaper with words full of hatred, and then they moved to other shop or brand to express their protests. They mope because we had failed to make them the very important attentively, treat them with care, and the most important, love them.

My own must be better than my friend’s

Ichal, an employee who offices at Menteng, just changed his cellular to the latest model as he
and actually she doesn’t really need the feature also. “I just want to try it while it was in the
free-tariff promo and wanted to show my sophisticated phone,” she said as she laughs.
Rahmat Susanta, editor in chief of Marketing magazine has approved upon the facts.
According to him, the consumers sometimes ask for features that not exist in their product while their friend’s or other people’s have it, even they might not need or use the features it self. “They envy if other people’s have more,”

In the telecommunication market, we can see many costumers complain, either about the operator (service provider) or the handset. Our research revealed that some respondents have moved from one operator to other operator as their complain. And when we ask them, they really have a lot of expectations on their chosen operator service. The tariff must be low, the credit Reload must be easy, the network has to be excellent, and it has to have a lot of bonuses and features, and so on. There is no other way to win their heart except understanding them like we
understand our own child. It means we listen to them seen it in a magazine. He assured
that his friends have not having one of those. “It feels cool to own something that others haven’t own it,” he revealed as he shows his Nokia E90. Erna, a MarkComm Mercu Buana University student, revealed that she has moved recently to another operator because it offers more
sophisticated 3G services than her friend’s operator, even that means she had to buy a new handset that provide 3G which is more expensive. When her friends only make calls and send SMS, she does video call and chatting. It makes her proud. But now, she doesn’t use the 3G services anymore because the promo has ended and the operator are now charging the service,
Susanta said. He gave an example of many people has chosen operator with free roaming service, even though 90 percent of them are rarely out of town. That’s why we have to be
smart on reading what the consumer wants. It might be unrealistic and frustrating, but
that’s how a child does. “They always demand what they wants or needs are available in
time,” Susanta adds.

So, if we have the patience or experience of taking care children, we probably could
successfully handle our consumers. Let’s prove it!

Rabu, 06 Oktober 2010

Menyikapi Kecurangan Calon Klien


Seorang calon klien mengajak ketemuan karena ia ingin membuat event dan sekalian membuat logo perusahaan barunya. Akhirnya kita datang berempat.
Perkembangan selanjutnya, si calon klien banyak bertanya soal strategi menggelar event, plus minus venue, budgeting, konten, dll, dll. Tentu saja dia juga minta beberapa alternatif logo untuk kita tunjukkan.
Beberapa hari kemudian kami datang lagi dengan hasil logo (yang menurut kami kurang maksimal, karena memang input dari dia tidak memadai) yang niatnya kami gunakan sebagai pancingan supaya dia bisa memberi masukan lebih jauh lagi.
Ternyata pembicaraan kali itu merembet ke biaya-biaya yang harus dia keluarkan. Setelah dikomparasikan dengan perusahaan lain, dia memandang bahwa harga kita lebih mahal. Padahal kita memberikan beberapa penjelasan di mana letak kemahalan tersebut bisa dirasionalisasikan. Dia juga kaget dengan beberapa treatment pemberian harga dari kita (yang memang sudah blunder dari awal ketemu). Hingga saat itu pun aku ngerasa, prospek kerjasama antara dua pihak kecil sekali bisa terjadi.
Nah, bener saja. Setelah itu, selama beberapa hari si klien jadi sulit banget dihubungi. Akhirnya baru hari ini aku dengar kabar kalo dia gak jadi pake kita dengan alasan, “Tidak suka dengan desain logo yang kita ajukan”. Padahal sejak awal kan memang sudah aku terangkan tuh, kalo logo yang kita ajukan ke dia cuma pancingan, karena input yang memang minim banget, padahal ekspektasi dia tinggi.
Jadi sampai di sini saja lah hubungan kerja sama yang belum terjalin.
Ganjelanku adalah …
Selama beberapa kali pertemuan, aku sudah diseret ke tempat si klien untuk memberikan advis banyak sekali. Dengan gagalnya proyek ini, yakin deh, dia pasti lari ke agensi lain pilihan dia, dengan bekal advis segudang yang sudah terlanjur kita berikan.
Aku pengen banget kita bisa nge-charge cancellation fee. Tapi sayang, selama ini kasus cancellation fee belum pernah naik ke permukaan kantor. Jadinya sekarang aku ilfil banget. Rasanya kok dikadali tanpa bisa balas. Dirampok tanpa sempat menjerit minta tolong, ditipu tanpa bisa lapor polisi.
Ada beberapa pemikiran yang sempat muncul untuk kasus-kasus seperti ini:
1. Jelas, seharusnya kita menerapkan cancellation fee dari awal. Sebelum klien memanggil, kita tegaskan bahwa memang begitulah cara kerja yang benar. Bukannya datang dengan full team, habis itu diskusi panjang lebar, dan kerjasama dibatalkan secara sepihak.
2. tapi jika itu dilakukan, maka pasti akan muncul ganjalan di tim Marketing. Bagaimana mereka bisa ‘jualan’ jika calon-calon klien mereka sudah ditakut-takuti dari awal dengan cancellation fee?
3. Nah, agar besok lagi kasus seperti ini tak terjadi lagi dan lagi, kayaknya harus ada rumus baku yang musti kita canangkan. Menurutku sih … saat ada calon klien menghubungi, sudah tugas Marketing untuk menindaklanjuti. Temui si calon klien, cari tahu kebutuhan mereka, cari tahu ekspektasi mereka, pastikan keseriusan mereka, dapatkan insight mereka, gali kebingungan mereka. Setelah itu, masih tugas Marketing untuk memberi arahan awal dan merumuskan sejauh mana tim kita perlu terlibat dalam memberikan advis. Karena terlalu banyak overhead karyawan yang didatangkan untuk calon kien akan berimbas pada biaya operasional yang terbebankan bagi proyek yang belum pasti kan?
4. Jika memang rumusan sudah didapat, masih tugas Marketing untuk membicarakan term and condition kerjasama, termasuk pembebanan cancellation fee.
5. jika kesepakatan sudah dicapai, baru deh tim lebih luas boleh dilibatkan.

Semoga pemikiran ini bisa jadi patokan tim kantor dalam mengadakan pertemuan dengan calon klien. Semoga kesebalan tidak muncul lagi kemudian. Semoga besok lagi blunder-blunder tidak perlu terjadi dan pertemuan dengan calon klien bisa membuahkan kesepakatan.