Rabu, 15 Desember 2010

ANTARA LOGIKA DAN INTUISI


“Walau nilainya mepet, jangan masuk IPS lho Nduk,” kata seorang taxi driver saat cerita padaku tentang anaknya yang (katanya) pintar waktu akan penjurusan di SMA.
Si anak menjawab sambil mewek-mewek, “Jangan sampai deh masuk IPS! Nanti satu kelasnya sama anak-anak bodoh!”

Aku cengar-cengir sendiri mendengarnya. Mau mendebat kok gak worth it, mau membiarkan kok kayaknya gak suka saja dengan salah kaprah yang sudah berurat-akar ini. Hallo, aku sendiri lulusan IPS dan aku sama sekali gak bego ya.


Pemikiran akan aku seret ke kondisi yang aku lihat di sekolah-sekolah. Saat aku mencari informasi sekolah untuk Bob, sebagian besar (kalau tidak boleh aku bilang semua) sekolah membanggakan posisi mereka sebagai pemegang juara olimpiade sains, matematika, IPA. Jarang sekali sekolah yang membanggakan diri sebagai peraih penghargaan puisi, menulis, sastra.
Bagi sekolah dan para orangtua, menjadi yang terdepan di bidang sains jauh lebih membanggakan dibanding menjadi orang yang terasah jiwa seninya. Hal ini juga yang kayaknya akhirnya menjadi patokan para murid untuk berlomba-lomba masuk ke jurusan IPA (minat ataupun tidak). Karena IPA identik dengan otak encer.
Lebih baik mereka menjadi orang yang biasa-biasa saja prestasinya di kelas IPA daripada harus ditimpa malu karena berada di jurusan IPS.

Hal ini membuatku mengaitkannya dengan filosofi Timur yang sedang aku dengarkan saat ini (membuat transkrip seminar Etika Nusantara). Bagi filosofi Timur, posisi seniman berada lebih tinggi dari ilmuwan. Berbeda dengan filosofi Barat yang lebih menganggap logika sebagai hal yang paling penting.
Mengapa bagi Timur rasa lebih unggul dari logika?
Dalam filsafat Timur, ada tahapan mental di mana kehidupan sehari-hari dinalar dengan logika, sedang memaknainya dianggap sebagai gemanya. Gema ini tidak bisa ditangkap setiap orang,karena harus melalui proses pemurnian. Penyaringan, pemurnian, dan penangkapan makna inilah yang dilakukan oleh seniman.

Jadi yang aku pertanyakan sekarang fakta pemakaian pemikiran Barat bahwa logika adalah yang terpenting, saat kita masih sering mengunggul-unggulkan diri sebagai “Orang Timur” dengan “Etika Timur” yang selalu kita kaitkan kala melihat realitas yang dianggap di luar batas kesopanan standar.
Mengapa kita menggunakan standar ganda?
Saat membahas tentang keilmuan, kita selalu mengangap filosofi Barat yang benar (logika lebih tinggi posisinya dibanding rasa), sedang saat sedang membahas norma, kita selalu keukeuh berpegang pada etika yang kita anggap Etika Timur? Padahal kalau boleh mengingatkan, etika adalah produk dari “rasa”.

Aku kembalikan bahasan pada wilayah pendidikan. Aku sangat berharap adanya kesadaran untuk menempatkan pendidikan sebagai kendaraan untuk mencetak manusia yang lebih baik. Dan ini rasanya sangat membutuhkan pengertian dari pihak pendidik dan orangtua untuk lebih memerhatikan minat dan bakat sebagai acuan penilaian prestasi anak.
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa kecerdasan perasaan sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual. Kecerdasan perasaan bisa lebih digali dengan “rasa”.
Jangan jadikan ilmu eksakta sebagai primadona, karena kita juga membutuhkan para ahli “rasa”.
Jangan paksa anak untuk mengakui keunggulan IPA saat akhirnya nanti mereka harus bertekuk lutut di jalur IPC karena memang di situ lah jurusan yang mereka inginkan, atau hanya agar bisa menyelamatkan kesempatan masuk ke universitas negeri. Lebih baik bekali anak dengan apa yang mereka suka dan mereka minati karena itu adalah hidup mereka, bukan alat bagi kita untuk menuai kebanggaan.

(Bob, pada saatnya kamu harus memilih, Mama pastikan Mama bakal mendukung apapun pilihanmu karena bagi Mama, kamu sempurna tanpa berlakunya syarat dan ketentuan)