Minggu, 16 Januari 2011

Nongkrong di Oase-nya Solo


Beberapa hari yang lalu, aku berkesempatan mampir ke sebuah boutique hotel di Solo, Rumah Turi. Bukannya mau nginep lho, secara rumahku saja masih di lingkungan Subosukawonosraten. Yah, cuma ada janjian ketemu saja dengan kenalan.
Oke, bukan soal janjian dengan temanku yang bakal aku ceritain di sini. Karena ngerti banget kan, pasti isinya cuma ngobrol ngalor ngidul nggak jelas. Aku pengen ngobrolin Rumah Turi-nya.
Dilihat dari luar, hotel ini sudah kliatan asri banget. Dan sesuai namanya, ada beberapa pohon turi ditanam di depan. Masuk pertama, kita diajak ke area publik yang kalo di rumah Jawa pasti fungsinya bakal sama dengan pendhopo. Ruangannya terbuka (tanpa pintu, maksudku), dengan view ke taman yang didominasi tumbuhan jenis rumput-rumputan yang sempat aku kira padi ternyata tumbuhan akar wangi. Di atas tanaman akar wangi tersebut dibangun rigging terbuka. Untuk special occasion, ternyata area tersebut difungsikan sebagai panggung. Pemanfaatan ruang yang cerdas banget, kan?
Kembali ke ‘pendhopo’, ada beberapa set meja kursi di sono. Tempatnya nggak pernah benar-benar sepi, karena selama beberapa jam aku nongkrong, ada saja kelompok dan komunitas kecil yang ngobrol sambil menikmati minuman. Setelah tanya-tanya, ternyata Rumah Turi memang cuma menyediakan minuman dan menu sarapan serta snack. Hotel ini nggak neko-neko, karena pengoperasian pantry bisa dilakukan staf yang mana saja. Sedang jika punya resto, mereka musti siap dengan chef serta asisten-asistennya.
Puas nongkrong di ‘pendhopo’, aku diperbolehkan ngintip taman dan kamar (ada 3 tipe: standard, deluxe, suit). Taman Rumah Turi? Wow, fantastis. Tadi aku sudah cerita tentang space yang cukup luas berisi tanaman akar wangi. Nah, di pinggirannya, kamu masih bakal nemu area untuk rumput pendek rapi dan palung yang difungsikan sebagai kolam lengkap dengan teratai. Lalu jika kamu mampir ke Rumah Turi dan sempat naik tangga samping, kamu bakal diarahkan ke kebun di atas ‘pendhopo’. Isinya selain rumput, ada pohon-pohon ketimun dengan buah bergelantungan imut, trus ada juga pohon markisa (yang ini pas aku berkunjung belum berbuah), ada pohon cabe, sawi ... turi juga ada lagi di atas. Di bawah dek jembatan penghubung bangunan, ada lorong. Setelah aku tanyakan ke Pak Paulus owner hotel, ternyata lorong itu fungsinya untuk mengoperasikan jendela 'pendhopo'. Jadi yang tadi aku bilang “ruangan terbuka dengan view ke taman bla bla bla” ternyata bisa ditutup, dengan pengoperasian dari lorong ini. Eh, tanam-tanaman di kebun atas ini bukan cuma hiasan lho. Tapi hasilnya digunakan untuk garnish juga.
Puas dengan kebun, aku minta Yuli-butler supervisor Rumah Turi untuk melanjutkan ke kamar. Yah, secara fasilitas sih nggak jauh beda dengan hotel-hotel bintang 3. Ada kamar mandi pake shower, bed dengan penataan yang apik, tv, lemari, minibar, dll dll. Yang membuatku tertarik adalah bagaimana konsep green diterapkan sampai ke pilihan jenis kamar mandi (biar irit air, nggak pake bath up), temboknya yang memanfaatkan cuil-cuilan kayu, dan cat tembok luar yang menggunakan gerusan genteng.
Konsep green ini tidak berhenti sampai di situ saja. Aku salut dengan pemahaman yang dimiliki karyawan dalam perawatan gedung. Kayaknya konsep yang dimiliki owner, bisa ditransfer tanpa banyak distorsi sampai ke tingkat terbawah. Karena kalo buatku, green kan bukan cuma dari tampak luar dan bangunannya. Suasana dan penerapannya di keseharian akan memengaruhi kesuksesan implementasi konsep. Contohnya nih: tidak banyaknya jumlah karyawan di hotel ini. Dengan jumlah kamar (saat ini) yang 18 ruang dan halaman yang cukup rumit, Rumah Turi ‘cuma’ dijalankan oleh 16 karyawan. Itu karena mereka menerapkan bahwa semua orang harus bisa dan siap jadi butler jika dibutuhkan. Dan jangan kira bakal ketemu tampang bersungut-sungut atau hospitality standar hotel lho ya. Nggak ada tuh. Semua orang di sini ramah dan welcome ke tamu, baik itu tamu nginep atau tamu yang cuma ngerecokin macam aku :D. penerimaan mereka ke tamu juga ramah apa adanya, bukan yang mundhuk-mundhuk penuh polesan. Teman banget deh pokoknya.
Waktu itu aku yang datang dengan seorang teman, malah ngobrol santai dengan Pak Paulus, Yuli, dan Pak Aris GM Rumah Turi. Pulangnya, Bu Julia (istri Pak Paulus) yang sedang menerima tamu di meja lain malah sempat ikut mengantar sampai ke halaman.
Jadi alih-alih mendapat layanan copy paste hotel yang kerasa banget lipstik doang, di Rumah Turi, semuanya serba natural. Baik suasana, bangunan fisik, amupun keramahannya. Kalo bisa aku gambarkan, intinya penerapan sense of belonging di kalangan karyawannya pas banget.
Akhir kata, aku bilang sih hotel ini sangat mampu menerapkan sisi “Jawa” sebuah rumah tanpa harus menampakkan wujud fisik rumah Jawa. Lihat saja format layout bangunan yang masih menggunakan fungsi pendhopo, pringgitan, gandhok, dhimpil, dll. Itulah mengapa dari tadi aku nulis pendhopo aku beri tanda kutip. Habis, hotel ini menggunakan fungsi pendhopo, tapi tidak membangun bentuk pendhopo yang khas itu. Jadi ke-Jawa-an yang muncul di hotel ini lebih ke nilai intangible-nya, bahwa sebuah rumah harus membawa aura nyaman, bahwa kenyamanan bisa diciptakan jika kita “Jowo (paham)” kebutuhan orang lain (tamu), bahwa banyak tamu hotel yang merasa tidak nyaman dengan suasana hotel yang copy paste-maka mereka menciptakan hotel dengan suasana homey dan tenang.
Kalo aku musti nggambarin The Sunan Hotel Solo sesuai dengan namanya, justru suasana dan bangun seperti Rumah Turi ini lah yang sesuai. Suasana tranquil dan tenangnya "dunia antara" tergambar di sini. Serasa oase di tengah kota budaya yang semakin padat dan nggak sejuk ini.
Btw, wedang jahenya enak :D!!!

Untuk gambar hotelnya, aku memang nggak sempat motret, tapi dengan mudah bisa dilihat di sini kok:
http://www.rumahturi.com/index.html *

*Nggak kuat nahan diri untuk nguda rasa setelah menyerap keindahan.