tag:blogger.com,1999:blog-91754393142394200952024-02-19T14:50:43.388-08:00menangkap pikiran dengan kata-katabusy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.comBlogger23125tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-91208608981231983792014-04-28T07:24:00.003-07:002014-04-28T07:26:22.212-07:00Berusaha menjawab tentang 'orgasme' ....Barusan ada teman lama yang nge~chat di fb. (Sumpah, I was flattered) Dia cerita kalo rajin ngikutin postingan aku di wall status yang memang banyak banget ngoceh soal Bob anakku. Kata si teman, dia suka nge~save obrolan2ku dengan Bob, untuk bekal dia jawabin pertanyaan2 ajaib keponakannya.<br />
Nah, terus teman ini cerita, kalo dia sempat mati gaya karena ditanyain keponakannya itu tentang arti kata 'orgasme', padahal keponakannya baru kelas 2 SD.<br />
<br />
Nah lo!<br />
Hihihi.<br />
<br />
Temanku lalu tanya, enaknya jawabnya gimana tuh, karena tadi jawaban dia (her words, not mine) 'cetek banget'. Waktu itu si teman jawab, kalo yang namanya orgasme itu berarti 'perasaan seneng'.<br />
<br />
Aku bilang, kalo aku yang kena apes dapat pertanyaan model gitu, aku bakal nanya dulu ke si anak (biasanya yg banyak tanya2 sih Bob ya ...)<br />
1. kamu dapat kata itu dari mana? (baca, tv, nguping?)<br />
2. konteks bahasannya waktu itu apa?<br />
3. Sejauh mana kamu paham?<br />
Nah, kalo sudah gitu, baru deh jawaban2 buat nomor 1, 2, 3, bisa dijadikan dasaran untuk ngejelasin.<br />
Tapi gampangnya sih, aku bakalan ngajak dia untuk buka kamus, nyari kata 'orgasme' di sono. Menurut KBBI, 'orgasme' adalah 'puncak kenikmatan'.<br />
Dari sini, aku bakal terangin, dengan tetap bawa ke basic moralitas: bahwa kalo orang sudah nikah itu ada perasaan bahagiaaaa banget (puncak bahagia, puncak nikmat), rasa bahagia ini biasanya cuma bisa didapat dan dirasakan orang yang sudah nikah. Jadi kalo kamu pengen tau 'orgasme', itu tunggu kamu nikah dulu, nanti baru tau. Sampai saat ini, umur ini, cukup segini dulu ya yang kamu tau. Nanti kalo masih penasaran, boleh tanya lagi pas umurmu sudah 15 tahun.<br />
Hehehe ...<br />
<br />
Ngejawab pertanyaan2 anak memang agak susah juga nemu formulanya. Karena tiap anak kan pemahamannya terhadap suatu fenomena berbeda2 tergantung kerangka persepsi dia.<br />
<br />
Tapi rumus buatku sih, aku usahakan untuk ngasih penjelasan sejujur mungkin, sejelas mungkin, tapi juga segampang mungkin, sesuai dengan umur dia. Aku usahakan penjelasan dariku mencukupi, hingga anakku gak akan nyari penjelasan secara sembunyi2 dari tempat lain.<br />
<br />
Pengalaman ini (tanya~jawab dengan teman tadi) bikin aku jadi menyadari, mengasuh anak itu adalah kenikmatan yang gak terganti. Kagetnya, stresnya, senengnya, semua jadi pengalaman sekali seumur hidup, karena umur anak tidak bisa diulang. <br />
<br />busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-76884958360373916592013-08-28T22:14:00.001-07:002013-08-28T22:20:19.501-07:00MINISET DAN SEX EDUCATION<style>@font-face {
font-family: "Times New Roman";
}@font-face {
font-family: "Trebuchet MS";
}p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal { margin: 0in 0in 0.0001pt; font-size: 12pt; font-family: "Trebuchet MS"; }table.MsoNormalTable { font-size: 10pt; font-family: "Times New Roman"; }div.Section1 { page: Section1; }ol { margin-bottom: 0in; }ul { margin-bottom: 0in; }</style>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLcWud3AxVzYbD8F2ZL_MrZNL6JwjZUOSKoVbq6u7Xw4Ka-fww9upLU-n_M42Hu2lXlSFMItDJroJ_kAZcHUPkSwL-sbX9r47_f9leiw0BOGqfmyaSQFO-ti1xrLUTSUac-uiUeY8emKI/s1600/Sex-Education-Books--Let-talk-30913977651a6a107c8bb57.94503438-0.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLcWud3AxVzYbD8F2ZL_MrZNL6JwjZUOSKoVbq6u7Xw4Ka-fww9upLU-n_M42Hu2lXlSFMItDJroJ_kAZcHUPkSwL-sbX9r47_f9leiw0BOGqfmyaSQFO-ti1xrLUTSUac-uiUeY8emKI/s1600/Sex-Education-Books--Let-talk-30913977651a6a107c8bb57.94503438-0.jpg" height="214" width="320" /></a></div>
(gambar diambil dari kidsinaustralia dot com dot au)<br /><br />
<br />
<span lang="EN-GB">Morning rush hari ini mencakup:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-GB">Bangun jam 04.30, nyuci piring dan gelas bekas semalam, nyiapin
minum dan sarapan (telur orak–arik) dan bekal (sandwich) Bob, nyiapin air
mandi, bangunin buat sarapan dan belajar. Huaaah. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-GB">Setelah Bob belajar dan sarapan, giliran nungguin mandi sambil
nyiapin seragamnya. Nah, pas pakai baju, Bob setengah takut–takut bilang, “Boleh gak,
kalo aku gak usah pakai miniset?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-GB">Ups, apa ini? “Memangnya kenapa?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-GB">Jawab Bob, “Kemarin, pas ganti baju olahraga si R bilang, ‘Ih,
gengsi dong, pakai miniset.’ Aku malu, Ma ….”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-GB">Oke, hitung 1–5, mikir dulu, dan jawabku, “Lebih malu lagi kalo anak
perempuan yang sudah mulai gede kok gak pakai miniset. Mama beliin dan minta
Bob pakai miniset karena Mama sayang sama Bob, perhatian, dan gak pengen Bob
nantinya malu.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-GB">“Kenapa aku bisa malu? Si R malah bilang kalo pakai miniset itu malu.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-GB">“gini ya Nak … anatomi atau bentuk badan anak perempuan itu berbeda
dengan anak laki–laki, dan akan semakin tampak bedanya begitu kalian beranjak
dewasa, contohnya bagian dada. Nah, yang beda itu harus ditutup, supaya tidak
bikin penasaran yang lihat.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-GB">Bob bengong mendengarkan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-GB">Lanjutku, “Mungkin sekarang memang belum banyak temanmu yang pakai
miniset, tapi Mama jamin deh, anak seumurmu memang sudah sebaiknya pakai. Kalo
belum disarankan pakai, kenapa bisa pakaian dalam jenis miniset diciptakan?
Namanya saja ‘mini’, berarti yang musti pakai adalah anak–anak mini atau kecil
dong. Kalo yang musti pakai cuma anak besar, berarti harusnya langsung bra
dong. Iya gak?” Bob ngangguk, jadi aku teruskan, “Biarkan saja kalo teman
ngejek. Berarti teman Bob gak seberuntung Bob, punya Mama yang paham kebutuhan
anak perempuannya. Oke?’</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-GB">Yep, dari pengamatanku terhadap Bob dan teman–teman sekolahnya, ada
beberapa catatan menarik nih:</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<ol start="1" style="margin-top: 0in;" type="1">
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-GB">Bahwa sex education masih belum
diterapkan di kebanyakan rumah tangga di lingkungan teman–teman Bob. Seks
di sini bukan/belum tentang sexual intercourse ya, karena kita bicara
tentang pengetahuan dini anak–anak. Tetapi lebih ke pemahaman tentang
anatomi dan perbedaannya, serta bagaimana menyikapi perbedaan tersebut
tanpa menyebabkan rasa risih serta sungkan. Coba saja, teman–teman Bob
yang waktu kelas 2 kebanyakan sudah berumur 8 tahun, pada waktu olahraga
renang masih dibiarkan saja oleh orangtua mereka untuk mandi bilas
bersama–sama cowok dengan cewek, tanpa penutup badan apapun. Tetapi anak
perempuan justru dibiarkan untuk merasa malu dan sungkan dengan keberadaan
perangkat standar perempuan seperti miniset dan bra. </span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-GB">Anehnya, para orangtua malah
membiarkan anak perempuannya untuk mulai mengenal cowok ke jenjang yang
lebih tinggi dari pertemanan. Bukti? Dengan longgar anak–anak 8~9 tahun ini
dibiarkan mulai membahas tentang ‘pacar’, ‘cowok terganteng di kelas’,
‘Coboy Junior yang paling ganteng’, dan menyanyikan lagu–lagu cinta. </span></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-GB">Buatku hal ini aneh dan berbahaya. Bagaimana mereka bisa mulai
belajar menjaga diri mereka dengan benar jika pengetahuan dasar belum
diberikan, tetapi justru dibiarkan untuk mulai merambah ke area yang lebih advance seperti hubungan dengan
lawan jenis ini?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-GB">(Sigh) Semoga aku bisa membimbing anakku dengan benar dengan dasar
agama, logika, dan moral secara berimbang.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-32877633696006376352012-02-07T03:55:00.000-08:002012-02-07T03:55:43.329-08:00Noura Books: YOUNG SAMURAI-THE WAY OF THE WARRIOR<a href="http://nourabooks.blogspot.com/2012/02/young-samurai-way-of-warrior.html?spref=bl">Noura Books: YOUNG SAMURAI-THE WAY OF THE WARRIOR</a>: Penulis: Chris Bradford Penerbit: Hikmah Tebal: 474 halaman Harga: Rp 59.500,- Peresensi: Briliantina L Hidayat Sudah ...busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-79302514090936112742012-01-07T18:25:00.000-08:002012-01-07T18:53:16.954-08:00Five Stages of Grief-Elizabeth Kubler-Ross<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3eoDDvkoTNJII2Sdxenwyt3vVGuYppQSuTXXWPJVyaPZzSCIbV9wyxz8QQYcj6YdQrcCQHSboZtTIHkkYt2nBOQras7TqSdb7kpbepPGq1xTN6mCnN7b5cM-R_AJujMYbwg1fige0dL0/s1600/grieving.jpg"><img style="float: right; margin: 0pt 0pt 10px 10px; cursor: pointer; width: 320px; height: 318px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3eoDDvkoTNJII2Sdxenwyt3vVGuYppQSuTXXWPJVyaPZzSCIbV9wyxz8QQYcj6YdQrcCQHSboZtTIHkkYt2nBOQras7TqSdb7kpbepPGq1xTN6mCnN7b5cM-R_AJujMYbwg1fige0dL0/s320/grieving.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5695088740308844098" border="0" /></a><br /><p style="font-family: trebuchet ms; text-align: justify;"><strong>1. Denial/Pengingkaran</strong></p><p style="font-family: trebuchet ms; text-align: justify;">Pengingkaran adalah sebuah bentuk penolakan untuk menerima fakta, informasi, realitas, dll secara sadar ataupun tidak sadar, yang berhubungan dengan sebuah situasi. Ini adalah bentuk mekanisme pertahanan diri alami. Beberapa orang bisa terkurung dalam tahapan ini saat menghadapai perubahan traumatis yang memang tidak terelakkan.<br /></p><p style="font-family: trebuchet ms; text-align: justify;"><strong>2. Anger/Kemarahan<br /></strong></p><span style="font-family:trebuchet ms;">Kemarahan bisa mewujud dalam cara-cara yang berbeda-beda. Cara orang menghadapi kekesalan secara emosional bisa berupa marah terhadap diri sendiri dan/atau terhadap orang lain, khususnya pada orang yang dekat kepada dirinya. Memahami tahapan ini bisa membantu diri kita untuk memisahkan dan tidak menghakimi saat mengalami kemarahan.</span> <p style="font-family: trebuchet ms; text-align: justify;"><strong>3. Bargaining/Tawar-menawar</strong></p><p style="font-family: trebuchet ms; text-align: justify;">Biasanya, tahapan bargaining (tawar-menawar) saat orang menghadapi rasa duka bisa mencakup usaha untuk tawar-menawar dengan Tuhannya. Orang yang menghadapi trauma yang lebih ringan bisa tawar menawar atau bernegosiasi untuk mencari kompromi. Contoh: "apakah kita masih bisa berteman?" saat meghadapi putus cinta.</p><p style="font-family: trebuchet ms; text-align: justify;">Ingat, tawar-menawar jarang bisa menghasilkan solusi yang berkelanjutan.<br /></p><p style="font-family: trebuchet ms; text-align: justify;"><br /></p><p style="font-family: trebuchet ms; text-align: justify;"><strong>4. Depression/Depresi</strong></p><p style="font-family: trebuchet ms; text-align: justify;">Tahap ini juga dianggap sebagai masa persiapan menuju "penerimaan". Dalam satu cara, ini adalah bentuk latihan yang dijalani untuk menerima kenyataan. Satu bentuk "penerimaan" dengan emosi yang masih sangat terlibat. Bahwa memang natural untuk merasakan kesedihan dan penyesalan, ketakutan, ketidakpastian, dll. Ini menunjukkan bahwa si pelaku setidaknya mulai menerima kenyataan.<br /></p><p style="font-family: trebuchet ms; text-align: justify;"><br /></p><p style="font-family: trebuchet ms; text-align: justify;"><strong>5. Acceptance/Penerimaan</strong></p><p style="font-family: trebuchet ms; text-align: justify;">Pada umumnya, tahapan ini adalah indikasi bahwa si pelaku sudah bisa memisahkan emosinya dan memandang kejadian secara objektif. Pertahankan tahapan ini, dan si pelaku akan bisa meneruskan hidupnya dengan lebih ringan.<br /></p><p style="font-family: trebuchet ms; text-align: justify;"><br /></p><p style="font-family: trebuchet ms; text-align: justify;">Model ini mungkin adalah sebuah cara untuk menjelaskan mengenai bagaimana dan mengapa "waktu akan menyembuhkan luka", atau bahwa "kehidupan terus berjalan". Dan bersamaan dengan setiap aspek emosi yang kita miliki, saat kita mengetahui lebih jauh tentang tahapan apa yang sedang terjadi, maka menjalaninya akan menjadi lebih mudah.<br /></p><p style="font-family: trebuchet ms; text-align: justify;"><br /></p><p style="font-family: trebuchet ms; text-align: justify;">"Grief cycle" tidak dimaksudkan sebagai tahapan-tahapan yang seragam. Urutannya bisa berbeda-beda, jangka waktu yang dialami masing-masing pelaku saat mengalami tiap tahap juga tidak sama. Model ini lebih merupakan sebuah panduan bagi pelaku untuk menjalani kedukaan yang mereka alami.<br /></p><p style="font-family: trebuchet ms; text-align: justify;">Grief cycle model ini bisa menjadi perspektif yang berguna untuk memahami reaksi emosional saat menghadapi trauma atau perubahan, dengan sebab-sebab yang yang sulit kita terima.<br /></p><p style="font-family: trebuchet ms; text-align: justify;"><br /></p><p style="font-family: trebuchet ms; text-align: left;">Extracted from: http://www.businessballs.com/elisabeth_kubler_ross_five_stages_of_grief.htm</p>busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-59257555871592709102011-09-11T07:09:00.000-07:002011-09-11T08:37:12.198-07:00Kemenangan talok melawan semen rama<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_YzZEy-f_WiIqM7H1LndT5-b4EXXLs5bCXxofxJk1iC059OMnTnJ46rt1_KIfi2vxZRHvH15ZftanPNKjc5FnTFOyrti34NPPb8hK6wmtw_HMJRa9t2miTb0a0JhHifb39s9Qzk8-nT8/s1600/IMG_1662.JPG"><img style="float: right; margin: 0pt 0pt 10px 10px; cursor: pointer; width: 240px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_YzZEy-f_WiIqM7H1LndT5-b4EXXLs5bCXxofxJk1iC059OMnTnJ46rt1_KIfi2vxZRHvH15ZftanPNKjc5FnTFOyrti34NPPb8hK6wmtw_HMJRa9t2miTb0a0JhHifb39s9Qzk8-nT8/s320/IMG_1662.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5651104928260658322" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:trebuchet ms;">Seharian membaca, meringkas, dan mengetik ulang tulisan-tulisan tentang filosofi batik membuat kepala pening dan badan menjeritkan kata “r<span style="font-style: italic;">efreshing</span>!” berkali-kali. Segala macam istilah dan pemaknaan <span style="font-style: italic;">mandala-tri buana-tri loka</span> membuat mataku mengerjap-kerjap buyar. Motif dampar, burung, garuda, binatang darat, binatang laut, baito, pusaka, lidah api, meru, dan pohon hayat memukauku sekaligus menampar-nampar kecerdasan yang sudah melorot hingga ujung jurang.</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Sementara rengekan Bob meminta ditemani pipis berkali-kali mampu membuat ketikanku kembali ke alam antah berantah. Belum lagi pancingan-pancingannya untuk meladeni bercanda, keluhannya karena aku yang berkali-kali menyuruhnya mengecilkan volume TV. Agak sore, waktu aku suruh tidur agar aku bisa memahami batik <span style="font-style: italic;">semen rama</span> dengan tenang, si Bob justru merengek-rengek tak mau tenang. Segala cara dia lakukan untuk memveto keputusan tidur siang.</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Akhirnya papanya menyuruhnya untuk mandi, dan setelahnya boleh berlatih sepeda (hal yang dari tadi sebenarnya ia minta). Habis mandi, giliran papanya yang ngadat tak mau menemani si Bob latihan sepeda. Halah, aku juga yang nemenin? </span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Akhirnya setelah dibujuk dengan kenyataan pileknya yang agak parah, si Bob mau menunda latihan sepeda, dengan ganti ia ingin main ke rumah budenya. Oke, aku antar ke sana. </span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Sayang, sepulang dari pintu belakang rumah Bude, aku justru sudah males banget mengais-ngais fakta tentang <span style="font-style: italic;">semen rama</span> yang dari tadi pagi membuatku puyeng ini. Lalu aku berjalan ke halaman, dan mendapati dua pohon talok yang menaungi kiri dan kanan halaman, sudah kembali digayuti buah merah-merah berkilau manis.</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Rasanya baru kemarin pagi aku meloncat-loncat memetiki buahnya. Ternyata si pohon tidak mau lama-lama mengecewakan yang punya, dan berusaha segenap cara memenuhi suplai warna merah di ujung-ujung tangkainya. </span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Aku juga merasa tak mau menyakiti hati si pohon. Kalau mereka sudah bersedia bersusah-payah mengeluarkan bulatan-bulatan manis itu di sana, bukankah seharusnya aku mau sedikit meluangkan tenaga untuk memetikinya?</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Maka dengan sedikit berjingkat, aku petik bulir buah yang ada di jangkauan tinggiku yang 168 cm ini. Cuci dulu? <span style="font-style: italic;">No way.</span> Enakan juga kalau langsung dikulum. Setelah yang terjangkau jinjitan lenyap terlibas perut, aku tambah sedikit upaya dengan menarik tangkai-tangkai yang ada di depan hidung. Aku raih, tarik, rengkuh. Dan segenggam talok kembali bisa menjadi bukti kemenanganku. </span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Buah kecil mungil seukuran kuku jempol tangan ini meski tidak segar dengan muncratan sari buah yang berlimpah, masih tetap menyimpan sensasi renyah dengan selipan biji halus yang kabarnya bisa ratusan butir per biji buah. Aromanya manis dan wangi dengan kulit buah yang merona berkilauan.</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Talok yang waktu kecilku dulu di Magelang sangat akrab dengan sapaan nama kersen ini termasuk tanaman perdu yang bisa mencapai tinggi beberapa meter. Begitu pula yang ada di halaman rumah. Dengan usia yang baru sekitar empat tahun, bentuk dan kerindangannya menyerupai pohon beringin di tengah alun-alun kota. Daun pohon ini rimbun dengan warna hijau muda, dan terasa kesat berbulu saat diraba. Tebaran bunganya tak kenal musim. Pantas saja buahnya juga selalu bermunculan meski buah-buahan lain silih berganti menyapa di kios pedagang pinggir jalan.<br /><br /></span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Mengapa aku meributkan talok? Hhh, selain karena memang sedang butuh<span style="font-style: italic;"> refreshing</span> dari gempuran filosofi <span style="font-style: italic;">semen rama</span> dan <span style="font-style: italic;">sida mukti</span> yang memusingkan, aku juga baru saja merasakan manfaat tanaman talokku. Oke, bukan karena talok bisa mengobati asam urat ya ... karena memang aku tidak mengalami gangguan penyakit tersebut. Ini lebih karena saat aku meraih, menjangkau, menerpa, menerjang, meloncat mencoba memetik talok yang merah menggoda, aku merasakan dorongan untuk terus meregangkan tubuh. Tentu saja yang pertama menjadi sasaran adalah yang ada tepat di depan mata. Tapi begitu yang setinggi itu habis, aku menaikkan pandangan, dan meraih yang sejangkauan. Begitu tangan sudah tidak bisa meraih, giliran tubuh yang diulur dan kaki meloncat-loncat. Akhirnya kaki pun menyerah kalah. Maka aku memutuskan sudah saatnya tongkat dan kursi teras beraksi menopang energiku. Dan hasilnya? Lumayan. Selain rasa puas berhasil menggunduli pohonku, keringat juga bercucuran dan otot terasa dipekerjakan habis-habisan.</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Pohon talokku, terima kasih. Sampai jumpa besok pagi ya :)</span> </div>busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-9480776451773593162011-07-07T05:27:00.000-07:002011-07-07T05:32:53.266-07:00"Beli Indonesia" akankah bertahan?<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFdeBKkDLNfoSo3job4umqmTXXKtAgm6j43jldwRb0HyXi7xhzJ1_dJFxiZL_tF-HCXrO1NOyXUIHn9sM3olsk5SAMjDWNNJPC0QKfB0nz8W92G_XtnrLJ42M_nZeWGSE_3rbQqAF-CyU/s1600/Cinta-Indonesia-1.jpg"><img style="float: right; margin: 0pt 0pt 10px 10px; cursor: pointer; width: 320px; height: 202px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFdeBKkDLNfoSo3job4umqmTXXKtAgm6j43jldwRb0HyXi7xhzJ1_dJFxiZL_tF-HCXrO1NOyXUIHn9sM3olsk5SAMjDWNNJPC0QKfB0nz8W92G_XtnrLJ42M_nZeWGSE_3rbQqAF-CyU/s320/Cinta-Indonesia-1.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5626587008312912882" border="0" /></a><br /><p>Apa sih bedanya gerakan "Beli Indonesia" dengan slogan dan gerakan yang dulu pernah di-hype-kan, "Aku Cinta Produk Indonesia"? Bukannya sama-sama meminta kesadaran masyarakat Indonesia untuk mencoba produk Indonesia dan kemudian diharapkan akan menggunakannya? Mengapa harus ada perubahan nama gerakan?</p><p> </p><p>Kalau aku lihat dari persepsiku sih, gerakan seperti itu justru mengukuhkan kita dalam berperilaku khas bangsa yang pernah terjajah. Mengapa kita harus sebegitu takutnya bersaing dengan produk-produk luar negeri (yang biasanya diyakini sebagai produk negara yang lebih maju) jika kita yakin atas kualitas produk yang kita miliki? Kita justru tampak minder sehingga merasa harus menggalang persatuan di kalangan produsen dan konsumen untuk bisa sekata dalam melakukan konsumsi.</p><p> </p><p>Aku tidak bisa membayangkan menggembar-gemborkan dan "memaksa" orang lain untuk seide dengan kita akan bisa mendongkrak konsumsi produk dalam negeri. Soalnya masalah konsumsi kan preferensi pribadi. Apa yang kita beli bisanya berdasarkan dari referensi positif yang kita miliki digabung dengan pengalaman pribadi. jadi pemaksaan slogan dan gerakan akan kurang mengena, dan aku khawatirkan hasil "Beli Indonesia" akhirnya akan tidak jauh berbeda dengan "Aku Cinta Produk Indonesia". Hanya sebatas slogan dan stiker yang ditempel di mana-mana.</p><p> </p><p>Penciptaan citra yang bagus mengenai produk Indonesia (IMHO) tidak bisa dibangun dengan suatu gerakan. Kalau kita memang yakin atas produk yang kita hasilkan, mengapa kita tidak mengemas pemasarannya dengan cara yang lebih terstruktur dan disusun berdasar riset konsumen yang mendalam? Pemahaman yang mendalam tentang perilaku konsumen dan kemudian usaha untuk mendekati konsumen berdasar pemahaman tersebut biasanya akan lebih efektif dibanding memaksakan slogan yang kebanyakan orang tidak tahu atau tidak yakin akan korelasi positifnya dengan kenyataan di pasar.</p><p> </p><p>Mulailah membuat strategi pemasaran yang consumer base. Jangan jadikan biaya sebagai alasan untuk meniadakan promosi karena tanpa ada promosi yang memadai, produk yang bagus tidak akan bisa terkomunikasikan dengan benar. Dan promosi pun bisa dirancang sesuai dengan budget yang ada.</p><p> </p><p>Jadi, daripada "memaksa" konsumen untuk "Beli Indonesia", lebih baik yakinkan konsumen bahwa produk lokal memang layak untuk dibeli dengan menjaga mutu dan melakukan kombinasi tepat dari komponen-komponen promosi yang ada.</p>busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-49666691519593567022011-05-19T22:40:00.000-07:002011-05-19T23:00:53.953-07:00Sedang Tidak Meng-Gelora .... (a view from Problem and Opportunity Strategy)<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi21QSXht2MgzkmqsTFr8sxxmO3YEvTQVlltZWHs_TJAXzOJD7-RYE8A5pCFdlPNkb-opsSO0f1OZ-rsx6SyNVZt4XXEvh2o9TDZgPqsaRc-B16ei_tkNTXeTpJl3F6P5Dn4zh1sq_Fepg/s1600/flow.jpg"><img style="float: right; margin: 0pt 0pt 10px 10px; cursor: pointer; width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi21QSXht2MgzkmqsTFr8sxxmO3YEvTQVlltZWHs_TJAXzOJD7-RYE8A5pCFdlPNkb-opsSO0f1OZ-rsx6SyNVZt4XXEvh2o9TDZgPqsaRc-B16ei_tkNTXeTpJl3F6P5Dn4zh1sq_Fepg/s320/flow.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5608669534807284306" border="0" /></a><br /></div><span style="font-family:trebuchet ms;">Sebagai salah satu pengguna jasa taksi yang lumayan rutin, aku agak-agak miris melihat nasib Gelora Taksi. Perusahaan taksi yang beroperasi di Solo ini berdirinya belum lama. Paling banter lima tahunan lah. Mungkin bahkan lebih muda lagi. Tapi sejauh ini opini negatif masyarakat sudah berkembang secara deret ukur, bukan deret hitung lagi. Padahal kalau melihat siapa-siapa saja pemiliknya, taksi ini adalah usaha resmi dan berbadan hukum milik pejabat dan pengusaha dengan citra positif di Solo.</span><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:trebuchet ms;">Mengapa bisa begini?</span><br /><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Kalau aku lihat sih semua karena pengelolaan yang kurang rapi. Taksinya banyak yang agak-agak bau. Mungkin karena interiornya yang menggunakan bahan kain, ditambah <span style="font-style: italic;">driver</span>-nya suka nongkrong di dalam menunggu tamu sambil ngerokok. </span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Belum lagi citra yang terdengar di luaran, bahwa kebanyakan <span style="font-style: italic;">driver</span> Gelora Taksi adalah preman-preman (entah apa itu maksudnya). Tapi yang jelas, perilaku mereka memang kebanyakan tukang maksa dan suka tidak tertib jika itu berkaitan dengan pemberlakuan tarif kepada tamu.</span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Maksudnya?</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Nah, sekarang kita bahas ke <span style="font-style: italic;">argometer</span> deh. <span style="font-style: italic;">Argometer</span> adalah sistem penagihan pembayaran yang sudah kita kenal secara umum diberlakukan pada jenis angkutan taksi yang didasarkan pada satu angka awal dikalikan jumlah kilometer yang ditempuh. Di Solo, <span style="font-style: italic;">argometer</span> dimulai dari angka Rp 4500,-. Tapi khusus untuk Gelora Taksi, <span style="font-style: italic;">argometer</span> memang (seringkali) tidak berlaku. Para <span style="font-style: italic;">driver</span> lebih suka memberlakukan sistem tarif yang mereka patok <span style="font-style: italic;">seenak udel sendiri</span> (mau tau seberapa enaknya udel driver Gelora Taksi? Silakan cicip dengan minta ijin yang punya). </span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Dari pengalaman yang aku alami, Solo Grand Mall ke Karanganyar biasanya Rp 45.000 an (pakai <span style="font-style: italic;">argometer</span>). </span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Nah, suatu saat aku pergi ke mal dengan si Bob. Karena hujan turun deras banget, kita asal minta panggilkan taksi ke <span style="font-style: italic;">customer service</span> mal, tanpa pilih. Akhirnya datang deh satu taksi dan kami langsung naik. Di perjalanan, aku baru sadar kalau <span style="font-style: italic;">argometer</span>-nya belum dipencet. Aku ingatkan dong pak <span style="font-style: italic;">driver-</span>nya, secara dia nanti yang bakal rugi kalo mencetnya terlalu telat. Dan enak banget dia jawab, “Sudah biasanya kalau ke Karanganyar pakai tarif, Bu.” Lho, aku protes dong, “Biasa bagaimana? Aku hampir setiap hari naik taksi lho Pak. Dan selalu menggunakan patokan argo.” Si driver ngeyel. Terus aku tanya, “Memangnya tarif ke Karanganyar berapa?” dan dia jawab, “65ribu.” Glodhak. Lumayan nyebelin juga kan? Memang sih, uang segitu menurut dia tidak jauh-jauh amat bedanya (gundulmu pak). Tapi intinya kan itu agak-agak menjebak konsumen. Tapi karena hari hujan, dan aku juga menganggap agak salah kita juga, tidak ngecek dan pilih taksi sebelum naik, ya aku bayar sesuai permintaan dia. Tapi awas saja, kapok.</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Pengalaman kakakku juga mirip tuh. Dari terminal Tirtonadi ke rumahku di Karanganyar, biasanya <span style="font-style: italic;">argometer</span> bakal menerakan angka Rp 40rb-an. Tapi berhubung sudah malam, kakakku tidak bisa banyak pilih-pilih taksi, dan nurut saja diseret masuk ke Gelora Taksi yang mangkal di luar terminal. Lalu berapa angka yang diminta si <span style="font-style: italic;">driver</span>? Rp 65rb. </span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Dan cerita tentang <span style="font-style: italic;">argometer</span> versi Gelora Taksi tidak bakal bisa dihentikan hanya sampai di sini. Sudah banyak yang mengalaminya.</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Kisah menjengkelkan ini masih bisa dilanjutkan dengan kisah tentang armada<span style="font-style: italic;"> Xenia</span> mereka. Dengan <span style="font-style: italic;">argometer</span> yang dimulai dari angka Rp 4750, <span style="font-style: italic;">driver Xenia</span> biasanya masih minta tambahan tip yang agak-agak memaksa. Alasannya, kan mobil mereka muat orang untuk dua taksi. Jadi dihitung-hitung konsumen masih lebih untung meski ada tarif tambahan.</span> <br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Dengan citra yang sudah semakin buruk, aku kasihan saja dengan pemegang mereknya, karena:</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">1. Apakah mereka tahu kinerja merek mereka sudah sedemikian buruk?</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">2. Apakah mereka tahu buruknya kinerja merek tersebut banyak dipengaruhi oleh layanan yang memang buruk?</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">3. Apakah mereka tahu jika kinerja merek yang buruk tidak segera ditangani bakal menjatuhkan merek itu di pasaran?</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">4. Apakah mereka tahu bagaimana cara menangani merek dengan kinerja yang mengecewakan?</span><br /><br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >Problem and Opportunity Strategy</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Strategi beriklan ini diperkenalkan pertama kali oleh agency Batten, Bernbach, Durstine, and Osborn (BBDO). Intinya, perusahaan sebaiknya mencari permasalahan produk untuk dinetralisasi melalui iklan atau mencari peluang produk untuk dieksploitasi dalam periklanan. Selama masih ada <span style="font-style: italic;">sales resistance problem</span>, mayoritas konsumen tidak akan mau membeli produk tersebut. Karena itu permasalahan harus diatasi oleh pabriknya (perusahaannya) maupun melalui periklanan. </span><span style="font-family:trebuchet ms;">Strategi seperti ini baik diterapkan di periklanan produk yang: </span><span style="font-family:trebuchet ms;">Memiliki <span style="font-style: italic;">sales resistance problem</span></span>, d<span style="font-family:trebuchet ms;">an problem tersebut masih bisa diperbaiki citranya.</span> <br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Berarti langkah pemegang merek Gelora Taksi sebaiknya:</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">1. Mulai mendengarkan aspirasi dan masukan konsumen.</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">2. Memeriksa kebenaran masukan tersebut.</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">3. Memperbaiki kinerja produknya (jika memang menemukan kelemahan di tingkat operasional di lapangan).</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">4. Membuat kampanye periklanan untuk mengomunikasikan perbaikan-perbaikan yang sejauh ini sudah dilaksanakan.</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">5. Memastikan kampanye periklanannya sejalan dengan kinerja produk yang diperbaiki.</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">6. Menggunakan media yang tepat untuk menjangkau target audience komunikasi.</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Ikut prihatin saja. Ingat kasus President Taxi yang sampai merasa harus mengganti namanya menjadi Prestasi karena layanan dan kinerja merek yang buruk. Dan betapa usaha penggantian merek itu menjadi sia-sia saat tetap tidak adanya komunikasi yang tepat setelah penggantian nama yang kemudian juga seharusnya diikuti dengan perbaikan layanan.</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Salam iseng ^_^</span><br /></div>busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-33982015430027275292011-05-19T01:36:00.000-07:002011-05-19T17:45:23.441-07:00Keluhan Seorang Korban Monster Lidah Buaya<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3w0V_aGFJ5ee2yIhbJTiHWre2tVC9gzSLa4fKUcqL9bEKSkdiO8ce3iyb-tIFTmMenX3xnUhCyFteAZ8Cfb4SnZPF9s9R-muFDnvDKhiCmPORGRGc38ZPoBXrFm4TeeCRelN6m21og5A/s1600/China_100_polyester_fabric20094201223138.jpg"><img style="float: right; margin: 0pt 0pt 10px 10px; cursor: pointer; width: 320px; height: 262px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3w0V_aGFJ5ee2yIhbJTiHWre2tVC9gzSLa4fKUcqL9bEKSkdiO8ce3iyb-tIFTmMenX3xnUhCyFteAZ8Cfb4SnZPF9s9R-muFDnvDKhiCmPORGRGc38ZPoBXrFm4TeeCRelN6m21og5A/s320/China_100_polyester_fabric20094201223138.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5608346077390276034" border="0" /></a><br /><span style="font-family:trebuchet ms;"><span style="font-style: italic;">"Ranger Transparan tidak berdaya menghadapi serangan monster Lidah Buaya. Mayday. Mayday. Mayday! perlu bantuan ke lokasi pertempuran. Segera!"</span><br /><br />Teriakan ini sering banget beredar di <span style="font-style: italic;">wall status </span>facebook-ku, atau di SMS yang saling aku kirim dengan teman-teman. Apa sih Monster Lidah Buaya? Seberapa berbahayakah dia? seberapa lebih sangar dibanding Cookie Monster? Inilah ceritanya ...<br /><br />Aku gak ngerti, kenapa juga dulu jenis kain <span style="font-style: italic;">polyester</span> diciptakan? kain ini kalo dipakai pas cuaca dingin, gak bisa bikin tubuh jadi hangat. Giliran digunakan saat cuaca panas, bikin badan serasa ada di dalam sauna. masih ditambah bonus pastinya juga tuh: bau ketek yang tiada tara. Jenis kain ini juga <span style="font-style: italic;">flamable</span>. Berhubung bahan dasarnya plastik, jadinya gampang banget bereaksi dengan panas (api). jadi meski gak dibakar secara langsung, <span style="font-style: italic;">polyester</span> cenderung mudah meleleh dan menunjukkan tanda-tanda terbakar saat berdekatan dengan api.<br /><br />Nah, ketahuan banget kan, <span style="font-style: italic;">polyester</span> sangat berbahaya.</span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Tapi perlu agak jujur juga, jenis kain ini cukup populer di tahun 90an. itu tuh, jenis kain yang waktu itu banyak disukai cewek-cewek karena kainnya yang gak gampang kusut. Waktu itu banyak disebut dengan "kain tisu". Cewek tahun 90an gak bakal ngerasa keren kalo belum pake baju dengan bahan dari <span style="font-style: italic;">polyester</span>/tisu. </span> <span style="font-family:trebuchet ms;"><br /><br />Kembali ke <span style="font-style: italic;">polyester</span> vs udara panas ya .... </span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Baunya khas banget. Pernah nekat nyoba nyium daun lidah buaya? pasti pernah. ingat baunya kan? traumatik banget? yakin deh, seperti itu tuh bau <span style="font-style: italic;">polyester</span> kalo sudah bergaul dengan kulit, ditaruh di suasana panas berkeringat. Coba saja selamatkan diri dengan guyuran parfum. gak bakal bisa berhasil. Bau ketek tetap bakal berkuasa. Dan baunya gak cukup <span style="font-style: italic;">slendhang-slendheng</span> bikin penasaran. Bau ketek karena <span style="font-style: italic;">polyester </span>biasanya langsung nyeruduk indera penciuman. membuat terpana, memualkan, memabukkan, sekaligus menyalakan <span style="font-style: italic;">internal alarm</span> tubuh kita, bikin kita jadi memblokir segala macam bau-bauan selama setidaknya seperempat jam. Membuat kita pengen melakukan apapun untuk menyingkirkan si penyebab bau yang berkeliaran, mengumbar keteknya tanpa rasa dosa.</span> <span style="font-family:trebuchet ms;"><br /><br />Siapa yang mengikuti kisah-kisah Superman? Superhero yang narsis (1. memanggil dirinya sendiri dengan sebutan "Super ..." 2. Pede banget pake celana dalem merah sebagai kostum. Mana dikombinasikan dengan legging biru lagi. eeew) ini beberapa kali muncul lemah karena berdekatan dengan batu kriptonit. Begitulah efek <span style="font-style: italic;">polyester </span>buatku. Seperti kriptonit. Melemahkan. Membuatku membutuhkan liburan segera sebagai salah satu cara mengembalikan semangat yang sudah terlanjur terdegradasi secara semena-mena.*</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">*Sedang bersyukur seharian besok bisa berleha-leha di rumah memulihkan harga diri hidungku yang terlanjur ternodai.</span>busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-14600157514808931832011-05-15T23:32:00.000-07:002011-05-15T23:36:59.762-07:00Tidak semua kesabaran membuahkan kebaikan<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiM7FWi6PkrUZC6ih7ba85Ss2jlY1pEgLrkTMymVy8xA9hwZO0N9LQlS1xtXrRfNM1RN7yoVL6jGDjitRmhksi_NHmaQVzQ-SWl1wRVeyJmOuqXUN-DypDyOygCfJ3r7J9JtUn2cSBCI9M/s1600/four-leaf-clover.jpg"><img style="float: right; margin: 0pt 0pt 10px 10px; cursor: pointer; width: 258px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiM7FWi6PkrUZC6ih7ba85Ss2jlY1pEgLrkTMymVy8xA9hwZO0N9LQlS1xtXrRfNM1RN7yoVL6jGDjitRmhksi_NHmaQVzQ-SWl1wRVeyJmOuqXUN-DypDyOygCfJ3r7J9JtUn2cSBCI9M/s320/four-leaf-clover.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5607199177007576082" border="0" /></a><br /><span style="font-family:trebuchet ms;"><span style="font-style: italic;">Chemistry</span> adalah rasa sreg yang muncul dari dua pihak yang berbeda. Rasa yang biasanya mendasari kebersamaan indah ke depannya. <span style="font-style: italic;"></span></span><span style="font-family:trebuchet ms;">Saat dua pihak saling suka, penjajakan akan dilakukan. Kita berusaha menemukan titik-titik penambah kedekatan. Kita juga menganalisis kemungkinan-kemungkinan perbedaan. </span><span style="font-family:trebuchet ms;"><span style="font-style: italic;">Chemistry</span> tidak bisa dipaksakan, dan aku sudah membuktikannya.</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Ada satu masa, di mana aku terjebak untuk berusaha membuktikan positivitas yang aku punya atas nama <span style="font-style: italic;">chemistry</span> yang aku kira ada. Tapi lama-lama mandek juga akhirnya. Bukankah jika atas nama <span style="font-style: italic;">chemistry</span>, pembuktian harus dari dua pihak secara resiprokal? Berapa banyak lagi yang ia minta? Bukti apa lagi yang harus dilihat? Pengorbanan macam apa lagi yang harus dilakukan? </span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Jika awal keingindekatan adalah karena kepedulian, karena keinginan melihatnya mencapai kemajuan, ketimpangan ini sekarang sudah membawaku sampai di persimpangan. Apakah aku masih ingin menunjukkan kesetiaan, atau aku biarkan saja ia bertahan dalam kenaifan?</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Sudahlah, bukan cuma dia yang bisa mengambil keputusan. Di tengah segala tuntutan pembuktian, aku menemukan beberapa ketidaksukaan, banyak ketidakmasukakalan, juga ketidakjujuran. Semoga banyaknya tuntutan yang dia minta bisa dipenuhi oleh entah siapa di luar sana.</span> <span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >Good luck my friend. You'll need it indeed.</span>busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-29298618913614790782011-02-06T23:55:00.000-08:002011-02-07T00:01:56.041-08:00Pekewuh Berkompetisi (?)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgD-5Bk6s8gCt_VYBusdzJYfzigfQ8sSZLQ5orEjm67LE2K_Nt54VWE60RUrKkJvle-4FaBSHyz93mmiZs4cw1GNL1-QatpsWVhlELHr4fi0Qn3UtmgSFRsrXdKZ02LyReDpSaETOfg_P8/s1600/competition.jpg"><img style="float: right; margin: 0pt 0pt 10px 10px; cursor: pointer; width: 320px; height: 262px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgD-5Bk6s8gCt_VYBusdzJYfzigfQ8sSZLQ5orEjm67LE2K_Nt54VWE60RUrKkJvle-4FaBSHyz93mmiZs4cw1GNL1-QatpsWVhlELHr4fi0Qn3UtmgSFRsrXdKZ02LyReDpSaETOfg_P8/s320/competition.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5570853617758445618" border="0" /></a><br /> <span style="font-family:trebuchet ms;">Berkali-kali ketemu dan ngobrol klien dan calon klien di Solo dan sekitarnya, bikin aku jadi punya satu hal yang bisa aku <span style="font-style: italic;">share</span> di sini.</span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Ini tentang ‘kompetisi’ dan ‘kompetitor’ ...</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Apa karena sedang bicara pada orang-orang yang bertradisi Jawa Tengah yang penuh <span style="font-style: italic;">ewuh-pekewuh</span>, maka kayaknya orang Solo sungkan banget untuk diajak memetakan kompetisi produk.</span> <span style="font-family:trebuchet ms;"><br /><br />Contohnya nih jika ada pertanyaan:</span> <span style="font-family:trebuchet ms;"><br />1. Siapa sih target utama yang disasar pemegang merek?</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">2. Siapa yang dianggap sebagai kompetitor utama?</span> <span style="font-family:trebuchet ms;"><br /><br />Untuk pertanyaan pertama, mereka akan mengurai <span style="font-style: italic;">target</span> (target-target) <span style="font-style: italic;">market</span>-nya yang biasanya meliputi segala sisi umur, SES, lokasi, pendidikan. Pokoknya untuk semua orang lah kalo bisa :).</span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Nah, begitu sampai ke pertanyaan kedua, mereka bakal berbalik, kalo gak pernah nganggep pihak mana pun sebagai kompetitor. “Kami pengennya menganggap mereka sebagai mitra.” Itu kan kontradiktif dengan kemauan menyasar target di semua lini.</span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Kenapa bisa begitu?</span> <span style="font-family:trebuchet ms;"><br /><br />Hmm, mengacu pada ‘kompetitor’ yang berkata dasar ‘kompetisi’, kata ini memang berkesan agresif sekali. Padahal agresivitas bukan budaya yang dianggap melekat pada orang Jawa Tengah yang penuh <span style="font-style: italic;">pekewuh</span>. Jadi mencanangkan kompetisi pada pihak-pihak tertentu menjadi tabu karena berkesan sikut-sikutan.</span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Padahal kompetisi dan kompetitor kan gak harus selalu ditanggapi secara negatif. Soalnya, bagaimana kita bisa menjaring konsumen loyal jika kita tidak tahu pada siapa kita bicara dan siapa saja yang saat ini bicara pada mereka, kan?<br /><br /></span><span style="font-family:trebuchet ms;">Dunia pemasaran saat ini juga tidak menyarankan kompetisi langsung (<span style="font-style: italic;">head on</span>), karena kompetisi secara langsung akan terasa melelahkan. Kompetisi langsung juga akan membuat kita kesulitan membangun merek. Mengapa begitu? Huh, boro-boro membangun merek, hidup kita akan sibuk saling panas dengan apapun yang bakal dilakukan kompetitor.</span> <span style="font-family:trebuchet ms;"><br /><br />Itulah mengapa kita perlu sekali lagi memahami <span style="font-style: italic;">positioning</span>: strategi mencari celah kosong di otak konsumen yang belum ditempati produk/merek apapun, agar produk/merek kita bisa masuk dan bertahan di sana.</span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Bagaimana cara kerja <span style="font-style: italic;">positioning</span>? Tentu saja dengan memahami dulu siapa kompetitor kita. Setelah kita memahami kompetitor, kita bisa melihat target dan klaim mereka. Setelah itu, secara bodohnya, kita bisa mencari jalan lain ke hari konsumen. Jalan yang tidak bertumbukan dengan kompetitor. Kita bisa menempatkan merek kita di posisi yang belum tersentuh kompetitor. Pada akhirnya, kita bisa membuat konsumen mengenali merek kita jika disandingkan dengan kompetitor. </span> <span style="font-family:trebuchet ms;"><br /><br />Soal akhirnya merek lain kita rangkul sebagai mitra, itu langkah lain. Tapi sebelumnya kita harus mengakui, bahwa kompetisi itu memang akan selalu ada sepanjang produksi dan merek berkisar di kebutuhan-kebutuhan manusia yang sama. </span>busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-604361763657541942011-01-16T23:11:00.001-08:002011-01-18T19:27:48.899-08:00Nongkrong di Oase-nya Solo<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGW0Bxp2Uw7kCA8IcnSV17pCrodXRJSJ2UiGlGJu7r30TmyWiohCwe_9HUhL0p-2JrcIZtsMkvJ2a4cs1VULaMUgRn-BEEZ7peXSDjDdTi-66QAvSSnZwbn9Cl2CvfI6EE12bLpTuYYx0/s1600/turi+turi.jpg"><img style="float: right; margin: 0pt 0pt 10px 10px; cursor: pointer; width: 320px; height: 241px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGW0Bxp2Uw7kCA8IcnSV17pCrodXRJSJ2UiGlGJu7r30TmyWiohCwe_9HUhL0p-2JrcIZtsMkvJ2a4cs1VULaMUgRn-BEEZ7peXSDjDdTi-66QAvSSnZwbn9Cl2CvfI6EE12bLpTuYYx0/s320/turi+turi.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5563052606782909074" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Beberapa hari yang lalu, aku berkesempatan mampir ke sebuah <span style="font-style: italic;">boutique hotel</span> di Solo, Rumah Turi. Bukannya mau nginep lho, secara rumahku saja masih di lingkungan Subosukawonosraten. Yah, cuma ada janjian ketemu saja dengan kenalan.<br />Oke, bukan soal janjian dengan temanku yang bakal aku ceritain di sini. Karena ngerti banget kan, pasti isinya cuma ngobrol ngalor ngidul nggak jelas. Aku pengen ngobrolin Rumah Turi-nya.<br />Dilihat dari luar, hotel ini sudah kliatan asri banget. Dan sesuai namanya, ada beberapa pohon turi ditanam di depan. Masuk pertama, kita diajak ke area publik yang kalo di rumah Jawa pasti fungsinya bakal sama dengan <span style="font-style: italic;">pendhopo</span>. Ruangannya terbuka (tanpa pintu, maksudku), dengan <span style="font-style: italic;">view</span> ke taman yang didominasi tumbuhan jenis rumput-rumputan yang sempat aku kira padi ternyata tumbuhan akar wangi. Di atas tanaman akar wangi tersebut dibangun <span style="font-style: italic;">rigging </span>terbuka. Untuk <span style="font-style: italic;">special occasion</span>, ternyata area tersebut difungsikan sebagai panggung. Pemanfaatan ruang yang cerdas banget, kan?<br />Kembali ke <span style="font-style: italic;">‘pendhopo’</span>, ada beberapa set meja kursi di sono. Tempatnya nggak pernah benar-benar sepi, karena selama beberapa jam aku nongkrong, ada saja kelompok dan komunitas kecil yang ngobrol sambil menikmati minuman. Setelah tanya-tanya, ternyata Rumah Turi memang cuma menyediakan minuman dan menu sarapan serta s<span style="font-style: italic;">nack</span>. Hotel ini nggak <span style="font-style: italic;">neko-neko</span>, karena pengoperasian <span style="font-style: italic;">pantry </span>bisa dilakukan staf yang mana saja. Sedang jika punya resto, mereka musti siap dengan <span style="font-style: italic;">chef </span>serta asisten-asistennya.<br />Puas nongkrong di <span style="font-style: italic;">‘pendhopo’</span>, aku diperbolehkan ngintip taman dan kamar (ada 3 tipe: <span style="font-style: italic;">standard, deluxe, suit</span>). Taman Rumah Turi? Wow, fantastis. Tadi aku sudah cerita tentang space yang cukup luas berisi tanaman akar wangi. Nah, di pinggirannya, kamu masih bakal nemu area untuk rumput pendek rapi dan palung yang difungsikan sebagai kolam lengkap dengan teratai. Lalu jika kamu mampir ke Rumah Turi dan sempat naik tangga samping, kamu bakal diarahkan ke kebun di atas <span style="font-style: italic;">‘pendhopo’</span>. Isinya selain rumput, ada pohon-pohon ketimun dengan buah bergelantungan imut, trus ada juga pohon markisa (yang ini pas aku berkunjung belum berbuah), ada pohon cabe, sawi ... turi juga ada lagi di atas. Di bawah dek jembatan penghubung bangunan, ada lorong. Setelah aku tanyakan ke Pak Paulus o<span style="font-style: italic;">wner</span> hotel, ternyata lorong itu fungsinya untuk mengoperasikan jendela <span style="font-style: italic;">'pendhopo'</span>. Jadi yang tadi aku bilang “ruangan terbuka dengan <span style="font-style: italic;">view</span> ke taman bla bla bla” ternyata bisa ditutup, dengan pengoperasian dari lorong ini. Eh, tanam-tanaman di kebun atas ini bukan cuma hiasan lho. Tapi hasilnya digunakan untuk <span style="font-style: italic;">garnish</span> juga.<br />Puas dengan kebun, aku minta Yuli-<span style="font-style: italic;">butler supervisor</span> Rumah Turi untuk melanjutkan ke kamar. Yah, secara fasilitas sih nggak jauh beda dengan hotel-hotel bintang 3. Ada kamar mandi pake <span style="font-style: italic;">shower, bed</span> dengan penataan yang apik, tv, lemari, <span style="font-style: italic;">minibar,</span> dll dll. Yang membuatku tertarik adalah bagaimana konsep <span style="font-style: italic;">green</span> diterapkan sampai ke pilihan jenis kamar mandi (biar irit air, nggak pake <span style="font-style: italic;">bath up</span>), temboknya yang memanfaatkan cuil-cuilan kayu, dan cat tembok luar yang menggunakan gerusan genteng.<br />Konsep <span style="font-style: italic;">green</span> ini tidak berhenti sampai di situ saja. Aku salut dengan pemahaman yang dimiliki karyawan dalam perawatan gedung. Kayaknya konsep yang dimiliki <span style="font-style: italic;">owner</span>, bisa ditransfer tanpa banyak distorsi sampai ke tingkat terbawah. Karena kalo buatku, <span style="font-style: italic;">green</span> kan bukan cuma dari tampak luar dan bangunannya. Suasana dan penerapannya di keseharian akan memengaruhi kesuksesan implementasi konsep. Contohnya nih: tidak banyaknya jumlah karyawan di hotel ini. Dengan jumlah kamar (saat ini) yang 18 ruang dan halaman yang cukup rumit, Rumah Turi ‘cuma’ dijalankan oleh 16 karyawan. Itu karena mereka menerapkan bahwa semua orang harus bisa dan siap jadi <span style="font-style: italic;">butler </span>jika dibutuhkan. Dan jangan kira bakal ketemu tampang bersungut-sungut atau <span style="font-style: italic;">hospitality</span> standar hotel lho ya. Nggak ada tuh. Semua orang di sini ramah dan <span style="font-style: italic;">welcome</span> ke tamu, baik itu tamu nginep atau tamu yang cuma ngerecokin macam aku :D. penerimaan mereka ke tamu juga ramah apa adanya, bukan yang <span style="font-style: italic;">mundhuk-mundhuk</span> penuh polesan. Teman banget deh pokoknya.<br />Waktu itu aku yang datang dengan seorang teman, malah ngobrol santai dengan Pak Paulus, Yuli, dan Pak Aris GM Rumah Turi. Pulangnya, Bu Julia (istri Pak Paulus) yang sedang menerima tamu di meja lain malah sempat ikut mengantar sampai ke halaman.<br />Jadi alih-alih mendapat layanan <span style="font-style: italic;">copy paste</span> hotel yang kerasa banget lipstik doang, di Rumah Turi, semuanya serba natural. Baik suasana, bangunan fisik, amupun keramahannya. Kalo bisa aku gambarkan, intinya penerapan <span style="font-style: italic;">sense of belonging</span> di kalangan karyawannya pas banget.<br />Akhir kata, aku bilang sih hotel ini sangat mampu menerapkan sisi “Jawa” sebuah rumah tanpa harus menampakkan wujud fisik rumah Jawa. Lihat saja format <span style="font-style: italic;">layout </span>bangunan yang masih menggunakan fungsi <span style="font-style: italic;">pendhopo, pringgitan, gandhok, dhimpil,</span> dll. Itulah mengapa dari tadi aku nulis <span style="font-style: italic;">pendhopo </span>aku beri tanda kutip. Habis, hotel ini menggunakan fungsi <span style="font-style: italic;">pendhopo,</span> tapi tidak membangun bentuk <span style="font-style: italic;">pendhopo</span> yang khas itu. Jadi ke-Jawa-an yang muncul di hotel ini lebih ke nilai <span style="font-style: italic;">intangible</span>-nya, bahwa sebuah rumah harus membawa aura nyaman, bahwa kenyamanan bisa diciptakan jika kita “<span style="font-style: italic;">Jowo </span>(paham)” kebutuhan orang lain (tamu), bahwa banyak tamu hotel yang merasa tidak nyaman dengan suasana hotel yang c<span style="font-style: italic;">opy paste</span>-maka mereka menciptakan hotel dengan suasana <span style="font-style: italic;">homey</span> dan tenang.<br />Kalo aku musti nggambarin The Sunan Hotel Solo sesuai dengan namanya, justru suasana dan bangun seperti Rumah Turi ini lah yang sesuai. Suasana <span style="font-style: italic;">tranquil </span>dan tenangnya "dunia antara" tergambar di sini. Serasa <span style="font-style: italic;">oase</span> di tengah kota budaya yang semakin padat dan nggak sejuk ini.<br />Btw, wedang jahenya enak :D!!!<br /><br />Untuk gambar hotelnya, aku memang nggak sempat motret, tapi dengan mudah bisa dilihat di sini kok:<br />http://www.rumahturi.com/index.html *<br /><br />*Nggak kuat nahan diri untuk nguda rasa setelah menyerap keindahan.<br /><br /></div>busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-8417997703903152812010-12-15T22:56:00.000-08:002010-12-15T23:12:22.833-08:00ANTARA LOGIKA DAN INTUISI<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhOQlRwYk-2gQzdDuGqLJPh06MBYPrP6t_U8lPmXNT4c3FSjxAo-NVx5KWYiQYpCanPIR5KBSQZmRvaxx_grr1691SuGDruyY-47_EaFDM4TdaTL195NDiQGRyabLT4E0kGrqSU6ObFC5U/s1600/kuncup.jpg"><img style="float: right; margin: 0pt 0pt 10px 10px; cursor: pointer; width: 226px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhOQlRwYk-2gQzdDuGqLJPh06MBYPrP6t_U8lPmXNT4c3FSjxAo-NVx5KWYiQYpCanPIR5KBSQZmRvaxx_grr1691SuGDruyY-47_EaFDM4TdaTL195NDiQGRyabLT4E0kGrqSU6ObFC5U/s320/kuncup.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5551174437335303506" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;font-family:trebuchet ms;">“Walau nilainya mepet, jangan masuk IPS lho<span style="font-style: italic;"> Nduk</span>,” kata seorang taxi driver saat cerita padaku tentang anaknya yang (katanya) pintar waktu akan penjurusan di SMA.<br />Si anak menjawab sambil mewek-mewek, “Jangan sampai deh masuk IPS! Nanti satu kelasnya sama anak-anak bodoh!”<br /><br />Aku cengar-cengir sendiri mendengarnya. Mau mendebat kok gak <span style="font-style: italic;">worth it</span>, mau membiarkan kok kayaknya gak suka saja dengan salah kaprah yang sudah berurat-akar ini. <span style="font-style: italic;">Hallo</span>, aku sendiri lulusan IPS dan aku sama sekali gak bego ya.<br /><br /><br />Pemikiran akan aku seret ke kondisi yang aku lihat di sekolah-sekolah. Saat aku mencari informasi sekolah untuk Bob, sebagian besar (kalau tidak boleh aku bilang semua) sekolah membanggakan posisi mereka sebagai pemegang juara olimpiade sains, matematika, IPA. Jarang sekali sekolah yang membanggakan diri sebagai peraih penghargaan puisi, menulis, sastra.<br />Bagi sekolah dan para orangtua, menjadi yang terdepan di bidang sains jauh lebih membanggakan dibanding menjadi orang yang terasah jiwa seninya. Hal ini juga yang kayaknya akhirnya menjadi patokan para murid untuk berlomba-lomba masuk ke jurusan IPA (minat ataupun tidak). Karena IPA identik dengan otak encer.<br />Lebih baik mereka menjadi orang yang biasa-biasa saja prestasinya di kelas IPA daripada harus ditimpa malu karena berada di jurusan IPS.<br /><br />Hal ini membuatku mengaitkannya dengan filosofi Timur yang sedang aku dengarkan saat ini (membuat transkrip seminar Etika Nusantara). Bagi filosofi Timur, posisi seniman berada lebih tinggi dari ilmuwan. Berbeda dengan filosofi Barat yang lebih menganggap logika sebagai hal yang paling penting.<br />Mengapa bagi Timur rasa lebih unggul dari logika?<br />Dalam filsafat Timur, ada tahapan mental di mana kehidupan sehari-hari dinalar dengan logika, sedang memaknainya dianggap sebagai gemanya. Gema ini tidak bisa ditangkap setiap orang,karena harus melalui proses pemurnian. Penyaringan, pemurnian, dan penangkapan makna inilah yang dilakukan oleh seniman.<br /><br />Jadi yang aku pertanyakan sekarang fakta pemakaian pemikiran Barat bahwa logika adalah yang terpenting, saat kita masih sering mengunggul-unggulkan diri sebagai “Orang Timur” dengan “Etika Timur” yang selalu kita kaitkan kala melihat realitas yang dianggap di luar batas kesopanan standar.<br />Mengapa kita menggunakan standar ganda?<br />Saat membahas tentang keilmuan, kita selalu mengangap filosofi Barat yang benar (logika lebih tinggi posisinya dibanding rasa), sedang saat sedang membahas norma, kita selalu keukeuh berpegang pada etika yang kita anggap Etika Timur? Padahal kalau boleh mengingatkan, etika adalah produk dari “rasa”.<br /><br />Aku kembalikan bahasan pada wilayah pendidikan. Aku sangat berharap adanya kesadaran untuk menempatkan pendidikan sebagai kendaraan untuk mencetak manusia yang lebih baik. Dan ini rasanya sangat membutuhkan pengertian dari pihak pendidik dan orangtua untuk lebih memerhatikan minat dan bakat sebagai acuan penilaian prestasi anak.<br />Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa kecerdasan perasaan sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual. Kecerdasan perasaan bisa lebih digali dengan “rasa”. <br />Jangan jadikan ilmu eksakta sebagai primadona, karena kita juga membutuhkan para ahli “rasa”.<br />Jangan paksa anak untuk mengakui keunggulan IPA saat akhirnya nanti mereka harus bertekuk lutut di jalur IPC karena memang di situ lah jurusan yang mereka inginkan, atau hanya agar bisa menyelamatkan kesempatan masuk ke universitas negeri. Lebih baik bekali anak dengan apa yang mereka suka dan mereka minati karena itu adalah hidup mereka, bukan alat bagi kita untuk menuai kebanggaan.<br /><br />(Bob, pada saatnya kamu harus memilih, Mama pastikan Mama bakal mendukung apapun pilihanmu karena bagi Mama, kamu sempurna tanpa berlakunya syarat dan ketentuan)<br /><br /></div>busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-84023599500278558552010-11-09T20:55:00.000-08:002010-11-09T21:03:05.950-08:00MUTLAKKAH HARGA KEPERAWANAN SAAT INI?<div align="justify"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh400-n9CgbtiSqTGf_es5gXM7P8fMzGHfYv2_K_6ay50BN_SriK7Ds2Z0jhb7n-Ega4R9WiYzltJA1qnAmqDoCmMWZ3bvbOefpXpc1HMKefKyHHXFBdg87IQPR7Yazz1e7fUuqt3J8rWc/s1600/kamboja.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 250px; height: 247px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh400-n9CgbtiSqTGf_es5gXM7P8fMzGHfYv2_K_6ay50BN_SriK7Ds2Z0jhb7n-Ega4R9WiYzltJA1qnAmqDoCmMWZ3bvbOefpXpc1HMKefKyHHXFBdg87IQPR7Yazz1e7fUuqt3J8rWc/s320/kamboja.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5537781760693198674" /></a><br />Tergelitik oleh postingan salah seorang blogger yang mempertanyakan “Keperawanan, Masihkah Jadi Harga Mutlak?”, aku kemarin mencoba jawab nulis di fitur reply-nya. Eh, ternyata ada sedikit hang yang malah bikin tulisanku hilang.<br />Baiklah, ini aku coba lagi tulis, tapi dengan media blog yang berbeda.<br /><br />Keperawanan adalah bahasan yang selalu beredar. Mau kita bilang basi, nyatanya orang masih selalu memperbincangkan. Mau kita blow up, biasanya kaum perempuan akan menjadi pihak yang terugikan. Bagaimana tidak, hanya perempuan kok, yang bisa dituntut untuk berdarah-darah di malam pertamanya.<br /><br />Kembali ke pertanyaan di atas, saat kita membahas tentang keperawanan, aku lebih senang jika mengelompokkan bahasan ke dalam empat dasar pemikiran. Masing-masing dasar pemikiran akan memengaruhi bagaimana cara kita memandang keperawanan itu sendiri.<br />1. Kesehatan<br />2. Agama<br />3. Sosial<br />4. Jender</div><div align="justify"><br />Sebelumnya kayaknya perlu kita batasi dulu istilah keperawanan ini. Apakah benar yang namanya keperawanan adalah bahwa seorang gadis belum pernah “disentuh”, atau harus ada darah yang menitik sebagai buktinya? <br />Mengapa batasan ini penting? Karena sobeknya selaput dara adalah penyebab menitiknya darah. Sayangnya, bentuk, kelenturan, dan ketebalan selaput dara ini berbeda-beda untuk masing-masing orang. Sehingga semakin lentur, tebal, dan kuat si selaput dara, akan semakin mengurangi kesempatan organ tersebut akan rusak dan berdarah pada saat tersentuh.<br />Jadi di sini batasan keperawanan itu akan menjadi bias. Jika akhirnya kita kembalikan istilah keperawanan itu ke keadaan di mana seorang gadis belum pernah “disentuh” sebelumnya, maka keperawanan tidak bisa dibuktikan, karena yang tahu hanya si gadis itu sendiri.<br />Nah, kalau sudah begitu, terserah deh buat yang mau mengartikan, ke mana keperawanan akan dibawa untuk diartikan. Karena pembahasan ini akan aku bawa lebih jauh lagi.<br /><br />1. Dari sisi kesehatan, yang dicemaskan dari hubungan seksual adalah kehamilan yang tidak diharapkan, dan atau penularan penyakit yang hanya bisa ditularkan lewat kontak seksual. Jika kita bisa melakukan pencegahan secara maksimal dan bertanggung jawab saat melakukan setiap hubungan seksual, maka KEPERAWANAN TIDAK JADI HARGA MUTLAK.<br />2. Membicarakan keperawanan dari sisi agama, akan membuat jawaban menjadi KEPERAWANAN MASIH JADI HARGA MUTLAK. Mengapa? Jelas, karena agama apapun, akan selalu menuntut peresmian secara agama sebelum pasangan laki-laki-perempuan bisa melakukan hubungan seks. Jadi jelas suami (pertama) si perempuan yang akan mendapatkan keperawanan. Jika si laki-laki percaya pada si perempuan, berdarah atau tidak, ia akan meyakini keperawanan pasangannya. Jadi sekali lagi, semua kembali pada kejujuran dan kepercayaan, serta niat baik bahwa pernikahan termasuk bentuk ibadah.<br />3. Sekarang mari kita bahas dari sisi sosial kemasyarakatan. Penilaian masyarakat didasarkan pada norma. Norma tidak membawa sanksi yang mengikat dan membebani. Norma itu sendiri terbentuk dari pandangan masing-masing individu yang menjadi anggota masyarakat, yang akhirnya menjadi konsensus bersama. Pengawasan pelaksanaan norma dilakukan oleh anggota masyarakat sendiri. Jadi sepanjang pelanggaran norma tidak diketahui anggota masyarakat, pelaku pelanggaran bisa melenggang bebas. Sanksi pelanggaran norma (biasanya) adalah pengucilan. Masalahnya, penerapan norma berbeda-beda di tiap kelompok masyarakat. Jadi untuk kasus keperawanan ini, KEMUTLAKAN ATAU KETIDAKMUTLAKAN SANGAT BERGANTUNG KEPADA MASYARAKAT MANA YANG MENERAPKAN.<br />4. Sekarang mari kita bawa pembahasan ke sisi gender. Dari sisi ini, KEPERAWANAN ADALAH MUTLAK milik perempuan. Keperawanan adalah atribut yang menempel bersamaan dengan atribut keperempuanannya. Terserah dia untuk memberikan kepada siapapun yang menurutnya pantas menerima. Kapan, alasan, kepada siapa keperawanan itu diberikan, tidak akan mengurangi nilai keperempuanan yang ia miliki, dan tidak akan mengurangi kualitas diri. Tolong bedakan kehilangan keperawanan dengan prostitusi.<br /><br />Bagi aku sendiri, menjaga keperawanan hingga memasuki pernikahan aku lakukan bukan sebagai persembahan kepada suami. Hal tersebut aku lakukan karena aku takut akan mengalami penyesalan. Penyesalan yang seperti apa? Lihat saja keempat kriteria penilaian kemutlakan atau ketidakmutlakan keperawanan yang ada di atas. <br /><br /><br />Memandang keperawanan dari menetesnya darah hanya akan memarakkan bisnis operasi plastik pengembalian keperawanan. Maka kalau didesak lebih jauh, aku lebih suka mengupas keperawanan dari sisi gender. Karena di sini, berarti dunia mengakui kendali perempuan atas tubuhnya sendiri.<br /><br /><br /><br /></div>busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-28041096592901219732010-11-07T00:14:00.000-07:002010-11-07T00:53:10.872-07:00Jangan Malu Mengaku Ego<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_YEmCrqXjlg9LrRtvRgimQ0aNRgcJ6ZeVFWxVV7h-qQqljYEr19t7562xTtH9XLUcIQjZx07gnamNBGGAqyip9aRZMye0D3DsSnYWa0adYo0SSjW7S8LR5YKK49VXVHPMFUIwhQhDE60/s1600/gadjah.jpg"><img style="float: right; margin: 0pt 0pt 10px 10px; cursor: pointer; width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_YEmCrqXjlg9LrRtvRgimQ0aNRgcJ6ZeVFWxVV7h-qQqljYEr19t7562xTtH9XLUcIQjZx07gnamNBGGAqyip9aRZMye0D3DsSnYWa0adYo0SSjW7S8LR5YKK49VXVHPMFUIwhQhDE60/s320/gadjah.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5536712564856203538" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Di tengah masyarakat kita, mengaku kalau memiliki ego kadang dianggap tabu. Karena orang yang memiliki ego kadang dilekati dengan predikat egois. Maka orang berlomba-lomba ingin menutupi egonya. Padahal jika kita mau mengembalikan ke arti sebenarnya, ego memiliki beberapa artian yang mendekati positif.<br /><br />e·go (kata benda)<br />1. ide seseorang mengenai nilai penting dirinya biasanya ini tentang tingkatan yang dianggap tepat.<br />2. pelebih-lebihan nilai diri dan rasa superioritas dibanding orang lain<br />3. Dalam psikologi aliran Freudian, ego adalah satu dari tiga bagian utama dalam pikiran manusia, yang mengandung kesadaran dan memori dan dipengaruhi oleh kontrol, perencanaan, dan konfirmasi terhadap realitas<br />4. Diri individual, yang secara jelas terpisah dari dunia luar dan orang lain. (terjemahan bebas dari World English Dictionary)<br /><br />Artiannya tidak buruk-buruk amat, kan?<br /><br />Nah, di bawah ini adalah dua kejadian yang menurutku tepat dijadikan contoh di mana ego bermain-main.<br /><br />Ada seorang teman di <span style="font-style: italic;">agency</span> lain yang marah-marah, saat ia melihat <span style="font-style: italic;">print ad</span> yang ia buat, tiba-tiba sudah diubah-ubah <span style="font-style: italic;">copy</span>-nya. Dan si teman saat itu disodori <span style="font-style: italic;">print ad</span> yang sudah dipermak <span style="font-style: italic;">copy</span>-nya, karena ia diminta untuk tambah memermak lagi.<br />Temanku menolak. Ia bilang, “Maaf, aku nggak bisa, karena gayanya sudah beda.”<br /><br />Pernyataan yang menunjukkan tingginya ego temanku, kan? Ia tidak mau merevisi, karena ada orang lain yang sudah merevisi juga sebelumnya. Ada orang lain yang sudah mengobrak-abrik pekerjaannya.<br /><br />Tapi jangan salah, aku juga bakal bereaksi sama jika dihadapkan di situasi serupa. Mengapa?<br />Bekerja di <span style="font-style: italic;">Creative</span> perusahaan periklanan, saat menghadapi sebuah<span style="font-style: italic;"> campaign</span>, kita selalu mengadakan <span style="font-style: italic;">brainstorming</span>. Di proses ini semua orang yang masuk ke dalam tim akan urun ide, habis itu saling bantai ide, hingga akhirnya keluar dari ruang <span style="font-style: italic;">brainstorming</span>, bukan cuma puyeng kepala yang didapat, tapi setidaknya konsep matang sudah di tangan. Setelah itu, dikembalikan ke masing-masing <span style="font-style: italic;">art director </span>dan <span style="font-style: italic;">copywriter</span> untuk mengolah konsep yang disetujui tim. Nah, hasil itulah yang dijadikan bahan presentasi ke klien. Kalau pada saat <span style="font-style: italic;">internal presentation</span> ada masukan, atau kritikan, atau perubahan, sampaikan saja ke si pembuat. Karena dengan logika yang tepat, pasti masukan, kritikan, dan perubahan itu akan menyempurnakan konsep yang dibuat.<br />Dalam kasus temanku, selagi dia gak di tempat, ada yang melakukan perubahan <span style="font-style: italic;">copy </span>yang dia buat. Karena menurut si pelaku <span style="font-style: italic;">copy</span>-nya kurang tepat. Setelah bos melihat hasil perubahan, bos datang ke temanku untuk merevisi <span style="font-style: italic;">copy</span> hasil revisi gelap juga. Jadinya sudah tangan ke berapa tuh?<br />Nah, di sini lah temanku menetapkan garis. Ia tidak bersedia merevisi karena ia merasa itu sudah bukan hasil buatannya.<br />Mungkin akan lebih tepat, kalau si bos membentuk tim baru untuk memberikan ide pembanding. Tim mandiri yang lepas 100% dari tim awal dengan ide-ide yang segar.<br />Sekarang, kalo temanku mutung dan sudah gak mau terlibat dengan kerjaan itu lagi, siapa yang bisa disalahkan?<br /><br />Ada satu kasus lain lagi. Dalam sebuah perusahaan periklanan, alur pengerjaan order adalah:<br />AE>Creative (AD &CW)>approval CD>AE>Klien<br />Nah, saat ada pekerjaan pembuatan buletin yang sudah ada materinya, AE langsung masuk ke <span style="font-style: italic;">Graphic Designer</span> untuk membuatkan <span style="font-style: italic;">layout</span>. Proses selanjutnya seharusnya adalah <span style="font-style: italic;">copy proofing</span> untuk mengecek ejaan, penggalan, dan tata bahasa. Karena AE memiliki ketidaksukaan pribadi kepada CW, maka ia bertekad mengerjakan sendiri <span style="font-style: italic;">copy proofing</span> tersebut. CW melihat si AE melakukan pekerjaan yang seharusnya ia lakukan, tapi ia diam saja. Ia biarkan si AE repot mengedit, karena toh memang <span style="font-style: italic;">request</span> pengerjaan tidak pernah ia terima, secara lisan atau pun tertulis. Si AE tahu kalau CW tahu ada pekerjaan itu dan diam saja.<br />Akhirnya ada pihak lain yang menegur si AE bahwa bukannya itu seharusnya dikerjakan CW?<br />Dan apa jawaban AE? Katanya, ia mengerjakan sendiri pekerjaan itu karena CW tak mau bantu.<br /><br />Di sini aku ingin bicara tentang ego. Tidak banyak orang yang mau mengakui ia memiliki ego yang besar. Tapi dalam kasus-kasus di atas, ego memang kadang perlu dimunculkan. Ini hubungannya erat dengan proses penciptaan sendiri.<br />Kasus 1.<br />Saat kita membuat sesuatu, maka kita memiliki gambaran jelas tentang latar belakang, proses, dan tujuan pembuatannya. Saat orang lain memutus proses itu di belakang kita, apa dia mempertimbangkan latar belakang, proses, dan tujuan yang kita ambil? Apalagi seperti kasus teman itu, perubahannya di saat ia sedang tidak ada di tempat. Jadi bagiku sah-sah saja buat teman untuk memutuskan mundur dari tim <span style="font-style: italic;">campaign</span> tersebut. Ia mempersilakan bosnya untuk menyelesaikan <span style="font-style: italic;">campaign</span> itu tanpa keikutsertaan temanku itu.<br /><br />Kasus 2.<br />Di kasus 2, ada 2 ego yang berkeliaran. Ego pertama muncul dari si CW yang keras kepala tak mau ikut <span style="font-style: italic;">copy proofing</span> karena tidak ada <span style="font-style: italic;">request</span> lisan/tertulis. Ego kedua muncul saat AE tahu bahwa CW tahu ia mengedit sendiri, sehingga itu membuahkan cap si CW tak mau bantu. Di sini, sudah jelas, mana telurnya mana ayamnya. Sehingga awal mula keruwetan bisa ditelusuri dengan mudah.<br /><br />Ada ego yang dengan bangga dipertahankan. Ada ego yang bisa ditekan jika dipancing dengan sikap yang tepat. Ada pula ego yang sebaiknya dibuang karena menghambat pekerjaan.<br /><br /><br /></div>busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-12781665092031608582010-11-04T22:14:00.000-07:002010-11-05T01:04:38.466-07:00Saat hal "tidak penting" tiba-tiba menjadi urusan penting<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjTZZCtuIb26XOtQ8KgkynFxKxN8b5ypgGh3qp3XI6yncEz4HHF2MWID6j3vcDkRoL3sw_RTBUsO0GXFh5WRXiIOQEeapAeyR5tyoQFuEDUMO-NEPBOidVOz_YzFjgavVJH9yVhhx1L9Y/s1600/sendiri.jpg"><img style="float: right; margin: 0pt 0pt 10px 10px; cursor: pointer; width: 285px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjTZZCtuIb26XOtQ8KgkynFxKxN8b5ypgGh3qp3XI6yncEz4HHF2MWID6j3vcDkRoL3sw_RTBUsO0GXFh5WRXiIOQEeapAeyR5tyoQFuEDUMO-NEPBOidVOz_YzFjgavVJH9yVhhx1L9Y/s320/sendiri.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5535937787076489970" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">“Kenapa sih kamu gak temenan dengan dia di Facebook?” tanya si A<br />Si B menjawab, “Wah, buatku tidak penting berteman dengan dia.”<br /><br />Itu diucapkan si B tentang teman sekantornya, padahal semua teman sekantor ada di f<span style="font-style: italic;">riends list</span>-nya. Jadi buat si B, hanya satu orang itu saja yang “tidak penting”. Padahal, kalau boleh mengingatkan, bahkan tahu tentang Facebook saja dia kenalnya dari si “tidak penting”. Tahu tentang Friendster juga dari "tidak penting”. Jadi “tidak penting" ternyata memberi informasi dan pengetahuan yang penting kan?<br /><br />Sekarang, begitu si “tidak penting” tahu alasan dia di-<span style="font-style: italic;">remove</span> dari FB si B (meski fakta ter-<span style="font-style: italic;">remove</span> sudah tahu sejak April 2009), dan berkata bahwa “ra kekancan ra patheken”, si B kebingungan sendiri dan bikin apologi bahwa alasan dia tidak berteman dengan “tidak penting” di FB karena “ingin meminimize bentrokan dan cara pandang yang berbeda”.<br /><br />Hmm ... sekali lagi, itu hanya apologi. Karena toh seluruh orang kantor juga gak bakal punya pandangan yang sama. Kenapa juga hanya satu orang (dan suaminya) yang dia <span style="font-style: italic;">remove</span>? Apa karena si "tidak penting” dulu beberapa kali minta uang taksi sebagai pengganti transpor lembur? Atau karena suami si tidak penting ‘masuk’ ke ruang direktur dan berkantor di sana? Atau karena si “tidak penting” menurut si B tidak mau masuk ke ruang Keuangan? Atau karena suara “tidak penting” yang sering didengarkan Bos, dan Bos bertindak mempertimbangkan pendapat “tidak penting” yang menurut si B itu sebagai bentuk pilih kasih Bos?<br /><br />Kalau memang itu alasannya, "tidak penting" kasihan sekali dengan si B yang mau berepot-repot mengotori hatinya selama ini dengan asumsi-asumsi tentang "tidak penting". Karena toh si B tidak pernah bertanya pada “tidak penting” masalah-masalah di atas. Dia hanya berasumsi dan akhirnya menyebarkan asumsi itu kepada orang-orang lain, membuat semua orang punya persepsi keliru tentang si “tidak penting” bahkan ke orang baru.<br /><br />Sebagai penjelasan untuk hal-hal di atas:<br />1. Si “tidak penting” sebenarnya tidak pernah minta uang ganti taksi ke kantor. Secara pribadi, “tidak penting” minta pada Bos untuk mengganti uang taksi dengan uang Bos pribadi, karena ia tahu, jika minta ke kantor pasti akan muncul polemik (terbukti kan?). Kalau akhirnya Bos <span style="font-style: italic;">reimburst</span> ke kantor, itu di luar kehendak si “tidak penting”. Bukan karena si “tidak penting” tidak mau masuk ke ruang Keuangan. Hanya karena memang urusan uang taksi menurut “tidak penting” ia minta pada Bos secara pribadi. Yang akhirnya selalu membuat "tidak penting" kecewa saat ia diacungi <span style="font-style: italic;">form reimburst</span> untuk ditandatangani, oleh Bos.<br /><br />2. Suami “tidak penting” masuk dan berkantor di ruang direktur bukan karena suami “tidak penting” pengen jadi direktur. Tapi waktu itu karena semua meja penuh, dan Bos sendiri yang menawarkan untuk berbagi ruang. Jangan kira suami “tidak penting” bahagia dengan kondisi itu. Karena ia tahu, apa yang tampak, selalu diterjemahkan sebagai hal yang berbeda di kantor, tanpa usaha untuk klarifikasi pada yang bersangkutan.<br /><br />3. Mengenai suara yang didengarkan, sebaiknya kita kembalikan ke duduk permasalahan. Seorang Bos tidak bodoh. Kalau bodoh ia tidak akan bisa dipercaya menjadi Bos. Jika ia mendengarkan “tidak penting” itu karena apa yang dibicarakan “tidak penting" logis dan masuk akal, dan didasari pada keinginan untuk melihat kondisi kantor yang lebih sehat. Jika akhirnya diterima sebagai bentuk pilih kasih Bos, itu karena B tidak mau susah-susah klarifikasi, hanya ngrasani di belakang, sehingga opini tidak terbentuk dengan objektif. Tanpa B tahu, Bos juga sering tidak sependapat dengan "tidak penting". Tapi hal itu tidak untuk diketahui semua orang, kan?<br /><br />“Tidak penting” tahu soal ia tidak disukai B bahkan mungkin sejak 2006, meski alasan tidak sukanya itu tidak berhasil ditemukan (karena B memang tidak punya alasan kuat!). “Tidak penting” tadinya menganggap itu tidak perlu dipermasalahkan, karena rasa tidak suka itu manusiawi. Kita tidak bisa memaksakan hati. Tapi kalau hal itu diangkat ke orang lain, itu lain perkara. Apalagi jika alasannya tidak masuk akal. <span style="font-style: italic;">May God bless her</span>.<br /><br />“Tidak penting” sudah berusaha bersabar dengan tingkah B sejak lama. Jangan dikira jika suatu hal tidak diungkap, itu berarti karena “tidak penting” tidak tahu. Tapi itu karena “tidak penting” menganggap itu gak <span style="font-style: italic;">worth it</span>, dan gak nganggu alur kerja. Jangan dikira pengetahuan “tidak penting” hanya berasal dari A saja. Karena seperti ungkapan klise yang sering kita dengar, “Dinding bisa punya telinga”. Dan banyak orang kantor yang dengan suka rela tanpa ditanya memberikan informasi mengenai topik pembicaraan B selama ini tentang “tidak penting”.<br /><br />Tapi kalau melihat perilaku B, kelihatannya B bahkan tidak bisa membedakan masalah pribadi dengan masalah pekerjaan di kantor. Mau bukti?<br /><br />Pekerjaan <span style="font-style: italic;">editing</span> yang harusnya masuk ke “tidak penting” repot-repot dikerjakan sendiri oleh B karena ia tidak mau mencoba berkoordinasi dengan ”tidak penting” dengan risiko kemungkinan kesalahan, dan kerepotan. Itu bukan perilaku yang profesional, bukan?<br /><br />Karena urusan kerjaan itu bukan “bantuan”. Tapi “kewajiban”. Jadi memang “tidak penting” wajib mengerjakan pekerjaan itu (jika ia tahu). Dan itu sebenarnya tidak akan mengganggu niatan untuk tetap "tidak penting berteman”. Jangan harap "tidak penting" meminta pekerjaan, karena urusan alur kerja, perpindahan <span style="font-style: italic;">job</span>, itu tugas B. "Tidak penting" tidak bakal tahu keberadaan kerjaan jika tidak ada yang memberitahu. Tapi <span style="font-style: italic;">for the sake of professionalism</span>, "tidak penting" tidak akan menolak <span style="font-style: italic;">job</span> apapun yang masuk, meski itu datang dari orang yang membenci "tidak penting".<br /><br />Mungkin ini memang tidak penting dibahas. Tapi kalau akhirnya jadi perpecahan, mungkin tradisi ngrasani sebaiknya dihapuskan. Mungkin yang ngrasani tidak merasa ia/mereka melakukannya. Tapi kalau kita membicarakan hal-hal tentang orang lain di belakang orang itu, namanya tetap ngrasani. Apalagi kalau akhirnya topik itu bisa didengar objek rasanan dan menimbulkan masalah tambahan.<br /><br />Urusan kantor sebaiknya tetap jadi urusan kantor. Jangan dijadikan urusan pribadi. Kalau ada masalah dengan alur kerja di kantor, lakukan konfirmasi, bukan hanya mancing-mancing jawaban tanpa ketahuan <span style="font-style: italic;">background</span> jelasnya.<br />Contohnya saat "tidak penting" berkali-kali ditanyai oleh orang berganti-ganti (dan sering diulang tanya lagi) masalah "sebenarnya ongkos taksi dari rumah ke kantor itu berapa sih?". "Tidak penting" tahu, para penanya pengen "tidak penting" terjerumus dan menjawab, (mungkin) "sepuluh ribu". Padahal selama ini klaim taksi yang masuk 50rb. Hmm ... mungkin para penanya itu sebaiknya sekali-kali ikut pulang "tidak penting" agak bisa membuktikan sendiri.<br /><br />Mau tahu efek buruk dari hal di atas? Seperti di atas inilah salah satu efeknya.<br /><br />Apa yang "tidak penting" tahu dari A, bukan penyebab terpecah-belahnya kantor, karena "tidak penting" sudah tahu hampir semua masalah yang dikatakan A jauh sebelum A mengatakan apapun. bahkan sampai sekarang pun ada hal-hal yang belum dikatakan A yang sudah "tidak penting" tahu. Tapi sejak awal "tidak penting" memang berusaha untuk tidak mengangkatnya.<br /><br />Apa yang kemarin muncul di FB "tidak penting", itu hanya untuk kalangan "teman" si "tidak penting". Hanya ungkapan kemangkelan sesaat karena <span style="font-style: italic;">insight</span> yang didapat secara tiba-tiba. Sebenarnya itu tidak akan mengubah bentuk (tanpa) hubungan antara "tidak penting" dengan B. Basa-basi masih bisa jalan terus, karena itu tidak berpengaruh apapun. Apapun yang B katakan, selama ini tidak pernah memberi pengaruh apalagi sampai mencederai "tidak penting". Hal di atas (mengenai ketidaksukaan B), tidak akan menjadi perkecualian.<br /><br />Karena itu hanya lagu lama yang didendangkan penyanyi berbeda.<br /><br /><br /></div>busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-51728250785808464022010-10-13T12:53:00.000-07:002010-10-13T13:59:01.277-07:00Apakah mahasiswa memerlukan mata kuliah Sopan-santun?<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0fYbw4PJTwptgGtqlwXyChrRfP7II07Gw50_wRV56Wj00yVESn7vrKmLoS31Tf-wQUJYYgBArpQg239Py6Q3HRTSzyahnEH8DZ6x3BDpsClfc8jjDb-0rdXRxWZA1MLrtIOeOvBENZkE/s1600/kepuh+dekat+rumah+copy.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 320px; height: 314px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0fYbw4PJTwptgGtqlwXyChrRfP7II07Gw50_wRV56Wj00yVESn7vrKmLoS31Tf-wQUJYYgBArpQg239Py6Q3HRTSzyahnEH8DZ6x3BDpsClfc8jjDb-0rdXRxWZA1MLrtIOeOvBENZkE/s320/kepuh+dekat+rumah+copy.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5527637857083419954" border="0" /></a><br /><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:trebuchet ms;">Kalau pertanyaan itu ditanyakan pada aku saat ini, maka jelas jawabanku adalah: TENTU SAJA, STAT! URGENT!</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Aku ingat, beberapa hari yang lalu si Bob yang baru 5 tahun komplen, “Kok aku disuruh-suruh terus, diatur-atur terus, Ma? Terserah aku dong!”</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Aku tanya, “Memangnya kenapa Sayang?”</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Bob menjawab, “Bosen! Aku kan pengen semua terserah aku!”</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Oke. Lalu aku jelaskan, bahwa dia baru 5 tahun. Anak seumur dia sampai lulus SMA adalah anak yang ada di masa belajar bertanggung jawab dan belajar disiplin. Anak di rentang usia tersebut belum bisa diandalkan untuk membedakan antara benar dengan salah, baik dengan buruk, pantas dengan tidak pantas.</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Dan Bob kembali bertanya, “Disiplin itu apa?”</span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Hmm, aku terangkan, bahwa disiplin itu adalah mampu mengikuti aturan yang ada, mampu mengatur diri sendiri. </span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Masih penasaran, ia kembali bertanya, “Lalu kapan dong aku bisa disiplin?”</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Waduh. Akhirnya aku jelaskan, disiplin itu musti dilatih. Itulah mengapa anak seusia dia sampai lulus SMA harus mengikuti aturan orangtua dan guru. Karena orangtua dan guru lah pihak-pihak yang menanamkan disiplin, tanggung jawab, sopan-santun, dan budi pekerti. </span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">“Lalu kalo sudah lulus SMA?” kejar Bob.</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">“Anak yang sudah lulus SMA, anak kuliah, biasanya diharapkan sudah mampu untuk belajar mandiri, disiplin, dan bertanggung jawab. Mereka harus mulai menerapkan aturan untuk diri sendiri. Berangkat dan bangun tidur tidak diatur, belajar tidak diatur. Nanti kalo sudah lulus kuliah dan kerja, diharapkan mereka sudah siap menjadi orang yang benar-benar disiplin, mandiri, dan bertanggung jawab.”</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Di sini Bob mulai berusaha memahami. </span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Sayangnya ternyata selama beberapa bulan terakhir ini aku justru membuktikan sendiri kalo teoriku bahwa anak kuliahan sudah memiliki sopan santun dan pantas untuk mulai diberi kebebasan mengatur kemandirian, kedisiplinan, serta tanggung jawab adalah salah. Anak kuliahan juga aku buktikan sendiri masih jauh dari standar moral dan pekerti yang berlaku di masyarakat umum. Pendapat ini aku dapat setelah aku mengalami sendiri rendahnya nilai-nilai dasar manusiawi yang dimiliki anak kuliahan jaman sekarang (maaf, mungkin pendapat ini mengandung generalisasi).</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Mari aku ceritakan dua peristiwa yang mendasari generalisasi ini:</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">1. Ini tentang satu kampus di mana aku ngajar mata kuliah Komunikasi Periklanan saat semester ganjil dan Manajemen Periklanan saat semester genap. </span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Jumlah mahasiswanya hanya enam orang. </span> <span style="font-family:trebuchet ms;">UAS tiba. Dua minggu sebelum jadwal ujian mata kuliah yang aku ampu, aku memberikan tugas sebagai pengganti ujian dengan catatan tugas tersebut harus dikumpulkan pada hari dan jam ujian. Lembar tugas aku bagikan disertai satu <span style="font-style: italic;">soft copy</span> untuk file bagian Pengajaran.</span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Saat hari ujian tiba, tak ada seorang pun mahasiswa yang hadir dan menyerahkan ujian (untung aku tidak menunggui sendiri ujian tersebut) tanpa ada pemberitahuan apapun. Mereka baru mengumpulkannya dua minggu setelah tanggal ujian.</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Baik, aku maafkan sekali ini. Dan semester berikutnya kami bertemu lagi di mata kuliah Manajemen Periklanan. Kami kembali menjalani perkuliahan dengan lancar, meski masalah kesukaan mereka membolos bareng-bareng kembali jadi salah satu hal yang menggangguku. Bayangkan saja, apa mereka tidak bisa berpikir untuk sekedar menelpon memberitahukan bahwa mereka tidak bisa masuk kuliah? Apa mereka tidak bisa berempati membayangkan pengajar yang bersusah payah meluangkan waktu untuk memberi tambahan ilmu, harus kecewa saat datang ke kampus dan menemui kelas yang kosong melompong? Pengalaman ini ternyata juga dialami dosen-dosen yang lain.</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Saat UAS. Ternyata modus ketidaksensitifan mereka tersebut berulang lagi di UAS Manajemen Periklanan. Aku tunggu sampai seminggu setelah hari ujian, tetap tidak ada yang mengumpulkan tugas. Aku sampaikan ultimatum lewat bagian Pengajaran, bahwa aku sudah tidak akan mengambil tugas mereka ke kampus. Jadi aku persilakan yang menginginkan nilainya tetap keluar untuk mengumpulkan tugas mereka ke kantorku. Mereka akhirnya mengumpulkan tugas dua minggu setelah hari ujian. Nilai pun aku keluarkan dengan memberi nilai minimal untuk tugas UAS mereka, sehingga satu dari enam orang mahasiswa tersebut tidak lulus. Yang lainnya lulus dengan nilai mepet. </span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">2. Pengalaman selanjutnya terjadi baru dalam minggu ini. Tentang satu kampus di mana aku mengajar Manajemen Periklanan di semester ganjil dan <span style="font-style: italic;">Copywriting </span>di semester genap. </span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Di awal perkuliahan Manajemen Periklanan, aku memberikan tugas<span style="font-style: italic;"> review</span> buku bagi 38 peserta didik. Seminggu kemudian sebagian besar dari mahasiswa mengumpulkan tugas, meski kebanyakan masih bingung dan kurang memuaskan hasilnya. </span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Oke, itu bukan masalah karena aku bisa memberikan solusi perbaikan nilai.</span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Perkuliahan pun aku anggap berjalan cukup lancar setelahnya. </span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Kemarin, aku iseng dan sengaja membuka-buka profile-profile mahasiswa peserta Manajemen Periklanan tersebut di Facebook. Bukan pekerjaan yang gampang, karena belum ada satu pun yang masuk ke dalam <span style="font-style: italic;">friends list</span>-ku dan kebanyakan menggunakan nama-nama samaran yang bahkan untuk melafalkannya pun sulit. Tapi aku punya satu dan lain cara untuk mencocokkan <span style="font-style: italic;">track </span>mereka, dan masalah ini bukan intinya kok.</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Singkat cerita, di salah satu <span style="font-style: italic;">profile </span>ada yang menulus status JUNGLE BITCH ... JAM YAH MENE TUGASE LG RAMPUNG, ASYU ... GEK KERTAS QUARTONE ENTEK SISAN. JINGAN2 ...</span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Banyak tanggapan yang masuk. Salah satunya dari teman dia (peserta manajemen Periklanan juga) yang menanyakan apa dia sudah selesai dengan tugas yang aku berikan. Tapi ia memberikan embel-embel ‘nggateli’ di depan namaku.</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Aku kaget banget baca itu. Karena:</span> <span style="font-family:trebuchet ms;"><br />a. Seumur-umur aku ngajar di kampus tersebut (mahasiswa angkatan-angkatan sebelumnya), belum pernah ada mahasiswa yang bersikap tidak sopan terhadapku. Selama ini kami berhasil menjalin hubungan saling menghormati.</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">b. Baru pertemuan pertama oknum tersebut sudah berani menempelkan kata super kasar/kurang ajar/nggak sopan kepada aku? Apa pengalaman interaksinya sudah cukup untuk itu?</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">c. Tugas aku berikan untuk bekal pemahaman mereka di pertemuan-pertemuan selanjutnya. Tugas tidak aku berikan karena aku iseng atau pun aku secara subjektif ingin menyiksa mahasiswa.</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">d. Tugas itu hanya <span style="font-style: italic;">review</span> buku, <span style="font-style: italic;">for God’s sake</span>! Apa sih dari <span style="font-style: italic;">review</span> buku yang layak diberi umpatan ‘nggateli’?</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">e. Mahasiswa menggunakan kata-kata umpatan dan kasar di forum yang bisa dibaca orang banyak? Apa bagusnya? Apa bangganya?<br /></span> <span style="font-family:trebuchet ms;">f. <span style="font-style: italic;">Last but not least</span>, kita semua tahu Facebook adalah forum umum. Dan banyak kasus yang menceritakan orang-orang terperosok masalah pencemaran nama baik, penghinaan, dll di<span style="font-style: italic;"> micro blog</span> ini. Tidakkah ybs belajar dari berita-berita yang ada?</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Ingat tidak, disiplin, budi pekerti, sopan-santun, dan rasa tanggung jawab yang aku sebut di atas? Terasa banget kalau orangtua berandil besar dalam penanamannya. Nah, apa aku salah jika aku mempertanyakan orangtua jenis apa yang membesarkan para mahasiswa tersebut di contoh?</span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Apa perlu kampus mempertimbangkan sopan santun dan budi pekerti untuk dimasukkan dalam silabus perkuliahan? Karena ternyata bekal yang selama ini mereka dapat masih sangat kurang.<br />Aku menganggap hal ini terjadi karena kegagalan pengasuhan dari orangtua dan kegagalan pendidikan di jenjang sebelumnya. </span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Dengan contoh seperti di atas, bisa dibayangkan atau tidak, bagaimana kacau-balaunya dunia kerja yang bakal mereka masuki? Bagaimana kagetnya <span style="font-style: italic;">partner </span>kerja yang mereka temui? Bagaimana <span style="font-style: italic;">shock</span>-nya klien yang harus menghadapi?</span> <span style="font-family:trebuchet ms;"><br /><br />Sebagai catatan saja: aku mengajar di mana pun, karena kampus yang memintaku. Tak ada latar belakang finansial yang menjadi dorongan, meski tentu saja ada biaya transportasi yang wajib ditanggung kampus. Waktu yang banyak tersita, emosi ekstra yang harus disiapkan, pikiran yang harus diperas-peras adalah konsekuensi yang sama sekali tak bisa diukur dengan uang. Apalagi aku masih aktif bekerja di sebuah perusahaan periklanan.</span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Kepuasanku hanya bisa diperoleh dengan keaktifan mahasiswa di ruang kuliah, usaha dan nilai yang mereka dapatkan, pengakuan dari pihak luar atas prestasi yang mereka capai, serta senyum tulus yang mereka berikan untuk ilmu praktis yang diterima yang memang tidak tersedia di kampus.</span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Niat awal mengajar adalah untuk berbagi ilmu mengharap berkah Allah dari keikhlasan yang selalu aku coba lakukan.<br /><br />Apakah aku harus mengkaji ulang motifku?</span> </div>busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-24623933247062651342010-10-07T21:03:00.000-07:002010-10-07T21:31:41.737-07:00Memahami konsumen butuh pemahaman ekstra<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfUQ3xarL2qjfmwz5QyZcSOct3UimhrCuDgkKA1ZNsL9AccJLJM3HAmCloQTwPwH6LmYHm16e6XmGfzyXGU9g9cuW1ieDedBtfrdMqCFYL1jW_33Og7dR00D0cAXEQe0Cv6GF8tnqdruY/s1600/ist2_11304917-baby-ballet-dancer-in-tutu-and-crown-holding-star-wand.jpg"><img style="float: right; margin: 0pt 0pt 10px 10px; cursor: pointer; width: 248px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfUQ3xarL2qjfmwz5QyZcSOct3UimhrCuDgkKA1ZNsL9AccJLJM3HAmCloQTwPwH6LmYHm16e6XmGfzyXGU9g9cuW1ieDedBtfrdMqCFYL1jW_33Og7dR00D0cAXEQe0Cv6GF8tnqdruY/s320/ist2_11304917-baby-ballet-dancer-in-tutu-and-crown-holding-star-wand.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5525524757524326354" border="0" /></a><span style="font-family: trebuchet ms; font-style: italic;">Mendengarkan adalah kerjaan yang pasif. Secara skill-pun, mendengarkan membutuhkan skill yang lebih rendah dari berbicara. Tapi di dunia yang berhubungan langsung dengan pelanggan, ternyata skill mendengarkan lebih sulit untuk diterapkan. Padahal, mendengarkan adalah kunci pertama menuju pemahaman.</span><br /><br /><em><span style="font-family:trebuchet ms;">Aku suka banget dengan artikel buatan temanku, Bambang Sukma Wijaya yang sudah pernah dia posting di blog dia sendiri. Berhubung nyari link-nya kok susah banget (dan aku sudah pernah ngopi ke MS Word), jadi maaf ya Bambang ... copasnya gak pake share link. hehehe. Intinya aku hanya pengen mengingatkan (diri sendiri) kalo nulis iklan bukan hanya kemampuan menyusun deretan kata-kata indah. Nulis iklan juga bukan hanya kemampuan bikin headline dan tagline yang ngebom. Tapi nulis iklan lebih banyak mementingkan kemampuan memahami pemasaran, pengetahuan tentang brand, dan pengetahuan tentang si target audience (si raja) itu sendiri</span><br /><br /><br />Have you ever been fed up to the children’s act? They’re crying when you don’t give what they want. They protest when you don’t put enough attention. Like children, consumers are also having the same characters. Of course the consumers are not our beloved children, but, unfortunately, they–as the traditional wisdom says—are the king. So, we have to understand their characters in order to preserve them.<br /><br />I’m very important<br /><br />Look at a consumer who attends a shop. They want to be served especially, even they only look around or just window shopping. They want to be always being heard, and if they feel ignored, they would sulk.<br />Like a child, they will show their dislike or do something annoying to get our attention, such as complain in yelling or write to newspaper with words full of hatred, and then they moved to other shop or brand to express their protests. They mope because we had failed to make them the very important attentively, treat them with care, and the most important, love them.<br /><br />My own must be better than my friend’s<br /><br />Ichal, an employee who offices at Menteng, just changed his cellular to the latest model as he<br />and actually she doesn’t really need the feature also. “I just want to try it while it was in the<br />free-tariff promo and wanted to show my sophisticated phone,” she said as she laughs.<br />Rahmat Susanta, editor in chief of Marketing magazine has approved upon the facts.<br />According to him, the consumers sometimes ask for features that not exist in their product while their friend’s or other people’s have it, even they might not need or use the features it self. “They envy if other people’s have more,”<br /><br />In the telecommunication market, we can see many costumers complain, either about the operator (service provider) or the handset. Our research revealed that some respondents have moved from one operator to other operator as their complain. And when we ask them, they really have a lot of expectations on their chosen operator service. The tariff must be low, the credit Reload must be easy, the network has to be excellent, and it has to have a lot of bonuses and features, and so on. There is no other way to win their heart except understanding them like we<br />understand our own child. It means we listen to them seen it in a magazine. He assured<br />that his friends have not having one of those. “It feels cool to own something that others haven’t own it,” he revealed as he shows his Nokia E90. Erna, a MarkComm Mercu Buana University student, revealed that she has moved recently to another operator because it offers more<br />sophisticated 3G services than her friend’s operator, even that means she had to buy a new handset that provide 3G which is more expensive. When her friends only make calls and send SMS, she does video call and chatting. It makes her proud. But now, she doesn’t use the 3G services anymore because the promo has ended and the operator are now charging the service,<br />Susanta said. He gave an example of many people has chosen operator with free roaming service, even though 90 percent of them are rarely out of town. That’s why we have to be<br />smart on reading what the consumer wants. It might be unrealistic and frustrating, but<br />that’s how a child does. “They always demand what they wants or needs are available in<br />time,” Susanta adds.<br /><br />So, if we have the patience or experience of taking care children, we probably could<br />successfully handle our consumers. Let’s prove it!</em>busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-65338080293256999602010-10-06T20:27:00.000-07:002010-10-07T21:35:31.115-07:00Menyikapi Kecurangan Calon Klien<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEWcFtFpuC4faH59KPSnKcTMpfuDc6umGnM856AQ4GfMHgWXRsPh_bJ_M-48P03J3bt2QnI35MyaqP2B1k9ScTIPPxJP_YMdfXyxdaJyf_0_xTpVUGI482pY-emQ2-i5Xl_M2jQOEVKmM/s1600/pickpocketwallet-main.jpg"><img style="float: right; margin: 0pt 0pt 10px 10px; cursor: pointer; width: 320px; height: 313px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEWcFtFpuC4faH59KPSnKcTMpfuDc6umGnM856AQ4GfMHgWXRsPh_bJ_M-48P03J3bt2QnI35MyaqP2B1k9ScTIPPxJP_YMdfXyxdaJyf_0_xTpVUGI482pY-emQ2-i5Xl_M2jQOEVKmM/s320/pickpocketwallet-main.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5525168122702677554" border="0" /></a><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Seorang calon klien mengajak ketemuan karena ia ingin membuat <em>event</em> dan sekalian membuat logo perusahaan barunya. Akhirnya kita datang berempat.<br />Perkembangan selanjutnya, si calon klien banyak bertanya soal strategi menggelar <em>event</em>, plus minus <em>venue</em>, <em>budgeting</em>, konten, dll, dll. Tentu saja dia juga minta beberapa alternatif logo untuk kita tunjukkan.<br />Beberapa hari kemudian kami datang lagi dengan hasil logo (yang menurut kami kurang maksimal, karena memang input dari dia tidak memadai) yang niatnya kami gunakan sebagai pancingan supaya dia bisa memberi masukan lebih jauh lagi.<br />Ternyata pembicaraan kali itu merembet ke biaya-biaya yang harus dia keluarkan. Setelah dikomparasikan dengan perusahaan lain, dia memandang bahwa harga kita lebih mahal. Padahal kita memberikan beberapa penjelasan di mana letak kemahalan tersebut bisa dirasionalisasikan. Dia juga kaget dengan beberapa <em>treatment</em> pemberian harga dari kita (yang memang sudah <em>blunder </em>dari awal ketemu). Hingga saat itu pun aku ngerasa, prospek kerjasama antara dua pihak kecil sekali bisa terjadi.<br />Nah, bener saja. Setelah itu, selama beberapa hari si klien jadi sulit banget dihubungi. Akhirnya baru hari ini aku dengar kabar kalo dia gak jadi pake kita dengan alasan, “Tidak suka dengan desain logo yang kita ajukan”. Padahal sejak awal kan memang sudah aku terangkan tuh, kalo logo yang kita ajukan ke dia cuma pancingan, karena input yang memang minim banget, padahal ekspektasi dia tinggi.<br />Jadi sampai di sini saja lah hubungan kerja sama yang belum terjalin.<br />Ganjelanku adalah …<br />Selama beberapa kali pertemuan, aku sudah diseret ke tempat si klien untuk memberikan advis banyak sekali. Dengan gagalnya proyek ini, yakin deh, dia pasti lari ke agensi lain pilihan dia, dengan bekal advis segudang yang sudah terlanjur kita berikan.<br />Aku pengen banget kita bisa nge-<em>charge cancellation fee</em>. Tapi sayang, selama ini kasus cancellation fee belum pernah naik ke permukaan kantor. Jadinya sekarang aku ilfil banget. Rasanya kok dikadali tanpa bisa balas. Dirampok tanpa sempat menjerit minta tolong, ditipu tanpa bisa lapor polisi.<br />Ada beberapa pemikiran yang sempat muncul untuk kasus-kasus seperti ini:<br />1. Jelas, seharusnya kita menerapkan <em>cancellation fee</em> dari awal. Sebelum klien memanggil, kita tegaskan bahwa memang begitulah cara kerja yang benar. Bukannya datang dengan <em>full team</em>, habis itu diskusi panjang lebar, dan kerjasama dibatalkan secara sepihak.<br />2. tapi jika itu dilakukan, maka pasti akan muncul ganjalan di tim <em>Marketing</em>. Bagaimana mereka bisa ‘jualan’ jika calon-calon klien mereka sudah ditakut-takuti dari awal dengan <em>cancellation fee</em>?<br />3. Nah, agar besok lagi kasus seperti ini tak terjadi lagi dan lagi, kayaknya harus ada rumus baku yang musti kita canangkan. Menurutku sih … saat ada calon klien menghubungi, sudah tugas <em>Marketing</em> untuk menindaklanjuti. Temui si calon klien, cari tahu kebutuhan mereka, cari tahu ekspektasi mereka, pastikan keseriusan mereka, dapatkan <em>insight </em>mereka, gali kebingungan mereka. Setelah itu, masih tugas <em>Marketing</em> untuk memberi arahan awal dan merumuskan sejauh mana tim kita perlu terlibat dalam memberikan advis. Karena terlalu banyak <em>overhead </em>karyawan yang didatangkan untuk calon kien akan berimbas pada biaya operasional yang terbebankan bagi proyek yang belum pasti kan?<br />4. Jika memang rumusan sudah didapat, masih tugas <em>Marketing</em> untuk membicarakan <em>term and condition </em>kerjasama, termasuk pembebanan <em>cancellation fee</em>.<br />5. jika kesepakatan sudah dicapai, baru deh tim lebih luas boleh dilibatkan.<br /><br />Semoga pemikiran ini bisa jadi patokan tim kantor dalam mengadakan pertemuan dengan calon klien. Semoga kesebalan tidak muncul lagi kemudian. Semoga besok lagi blunder-blunder tidak perlu terjadi dan pertemuan dengan calon klien bisa membuahkan kesepakatan.</span>busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-90015232213353019112010-09-21T07:39:00.000-07:002010-10-07T21:37:01.519-07:00HASIL PANDANGAN MATA DAN REKAMAN TELINGA DARI KUNJUNGAN KE KLIEN SORE TADI ...<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhar60IqRxBIK6PlwprZwvhsZH7VjGt5xjRTAKkaUsfPD8VRWfUnK-c_9PL1IFUEW5ge6s2ZBDswOZEc-G-Mzotd9bURxq4dG9ZLg6zo8MK62rqDQIizFCFe9MQNswvwlagGD5LpxllkIs/s1600/title_img.jpg">d<img style="float: right; margin: 0pt 0pt 10px 10px; cursor: pointer; width: 320px; height: 108px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhar60IqRxBIK6PlwprZwvhsZH7VjGt5xjRTAKkaUsfPD8VRWfUnK-c_9PL1IFUEW5ge6s2ZBDswOZEc-G-Mzotd9bURxq4dG9ZLg6zo8MK62rqDQIizFCFe9MQNswvwlagGD5LpxllkIs/s320/title_img.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5519395086824732162" border="0" /></a><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Sore tadi kami berempat datang ke klien dengan maksud mempresentasikan logo yang diminta dan mendiskusikan beberapa hal lainnya ... Resume pembicaraan:</span><br /><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">1. Klien keberatan saat kita mematok harga logo, karena mereka berasumsi jika mereka nantinya produksi di company kita, maka logo dan desain material promo bakal gratis tis ... (gak tau deh, bagaimana asumsi itu bisa tercipta, secara dari awal kita sudah memberikan ancer2 'bakal ada harga'). </span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >Hmm ... halo, komponen penawaran kita selalu terdiri dari 3 item. logo & corporate identity, graphic designs, production. kalau brosur dan atau company profile masih mengharuskan kita melakukan riset sendiri dan kemudian menyusun copywriting-nya, maka bakal muncul juga komponen copywriting. Nah, logo & corporate identity jelas harus terbayar. sedang graphic designs dimunculkan harganya untuk 'njagani' kalau klien menyukai desain kita, tapi tidak cocok dengan harga produksi kita, hingga hanya menghendaki konsep yang kita bikin dan akan memproduksinya di percetakan lain. Nah kalo klien produksi di tempat kita dengan jumlah yang cukup banyak, biasanya company bisa membertimbangkan diskon untuk di posisi graphic designs sebagai compliment.</span><br /><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">2. Klien shock waktu kita bilang harga logo 1 juta (hmm ... itu harga buat klien lokal yang baru akan mulai usaha. untuk klien mapan, tentunya harganya gak bakal sejumlah itu).</span> <span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >Kemudian mereka mengira harga logo bakal hanya 250rb.<br /><br />Makanya begitu angka 1 juta muncul, sesi curhat pun dimulai :) ... </span> <span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >Akhirnya kita jelaskan, kalo harga 250rb bisa kita berikan untuk logo event yang tempo penggunaannya terbatas. Untuk corporate logo, jelas angka tersebut terlalu rendah, secara logo sebenarnya bisa kita jual sampai puluhan juta rupiah. Harga 1 juta kita munculkan karena klien adalah perusahaan yang baru akan berdiri, dan dengan harapan kerja sama kita bakal jangka panjang.</span><br /><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">3. Waktu kita ngebahas lokasi tempat usaha, giliran kita yang cerita kalo kita agak2 shock. Soalnya lokasinya bener2 in the middle of nowhere. Bayangkan saja, di luar jalan utama, masuk ke jalan berbatu, ketemu semak-semak di pinggir jalan, dapat kompleks perumahan di sebelah kiri, masuk ke jalanan ber-paving block, belok ke kiri, ada tanah kosong di beberapa petak, dan TADA! di situlah lokasi usaha. Bener2 tempat jin buang anak. Kita tanyakan kemungkinan untuk mengganti lokasi, dan jelas dijawab nggak mungkin, karena sewa sudah dibayar. Wow, tugas berat untuk membuat sign board, tugas berat buat promotion materials, tugas berat buat babat alas ...</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >Waktu mempelajari Marketing Mix, kita mengenal Product-Price-Place-Promotion. Tapi selama ini aku belum pernah berjumpa dengan lokasi usaha yang 'semenantang ini'. intinya adalah, bagaimana bisa menyeret konsumen untuk mau menggunakan jasa usaha klien di tempat yang ngumpet gitu, sementara jenis usaha yang dijalankan klien adalah jenis usaha dengan kompetitor yang sudah cukup banyak. Kompetitor juga memiliki lokasi yang relatively lebih strategis. Untuk kasus ini aku benar2 bisa menghayati frasa 'hanya Tuhan yang tahu'. </span><br /><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">4. Klien mempertanyakan "Kenapa saya harus bayar harga desain. Padahal kan kalo brosur, materinya sudah dari saya. Foto, juga kemungkinan dari saya. Jadi tugas Anda 'cuma' mengatur-atur posisi"?</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >Akhirnya penjelasan harus sampai ke pentingnya corporate identity. Satu pemahaman di luar hanya sekedar penempatan naskah dan foto di bidang corel draw. Pemahaman mengenai corporate identity dimiliki para graphic designers. Mereka yang tahu, bahwa tiap komponen warna, bidang, font, gambar, dan grafis, sangat menentukan bagi kepribadian yang akan dibangun corporate. Skill itu yang membuat graphic design dan logo memiliki harga, bukan hanya jadi compliment semata.</span><br /><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">5. Klien bertanya, untuk buku tahunan, bisa nggak ditulis dengan 3 bahasa: Indonesia, English, dan Mandarin (plus tulisan Mandarin)</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >Hmm, untuk yang ini terpaksa aku laporkan dengan pembukaan: Ooops!</span> <span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" ><br />Kita tadi jelaskan ke klien, kalau di kantor gak ada yang punya kemampuan dengan bahasa dan tulisan Mandarin. Jadi untuk editing bakal jadi masalah tersendiri.</span> <span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >Tapi ternyata baru saja aku diberi tahu, kalo hal itu bisa dengan mudah diselesaikan. Berikan saja template kosong ke klien dalam bentuk print out. Di print out itu, kan kelihatan space yang bisa diisi dengan tulisan Mandarin. nah, persilakan saja klien menulis sendiri seukuran kolom yang tersedia. nanti, kita setting pake page up, terus ditempel deh ke corel draw template. </span> <span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >Hehehe ... untuk yang ini, terpaksa bakal ada ralat ke klien deh besok :P<br /><br />Fiuuuuhhh ... (kipat-kipat keringet di jidat, dan kita pun beranjak pulang)<br /></span>busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-71332905622149980892010-08-05T00:17:00.000-07:002010-10-07T21:32:28.337-07:00Aku tidak suka Barbie, bisakah aku bikin anakku berpendapat sama?<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1_wpgrFDYaCDyBkU7vx9LAvsS9da4t9Awh8ULZssXk_fDOIqR9hOHnRQ315wnLlgDkYDvu-Fb-j2HkRaiVrncuOjLxvESqN50rO2pOyvSJL1kQJAnzK56qt5f-H1r_ZQhD-b6fAi_KK4/s1600/BARBIE_RAPUNZEL.jpg"><img style="float: right; margin: 0pt 0pt 10px 10px; cursor: pointer; width: 320px; height: 286px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1_wpgrFDYaCDyBkU7vx9LAvsS9da4t9Awh8ULZssXk_fDOIqR9hOHnRQ315wnLlgDkYDvu-Fb-j2HkRaiVrncuOjLxvESqN50rO2pOyvSJL1kQJAnzK56qt5f-H1r_ZQhD-b6fAi_KK4/s320/BARBIE_RAPUNZEL.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5501823037212956818" border="0" /></a><span style="font-family:trebuchet ms;"></span><span style="font-family:trebuchet ms;"><br /></span><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhbt2TMGgefZdQnoYtqT0nh5L_O4gDmwrItKsMK1R1_axnwkIEtWxrf548tbuPFDdgrKL-s2-PzP2epJkfFOlWBXP7Frkm_dsN0rVjyTQH6iic9-ZSUG75ImRRoJzh27ZtAJ2ov7d7gFeg/s1600/aramina.jpg"><img style="float: right; margin: 0pt 0pt 10px 10px; cursor: pointer; width: 300px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhbt2TMGgefZdQnoYtqT0nh5L_O4gDmwrItKsMK1R1_axnwkIEtWxrf548tbuPFDdgrKL-s2-PzP2epJkfFOlWBXP7Frkm_dsN0rVjyTQH6iic9-ZSUG75ImRRoJzh27ZtAJ2ov7d7gFeg/s320/aramina.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5501822652745068002" border="0" /></a><span style="font-family:trebuchet ms;"></span><span style="font-family:trebuchet ms;"><br /></span>Pulang kerja, aku dapat suguhan Rapunzel dan Aramina tergeletak telanjang tanpa daya. Oke, di mana pakaian mereka? Segera aku bongkar tumpukan barang-barang gak penting yang sudah diwanti-wantikan Bob untuk jangan dibuang (cuil-cuilan tisu, bungkus kado ulang tahun dia bulan lalu, potongan-potongan kayu, tiket bis kota, dan struk belanja lecek). Ada juga pakaian-pakaianku yang dipinjam Bob sebagai properti main peran-peranan.<span style="font-family:trebuchet ms;"><br /></span>Akhirnya pakaian Rapunzel dan Aramina bisa ketemu di balik bantal-bantal.<span style="font-family:trebuchet ms;"><br /></span><span style="font-family:trebuchet ms;"></span><span style="font-family:trebuchet ms;"><br /></span>Fakta ini semakin bikin aku memikirkan kembali keputusan membelikan Bob boneka Barbie, meski alasan pembelian waktu itu bukan karena ketertarikannya pada sosok Barbie yang cantik, montok, dan berpakaian bagus. Bob begitu menginginkan Barbie (sampai minta dibelikan oleh pakdhenya dari Jakarta karena di Solo belum ada). Di sini Barbie berperan sebagai tokoh-tokoh dongeng favoritnya, Rapunzel dan salah satu anggota Three Musketeer versi Barbie, Aramina. <span style="font-family:trebuchet ms;"><br /></span>Tapi tetap saja, kepemilikan Barbie membuat anakku jadi punya keinginan untuk menelanjangi pakaiannya, mengagumi bentuk tubuhnya, dan mempertanyakan organ yang tak tampak. Bukan mainan yang aman untuk rasa ingin tahu anak kecil, aku rasa. Mengapa?<span style="font-family:trebuchet ms;"><br /></span><span style="font-family:trebuchet ms;"></span><span style="font-family:trebuchet ms;"><br /></span>Now let’s talk about Barbie. <span style="font-family:trebuchet ms;"><br /></span>Aku dari dulu heran, apa sih magnet yang bikin Barbie jadi digandrungi di seluruh dunia? Tampang Barbie menurutku biasa saja. Cantik sih, tapi semua Barbie punya cetakan yang sama. Paling cuma warna rambut, warna kulit, dan warna make up yang dibedakan. Coba saja kalau kalian punya beberapa boneka itu dengan tema yang berbeda-beda. Ambil fotonya, lalu cetak BW. Pasti tampak kesupermiripannya masing-masing. Karakter Barbie cuma dimunculkan dari pakaiannya.<span style="font-family:trebuchet ms;"><br /></span>Nah, kalau begitu kita bicarakan pakaiannya deh. Barbie memang modis. Tapi kenapa sih banyak yang menggila-gilai pakaian yang ill fitting gitu? Bahannya seringkali terlalu kaku, jahitannya kasar, dan tidak pernah lengkap berpakaian hingga ke underwear. <span style="font-family:trebuchet ms;"><br /></span>Bagusnya pakaian Barbie menurut pengamatanku juga membuat anak-anak kecil cepat pengen dewasa. Mereka mendambakan pakaian dengan model yang serba terbuka dan pengekspos seksualitas. Apalagi sekarang banyak kontes-kontes berdandan mirip Barbie. Hallo, mereka masih anak kecil, sedang Barbie jelas-jelas boneka dengan payudara yang supergede untuk proporsinya.<span style="font-family:trebuchet ms;"><br /></span>Sekarang mari kita bahas proporsi tubuhnya …<span style="font-family:trebuchet ms;"><br /></span>Dalam sebuah artikel di International Journal of Eating Disorders terbitan tahun 1995 yang berjudul "Distorsi Realita untuk Anak-anak: Proporsi Ukuran Tubuh Boneka Barbie dan Ken”, K.D. Brownell dan Napolitano menggunakan ukuran pinggul sebagai konstanta, dan memperhitungkan perubahan yang diperlukan bagi perempuan dan pria dewasa muda yang sehat untuk mendapatkan proporsi tubuh yang sama dengan Barbie dan Ken. <span style="font-family:trebuchet ms;"><br /></span><p>Nah, perubahan yang diperlukan pada perempuan adalah penambahan tinggi sebanyak 60 cm, penambahan ukuran dada sebesar 12,5 cm dan penambahan panjang leher sebanyak 8 cm, sambil mengurangi ukuran pinggang sebesar 15 cm. Sedangkan pria membutuhkan penambahan tinggi sebanyak 50 cm, 27,5 cm pada dada, dan 19,75 cm pada lingkar leher. Jadi jika Barbie adalah perempuan di dunia nyata dengan tinggi awal 155 cm, maka tingginya bakal naik menjadi 215 cm dengan ukuran pinggang 55 cm dan leher yang melebihi panjang leher perempuan dari etnik Paudang-Thai. Sedangkan Ken akan bertinggi 230 cm, dengan ukuran pinggang 107,5 cm. Nggak realistis, ya?</p><p><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 205px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhr-FZSTsj3a2EFTQ8Ks9Qiq92BsumeyUT0DjAHDWXXiQ63o7o8iDsxUw0IlZe-sJAskenYS1CWjC1vEvfaaB3muc-U4DkJ1tmeiosm2APjFL5_SzfvUWhy2U06Dqiya0KjdXvfwc1v-Hg/s320/leher+panjang.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5501823712492176226" border="0" /><span style="font-family:trebuchet ms;"><br /></span></p><p><span style="font-family:trebuchet ms;"></span><span style="font-family:trebuchet ms;">Bekal seperti inilah yang bisa memberi persepsi tubuh yang keliru bagi gadis-gadis kecil kita. Tubuh ramping dengan lekuk-lekuk yang tepat di semua tempat, serta rambut panjang lebat. Padahal, tak semua orang dianugerahi proporsi tubuh yang bisa dibuat semirip Barbie. Satu langkah ke arah <em>eating disorder</em>, kan?</span><span style="font-family:trebuchet ms;"><br /></span></p><p>Barbie sejak dulu membawa citra feminin gender berkromosom X, hingga setiap orangtua akan mengarahkan referensi pada Barbie saat anak perempuan mungilnya minta boneka. Pembagiannya adalah: anak laki-laki dapat jatah boneka action figure, anak perempuan dapat Barbie. Kondisi bakal dianggap anomali dan mendapat cap tomboi jika ada anak perempuan yang ngutak-atik boneka action figure atau bahkan mainan kereta api, dan sebaliknya.<span style="font-family:trebuchet ms;"><br /></span></p>Sebaliknya, aku dan suamiku sejak dulu sepakat untuk tidak mengkotakkan gender pada saat anak kami masih balita. Pengkotakan gender adalah batasan yang ditetapkan orang dewasa. Hal ini jika diterapkan ke anak-anak bakal membatasi kreativitasnya. Baru saat dia mendapat pengaruh dari luar, maka penjelasan mengenai jenis kelamin kami rasa perlu diberikan. Hasilnya? Bob jadi lebih kreatif dalam memanfaatkan mainan-mainannya.<span style="font-family:trebuchet ms;"><br /></span>Untungnya ketertarikan Bob pada Barbie masih bisa kami batasi pada Barbie bertema khusus, sehingga ketertarikan dia karena kemampuan Mattel mewujudkan tokoh dongeng favoritnya menjadi boneka yang bisa ditimang, bukan pemujaan bentuk tubuh dan model pakaian yang tidak sesuai usia.busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-30674414666177406312010-08-01T09:32:00.000-07:002010-08-01T10:17:18.861-07:00Saat bentuk tubuh, gender, dan pilihan seksualitas jadi ledekan<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcdL2GygZz5iwf4GTlseY6Gh05dkp8Iw1uYsVZYZAK899hgY46Fv46hUJ9Z5HEmlPo504VwEnrXVso5C7ecL-E_y8R4411cv0C1iiwcm00XPgro4LgAskCSLKUQsFVbTgo5eCdNcfnvZA/s1600/dandelion-bits-wallpapers_9134_1280x1024.jpg"><img style="float: right; margin: 0pt 0pt 10px 10px; cursor: pointer; width: 320px; height: 256px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcdL2GygZz5iwf4GTlseY6Gh05dkp8Iw1uYsVZYZAK899hgY46Fv46hUJ9Z5HEmlPo504VwEnrXVso5C7ecL-E_y8R4411cv0C1iiwcm00XPgro4LgAskCSLKUQsFVbTgo5eCdNcfnvZA/s320/dandelion-bits-wallpapers_9134_1280x1024.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5500482258365508530" border="0" /></a><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Tadi sore, di depan </span><span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >display </span><span style="font-family:trebuchet ms;">baju tidur, seorang teman, A, mengacungkan selembar </span><span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >lingerie </span><span style="font-family:trebuchet ms;">yang</span><span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" > playful</span><span style="font-family:trebuchet ms;">, dengan desain centil lengkap disertai renda-renda, pita, dan tentu saja tipis menerawang. Dia berkata ke aku, 'Mbak, coba pakai ini!' dan ketawa, '"Pasti kalo kamu pakai bakal keliatan kayak waria."</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Oke. Tombol emosiku masuk mode ALERT.</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Teman yang lain menyela, "Lho kok gitu?"</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Si A dengan lagak tanpa dosa menjawab, "Ya, kan dia badannya gede gitu. Mana rambutnya pendek lagi. Hihihi!"</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Tarik napas, tahan, lepaskan. Tarik napas, tahan, lepaskan. Tarik napas, tahan, lepaskan. Aku nggak boleh terpancing oleh </span><span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >line </span><span style="font-family:trebuchet ms;">yang nggak </span><span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >educated</span><span style="font-family:trebuchet ms;"> itu. Baik, mungkin aku belum punya kesempatan mendidik mulut temanku satu itu. Tapi di sini aku ingin membicarakan beberapa hal:</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;"> 1. Kenapa semua orang selalu menghakimi perempuan yang berambut pendek dan berbadan gede sebagai waria? Padahal jika mau mencoba ngecek lebih teliti, waria, karena mereka ingin sekali jadi perempuan, tidak bakal suka rela memangkas rambutnya menjadi pendek. Perempuan berambut pendek adalah perempuan yang sudah nyaman sekali dengan keperempuanannya, hingga bagi mereka ukuran rambut tidak akan mereka jadikan identitas keperempuanan. Hah, </span><span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >point of view</span><span style="font-family:trebuchet ms;"> baru, bukan?</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;"> 2. Kalau kita membicarakan femininitas, sekali lagi aku tekankan, buatku femininitas sudah bukan saatnya ditunjukkan cuma lewat pakaian tipis melambai berjumbai-jumbai atau rambut panjang. Karena kadang identitas yang seperti itu rancu banget dengan </span><span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >sexiness</span><span style="font-family:trebuchet ms;">. Dan keseksian, bukan kefemininan. Femininitas sebaiknya dimunculkan pada saat kita menghadapi situasi yang membutuhkan sifat itu. Bukan lewat dandanan fisik.</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;"> 3. Rambut pendek bukan identik dengan laki-laki ataupun (sekali lagi) waria. Sejak kapan sih pemikiran itu muncul? Aku heran banget. Soalnya, kalau kita membicarakan tuntutan agama agar perempuan tidak berdandan seperti laki-laki, hmmm ... memangnya Nabi Muhammad dulu rambutnya pendek ya? Apa ada yang bisa menjamin? Soalnya jaman itu belum ada gunting lho.</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;"> 4. Sekarang mari kita bicarakan masalah badan gede. Kalau aku boleh menggarisbawahi, temanku si A yang bicara tadi badannya bukan saja gede. Dia gendut, dengan huruf kapital. So, benernya aku tadi pengen ngajak dia ngaca. </span><span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >Look who’s talking</span><span style="font-family:trebuchet ms;">?</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;"> 5. Nah, setelah emosiku agak mengendap, aku pengen membahas tentang waria. Kenapa sih kita selalu memberi cap buruk pada mereka? Mengapa kita tidak bisa menerima mereka sebagai bagian dari masyarakat, meski mungkin secara agama memang mereka tidak diakui? Karena, mau diakui atau tidak, faktanya mereka ada, dan mereka merasa berbeda. Jadi bagiku, memperlakukan waria sebaiknya bukan sebagai olok-olokan. Terima saja keadaan ini seperti kita menerima perbedaan agama yang ada di dunia, </span><span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >lakum diinukum waliyadiin</span><span style="font-family:trebuchet ms;"> kan? Nah, berlakukan saja prinsip yang sama terhadap para waria. Selesai. Kita nggak terbebani, dan kita sendiri tidak menyinggung perasaan orang lain.</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;"> 6. Jika kita membahas waria, rasanya belum tuntas kalau belum menyerempet ke homoseksualitas. Atau kalau dalam kasusku biasanya masalah lesbianisme. Aku </span><span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >straight </span><span style="font-family:trebuchet ms;">(rasanya semua orang sudah tahu, meski dulu banyak yang ragu). Tapi itu bukan hal yang aku banggakan, meski juga bukan hal yang aku malukan. Biasa saja, karena buatku seperti waria, lesbianisme adalah dorongan hati. Kita tidak bisa menghakimi orang lain kalau itu kaitannya dengan dorongan hati, kan? Sisakan masalah surga dan neraka untuk urusan pribadi. Nah, mengenai lesbianisme ini, dulu aku sering juga dicap sebagai lesbian, hanya karena bentuk fisik, pilihan model rambut, dan jenis pakaian yang aku kenakan. TOLOL. Karena itu harusnya bukan urusan siapapun selain aku sendiri kan? Masalahnya, biasanya cewek-cewek bakal ketakutan jika tahu cewek X adalah lesbian. Kayak lesbian adalah penyakit menular saja. Kayak si lesbian bakal langsung naksir dan mengejar-ngejar cewek lain saja. Mengapa kita tidak bisa menilai para lesbian seperti kita menilai manusia pada umumnya? Toh mereka hanya akan naksir pribadi-pribadi yang ‘kena’ di hati mereka. Seperti para kita yang merasa </span><span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >straight </span><span style="font-family:trebuchet ms;">memandang lawan jenis. kalau nggak naksir, nggak bakal ngelirik dua kali. Bukannya asal tomprok. Mau lesbian atau <span style="font-style: italic;">straight</span>, setiap orang berhak dan harus dinilai </span><span style="font-style: italic;font-family:trebuchet ms;" >achievement</span><span style="font-family:trebuchet ms;">-nya. Jangan hanya berhenti di pilihan seksualnya.</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Yang jadi pertanyaan bagiku adalah, mengapa di tengah masyarakat yang sudah modern ini perbedaan bentuk dan penampakan fisik masih jadi pembahasan yang menyebalkan? Mengapa pembicaraan di area ini biasanya menyerempet ke penghinaan dan pelecehan yang dikaitkan pada jenis kelamin tertentu atau pilihan seks tertentu? Mengapa orang tidak bisa menerima orang lain apa adanya, kalau itu kaitannya dengan bentuk fisik atau pilihan seks?</span>busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-47468395437032038132010-07-28T01:03:00.001-07:002010-07-28T19:30:47.234-07:00Nambah dong ...<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnBriS8pxBjkBgXhrYVdQEHcoHKmfWh43QWslBCPUEDrEV4Ho7vmDcjt-6A3YazXMWtrjBXTDY7VGY0q4Nm6X2oz-vP7A7DGr4K4mz9iZNwnb_OPaIYY7-snJ4NlhZNfqExueSnmasb6w/s1600/25603_393676732768_695782768_3660235_3024506_n.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnBriS8pxBjkBgXhrYVdQEHcoHKmfWh43QWslBCPUEDrEV4Ho7vmDcjt-6A3YazXMWtrjBXTDY7VGY0q4Nm6X2oz-vP7A7DGr4K4mz9iZNwnb_OPaIYY7-snJ4NlhZNfqExueSnmasb6w/s320/25603_393676732768_695782768_3660235_3024506_n.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5499147029796647474" /></a><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Itu adalah jenis tanggapan yang biasa aku dapat setelah menjawab pertanyaan:</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">1. Sudah punya anak? (sudah)</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">2. Berapa jumlahnya? (satu)</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">3. Umurnya berapa? (lima tahun/per 2010)</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Dengan tanggapan begitu, biasanya bakal aku jawab lagi: nggak ah, cukup satu saja.</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Nah, dengan jawaban itu, maka biasanya tanggapan berikutnya bakal: Kenapa? idealnya punya anak kan dua atau tiga. Anak satu kasihan lho. Nanti dia jadi kesepian, belum lagi jadi manja, dll, dll.</span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Hmm ... "idealnya punya anak itu kan dua atau tiga". Ideal menurut siapa sih? Menurut program KB jaman Orba? Situasi ideal berbeda-beda di tiap situasi. Jumlah anak dua atau tiga, bukan disebut ideal, itu adalah keberhasilan indoktrinasi. Kita bisa menyebutkan sebuah situasi ideal jika kita punya alasan untuk itu.</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Di sini aku punya beberapa pilihan jawaban.</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">1. Nggak mampu ah, menghidupi dan merawat tambahan anak dengan situasi ekonomi sekarang ...</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Jawaban yang model begini bakal dapat tanggapan standar yang intinya: Ya nggak mungkin lah kamu nggak mampu merawat tambahan anak satu lagi. Kamu dan suamimu kan dua-duanya bekerja. mana kerjanya dobel-dobel lagi. Sebulan terima empat amplop, dll, dll.</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Oke, kalo gitu jawaban aku berikan ke alternatif </span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">2. Kasihan eyangnya yang ngerawat anak tiap hari. Satu anak saja sudah bikin eyang tobat-tobat, apa lagi kalo dua atau tiga ...</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Dengan jawaban ini, maka tanggapan standar dari penanya adalah: makanya ditambahin tuh anak. Kalau punya saudara, pasti jadi nggak nakal (memang yang nanya bisa nanggung kalo saudaranya nggak bakal lebih nakal ya?)</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Nah, dengan tanggapan seperti itu, maka jawaban aku lempar ke alternatif terakhir. Ini sebenarnya adalah jawaban idealku, karena memang inilah yang jadi alasan utama pilihan jumlah anakku. Tapi jarang aku keluarkan, karena jawabannya bakal bikin jidat banyak orang berkerut semakin nggak setuju.</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">3. Aku punya anak satu saja, karena bumi kita nggak bakal tambah luas. Mungkin aku masih punya "hak" untuk nambah satu anak lagi, dengan asumsi jumlah anak menggantikan nyawa kedua orangtuanya nanti. Tapi bagaimana dengan orang-orang sang sampai sekarang masih punya banyak anak dengan alasan: semakin banyak anak. semakin kuat laskar Allah, atau tiap anak bawa rezeki mereka masing-masing, atau yang lainnya? Jadi anggap saja aku memberi kesempatan: bagi mereka yang masih pengen nambah anak, pakailah kuota yang aku miliki. Bagaimana?</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Jawaban ini masih kurang memuaskan. Karena dengan bentuk dan personality-ku, sepertinya jawaban yang diharapkan penanya dariku cuma satu:</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">"AKU NGGAK MAU PUNYA ANAK LAGI KARENA AKU KAPOK DENGAN KEREPOTAN DAN PROSES MELAHIRKANNYA!"</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Padahal jujur saja, tidak. Mungkin di mata semua orang aku masuk kategori tomboi, nggak keibuan, dll. Bagiku, aku hanya menyukai kepraktisan.</span> <span style="font-family:trebuchet ms;">Dan ketomboian tidak mengurangi rasa keibuan yang aku miliki. Karena bagiku keibuan tidak perlu ditunjukkan dengan dandanan bergaya ibu-ibu mainstream. Keibuan muncul dari bagaimana kita bersikap saat sifat itu diperlukan muncul.</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Jadi begini deh. Aku berikan jawaban panjang lebar di sini, semoga pertanyaan tentang jumlah anak nggak bakal aku temui lagi di depan ...</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Anak adalah anugerah Allah. Aku dan suamiku sangat berterima kasih dengan kehadiran Bob di antara kami. Dengan kondisi perekonomian sekarang, untuk memberikan yang terbaik rasanya pilihan paling masuk akal bagi kami adalah berhenti di satu anak saja. Kami yakin, kami mampu mengarahkan anak kami untuk jadi anak yang baik meski dia agak manja dengan status anak semata wayangnya. Kehadiran saudara belum tentu bisa membantu kondisi kemanjaan, karena posisi anak manja kemungkinan besar akan beralih ke si bungsu. Kami pun masih harus deal dengan kecemburuan di sulung dan situasi perekonomian. </span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Mengenai masalah kesepian si anak, masalah itu akan pelan-pelan teratasi setelah ia beranjak besar dan mengenal teman banyak di luar sana. Kondisi kami di masa tua juga bukan alasan, karena berapapun jumlah anak, kita tetap harus siap ditinggalkan mereka begitu mereka tumbuh dewasa, bukan?</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Kami tidak akan mempersoalkan pilihan jumlah anak ataupun pilihan masing-masing orang untuk punya anak atau pun tidak, karena masing-masing kasus tidak sama treatment-nya. Tapi tolong hargai pilihan yang kami ambil, dan kita bisa maju menghadapi konsekuensi pilihan kita masing-masing tanpa diributkan dengan pendapat dari kiri dan kanan.</span><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Untuk masalah penuhnya bumi, biar alasan ini cukup jadi idealisme kami saja :D</span><br /><br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;"> </span>busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-9175439314239420095.post-74023945965770666262010-07-28T00:40:00.000-07:002010-07-28T00:41:54.134-07:00alhamdulillah<span style="font-family: trebuchet ms;">akhirnya berhasil juga mengubah pilihan bahasa ke English. Hehehe. Soalnya pake bahasa Indonesia kok malah jadi bingung dan males nge-blog (meski entry-nya tetep pake bahasa Indonesia).</span>busy_beehttp://www.blogger.com/profile/15202954578052082137noreply@blogger.com0