Minggu, 01 Agustus 2010

Saat bentuk tubuh, gender, dan pilihan seksualitas jadi ledekan


Tadi sore, di depan display baju tidur, seorang teman, A, mengacungkan selembar lingerie yang playful, dengan desain centil lengkap disertai renda-renda, pita, dan tentu saja tipis menerawang. Dia berkata ke aku, 'Mbak, coba pakai ini!' dan ketawa, '"Pasti kalo kamu pakai bakal keliatan kayak waria."

Oke. Tombol emosiku masuk mode ALERT.

Teman yang lain menyela, "Lho kok gitu?"

Si A dengan lagak tanpa dosa menjawab, "Ya, kan dia badannya gede gitu. Mana rambutnya pendek lagi. Hihihi!"

Tarik napas, tahan, lepaskan. Tarik napas, tahan, lepaskan. Tarik napas, tahan, lepaskan. Aku nggak boleh terpancing oleh line yang nggak educated itu. Baik, mungkin aku belum punya kesempatan mendidik mulut temanku satu itu. Tapi di sini aku ingin membicarakan beberapa hal:

1. Kenapa semua orang selalu menghakimi perempuan yang berambut pendek dan berbadan gede sebagai waria? Padahal jika mau mencoba ngecek lebih teliti, waria, karena mereka ingin sekali jadi perempuan, tidak bakal suka rela memangkas rambutnya menjadi pendek. Perempuan berambut pendek adalah perempuan yang sudah nyaman sekali dengan keperempuanannya, hingga bagi mereka ukuran rambut tidak akan mereka jadikan identitas keperempuanan. Hah, point of view baru, bukan?
2. Kalau kita membicarakan femininitas, sekali lagi aku tekankan, buatku femininitas sudah bukan saatnya ditunjukkan cuma lewat pakaian tipis melambai berjumbai-jumbai atau rambut panjang. Karena kadang identitas yang seperti itu rancu banget dengan sexiness. Dan keseksian, bukan kefemininan. Femininitas sebaiknya dimunculkan pada saat kita menghadapi situasi yang membutuhkan sifat itu. Bukan lewat dandanan fisik.
3. Rambut pendek bukan identik dengan laki-laki ataupun (sekali lagi) waria. Sejak kapan sih pemikiran itu muncul? Aku heran banget. Soalnya, kalau kita membicarakan tuntutan agama agar perempuan tidak berdandan seperti laki-laki, hmmm ... memangnya Nabi Muhammad dulu rambutnya pendek ya? Apa ada yang bisa menjamin? Soalnya jaman itu belum ada gunting lho.
4. Sekarang mari kita bicarakan masalah badan gede. Kalau aku boleh menggarisbawahi, temanku si A yang bicara tadi badannya bukan saja gede. Dia gendut, dengan huruf kapital. So, benernya aku tadi pengen ngajak dia ngaca. Look who’s talking?
5. Nah, setelah emosiku agak mengendap, aku pengen membahas tentang waria. Kenapa sih kita selalu memberi cap buruk pada mereka? Mengapa kita tidak bisa menerima mereka sebagai bagian dari masyarakat, meski mungkin secara agama memang mereka tidak diakui? Karena, mau diakui atau tidak, faktanya mereka ada, dan mereka merasa berbeda. Jadi bagiku, memperlakukan waria sebaiknya bukan sebagai olok-olokan. Terima saja keadaan ini seperti kita menerima perbedaan agama yang ada di dunia, lakum diinukum waliyadiin kan? Nah, berlakukan saja prinsip yang sama terhadap para waria. Selesai. Kita nggak terbebani, dan kita sendiri tidak menyinggung perasaan orang lain.
6. Jika kita membahas waria, rasanya belum tuntas kalau belum menyerempet ke homoseksualitas. Atau kalau dalam kasusku biasanya masalah lesbianisme. Aku straight (rasanya semua orang sudah tahu, meski dulu banyak yang ragu). Tapi itu bukan hal yang aku banggakan, meski juga bukan hal yang aku malukan. Biasa saja, karena buatku seperti waria, lesbianisme adalah dorongan hati. Kita tidak bisa menghakimi orang lain kalau itu kaitannya dengan dorongan hati, kan? Sisakan masalah surga dan neraka untuk urusan pribadi. Nah, mengenai lesbianisme ini, dulu aku sering juga dicap sebagai lesbian, hanya karena bentuk fisik, pilihan model rambut, dan jenis pakaian yang aku kenakan. TOLOL. Karena itu harusnya bukan urusan siapapun selain aku sendiri kan? Masalahnya, biasanya cewek-cewek bakal ketakutan jika tahu cewek X adalah lesbian. Kayak lesbian adalah penyakit menular saja. Kayak si lesbian bakal langsung naksir dan mengejar-ngejar cewek lain saja. Mengapa kita tidak bisa menilai para lesbian seperti kita menilai manusia pada umumnya? Toh mereka hanya akan naksir pribadi-pribadi yang ‘kena’ di hati mereka. Seperti para kita yang merasa straight memandang lawan jenis. kalau nggak naksir, nggak bakal ngelirik dua kali. Bukannya asal tomprok. Mau lesbian atau straight, setiap orang berhak dan harus dinilai achievement-nya. Jangan hanya berhenti di pilihan seksualnya.

Yang jadi pertanyaan bagiku adalah, mengapa di tengah masyarakat yang sudah modern ini perbedaan bentuk dan penampakan fisik masih jadi pembahasan yang menyebalkan? Mengapa pembicaraan di area ini biasanya menyerempet ke penghinaan dan pelecehan yang dikaitkan pada jenis kelamin tertentu atau pilihan seks tertentu? Mengapa orang tidak bisa menerima orang lain apa adanya, kalau itu kaitannya dengan bentuk fisik atau pilihan seks?

1 komentar:

  1. cuek wae bu, rasah ngurusi wong2 cupet, cekak lan kurang gaweyan kuwi. Ora entek2 dan menguras energi....hehheheh :D:D

    BalasHapus