Selasa, 09 November 2010

MUTLAKKAH HARGA KEPERAWANAN SAAT INI?


Tergelitik oleh postingan salah seorang blogger yang mempertanyakan “Keperawanan, Masihkah Jadi Harga Mutlak?”, aku kemarin mencoba jawab nulis di fitur reply-nya. Eh, ternyata ada sedikit hang yang malah bikin tulisanku hilang.
Baiklah, ini aku coba lagi tulis, tapi dengan media blog yang berbeda.

Keperawanan adalah bahasan yang selalu beredar. Mau kita bilang basi, nyatanya orang masih selalu memperbincangkan. Mau kita blow up, biasanya kaum perempuan akan menjadi pihak yang terugikan. Bagaimana tidak, hanya perempuan kok, yang bisa dituntut untuk berdarah-darah di malam pertamanya.

Kembali ke pertanyaan di atas, saat kita membahas tentang keperawanan, aku lebih senang jika mengelompokkan bahasan ke dalam empat dasar pemikiran. Masing-masing dasar pemikiran akan memengaruhi bagaimana cara kita memandang keperawanan itu sendiri.
1. Kesehatan
2. Agama
3. Sosial
4. Jender

Sebelumnya kayaknya perlu kita batasi dulu istilah keperawanan ini. Apakah benar yang namanya keperawanan adalah bahwa seorang gadis belum pernah “disentuh”, atau harus ada darah yang menitik sebagai buktinya? 
Mengapa batasan ini penting? Karena sobeknya selaput dara adalah penyebab menitiknya darah. Sayangnya, bentuk, kelenturan, dan ketebalan selaput dara ini berbeda-beda untuk masing-masing orang. Sehingga semakin lentur, tebal, dan kuat si selaput dara, akan semakin mengurangi kesempatan organ tersebut akan rusak dan berdarah pada saat tersentuh.
Jadi di sini batasan keperawanan itu akan menjadi bias. Jika akhirnya kita kembalikan istilah keperawanan itu ke keadaan di mana seorang gadis belum pernah “disentuh” sebelumnya, maka keperawanan tidak bisa dibuktikan, karena yang tahu hanya si gadis itu sendiri.
Nah, kalau sudah begitu, terserah deh buat yang mau mengartikan, ke mana keperawanan akan dibawa untuk diartikan. Karena pembahasan ini akan aku bawa lebih jauh lagi.

1. Dari sisi kesehatan, yang dicemaskan dari hubungan seksual adalah kehamilan yang tidak diharapkan, dan atau penularan penyakit yang hanya bisa ditularkan lewat kontak seksual. Jika kita bisa melakukan pencegahan secara maksimal dan bertanggung jawab saat melakukan setiap hubungan seksual, maka KEPERAWANAN TIDAK JADI HARGA MUTLAK.
2. Membicarakan keperawanan dari sisi agama, akan membuat jawaban menjadi KEPERAWANAN MASIH JADI HARGA MUTLAK. Mengapa? Jelas, karena agama apapun, akan selalu menuntut peresmian secara agama sebelum pasangan laki-laki-perempuan bisa melakukan hubungan seks. Jadi jelas suami (pertama) si perempuan yang akan mendapatkan keperawanan. Jika si laki-laki percaya pada si perempuan, berdarah atau tidak, ia akan meyakini keperawanan pasangannya. Jadi sekali lagi, semua kembali pada kejujuran dan kepercayaan, serta niat baik bahwa pernikahan termasuk bentuk ibadah.
3. Sekarang mari kita bahas dari sisi sosial kemasyarakatan. Penilaian masyarakat didasarkan pada norma. Norma tidak membawa sanksi yang mengikat dan membebani. Norma itu sendiri terbentuk dari pandangan masing-masing individu yang menjadi anggota masyarakat, yang akhirnya menjadi konsensus bersama. Pengawasan pelaksanaan norma dilakukan oleh anggota masyarakat sendiri. Jadi sepanjang pelanggaran norma tidak diketahui anggota masyarakat, pelaku pelanggaran bisa melenggang bebas. Sanksi pelanggaran norma (biasanya) adalah pengucilan. Masalahnya, penerapan norma berbeda-beda di tiap kelompok masyarakat. Jadi untuk kasus keperawanan ini, KEMUTLAKAN ATAU KETIDAKMUTLAKAN SANGAT BERGANTUNG KEPADA MASYARAKAT MANA YANG MENERAPKAN.
4. Sekarang mari kita bawa pembahasan ke sisi gender. Dari sisi ini, KEPERAWANAN ADALAH MUTLAK milik perempuan. Keperawanan adalah atribut yang menempel bersamaan dengan atribut keperempuanannya. Terserah dia untuk memberikan kepada siapapun yang menurutnya pantas menerima. Kapan, alasan, kepada siapa keperawanan itu diberikan, tidak akan mengurangi nilai keperempuanan yang ia miliki, dan tidak akan mengurangi kualitas diri. Tolong bedakan kehilangan keperawanan dengan prostitusi.

Bagi aku sendiri, menjaga keperawanan hingga memasuki pernikahan aku lakukan bukan sebagai persembahan kepada suami. Hal tersebut aku lakukan karena aku takut akan mengalami penyesalan. Penyesalan yang seperti apa? Lihat saja keempat kriteria penilaian kemutlakan atau ketidakmutlakan keperawanan yang ada di atas. 


Memandang keperawanan dari menetesnya darah hanya akan memarakkan bisnis operasi plastik pengembalian keperawanan. Maka kalau didesak lebih jauh, aku lebih suka mengupas keperawanan dari sisi gender. Karena di sini, berarti dunia mengakui kendali perempuan atas tubuhnya sendiri.



Minggu, 07 November 2010

Jangan Malu Mengaku Ego


Di tengah masyarakat kita, mengaku kalau memiliki ego kadang dianggap tabu. Karena orang yang memiliki ego kadang dilekati dengan predikat egois. Maka orang berlomba-lomba ingin menutupi egonya. Padahal jika kita mau mengembalikan ke arti sebenarnya, ego memiliki beberapa artian yang mendekati positif.

e·go (kata benda)
1. ide seseorang mengenai nilai penting dirinya biasanya ini tentang tingkatan yang dianggap tepat.
2. pelebih-lebihan nilai diri dan rasa superioritas dibanding orang lain
3. Dalam psikologi aliran Freudian, ego adalah satu dari tiga bagian utama dalam pikiran manusia, yang mengandung kesadaran dan memori dan dipengaruhi oleh kontrol, perencanaan, dan konfirmasi terhadap realitas
4. Diri individual, yang secara jelas terpisah dari dunia luar dan orang lain. (terjemahan bebas dari World English Dictionary)

Artiannya tidak buruk-buruk amat, kan?

Nah, di bawah ini adalah dua kejadian yang menurutku tepat dijadikan contoh di mana ego bermain-main.

Ada seorang teman di agency lain yang marah-marah, saat ia melihat print ad yang ia buat, tiba-tiba sudah diubah-ubah copy-nya. Dan si teman saat itu disodori print ad yang sudah dipermak copy-nya, karena ia diminta untuk tambah memermak lagi.
Temanku menolak. Ia bilang, “Maaf, aku nggak bisa, karena gayanya sudah beda.”

Pernyataan yang menunjukkan tingginya ego temanku, kan? Ia tidak mau merevisi, karena ada orang lain yang sudah merevisi juga sebelumnya. Ada orang lain yang sudah mengobrak-abrik pekerjaannya.

Tapi jangan salah, aku juga bakal bereaksi sama jika dihadapkan di situasi serupa. Mengapa?
Bekerja di Creative perusahaan periklanan, saat menghadapi sebuah campaign, kita selalu mengadakan brainstorming. Di proses ini semua orang yang masuk ke dalam tim akan urun ide, habis itu saling bantai ide, hingga akhirnya keluar dari ruang brainstorming, bukan cuma puyeng kepala yang didapat, tapi setidaknya konsep matang sudah di tangan. Setelah itu, dikembalikan ke masing-masing art director dan copywriter untuk mengolah konsep yang disetujui tim. Nah, hasil itulah yang dijadikan bahan presentasi ke klien. Kalau pada saat internal presentation ada masukan, atau kritikan, atau perubahan, sampaikan saja ke si pembuat. Karena dengan logika yang tepat, pasti masukan, kritikan, dan perubahan itu akan menyempurnakan konsep yang dibuat.
Dalam kasus temanku, selagi dia gak di tempat, ada yang melakukan perubahan copy yang dia buat. Karena menurut si pelaku copy-nya kurang tepat. Setelah bos melihat hasil perubahan, bos datang ke temanku untuk merevisi copy hasil revisi gelap juga. Jadinya sudah tangan ke berapa tuh?
Nah, di sini lah temanku menetapkan garis. Ia tidak bersedia merevisi karena ia merasa itu sudah bukan hasil buatannya.
Mungkin akan lebih tepat, kalau si bos membentuk tim baru untuk memberikan ide pembanding. Tim mandiri yang lepas 100% dari tim awal dengan ide-ide yang segar.
Sekarang, kalo temanku mutung dan sudah gak mau terlibat dengan kerjaan itu lagi, siapa yang bisa disalahkan?

Ada satu kasus lain lagi. Dalam sebuah perusahaan periklanan, alur pengerjaan order adalah:
AE>Creative (AD &CW)>approval CD>AE>Klien
Nah, saat ada pekerjaan pembuatan buletin yang sudah ada materinya, AE langsung masuk ke Graphic Designer untuk membuatkan layout. Proses selanjutnya seharusnya adalah copy proofing untuk mengecek ejaan, penggalan, dan tata bahasa. Karena AE memiliki ketidaksukaan pribadi kepada CW, maka ia bertekad mengerjakan sendiri copy proofing tersebut. CW melihat si AE melakukan pekerjaan yang seharusnya ia lakukan, tapi ia diam saja. Ia biarkan si AE repot mengedit, karena toh memang request pengerjaan tidak pernah ia terima, secara lisan atau pun tertulis. Si AE tahu kalau CW tahu ada pekerjaan itu dan diam saja.
Akhirnya ada pihak lain yang menegur si AE bahwa bukannya itu seharusnya dikerjakan CW?
Dan apa jawaban AE? Katanya, ia mengerjakan sendiri pekerjaan itu karena CW tak mau bantu.

Di sini aku ingin bicara tentang ego. Tidak banyak orang yang mau mengakui ia memiliki ego yang besar. Tapi dalam kasus-kasus di atas, ego memang kadang perlu dimunculkan. Ini hubungannya erat dengan proses penciptaan sendiri.
Kasus 1.
Saat kita membuat sesuatu, maka kita memiliki gambaran jelas tentang latar belakang, proses, dan tujuan pembuatannya. Saat orang lain memutus proses itu di belakang kita, apa dia mempertimbangkan latar belakang, proses, dan tujuan yang kita ambil? Apalagi seperti kasus teman itu, perubahannya di saat ia sedang tidak ada di tempat. Jadi bagiku sah-sah saja buat teman untuk memutuskan mundur dari tim campaign tersebut. Ia mempersilakan bosnya untuk menyelesaikan campaign itu tanpa keikutsertaan temanku itu.

Kasus 2.
Di kasus 2, ada 2 ego yang berkeliaran. Ego pertama muncul dari si CW yang keras kepala tak mau ikut copy proofing karena tidak ada request lisan/tertulis. Ego kedua muncul saat AE tahu bahwa CW tahu ia mengedit sendiri, sehingga itu membuahkan cap si CW tak mau bantu. Di sini, sudah jelas, mana telurnya mana ayamnya. Sehingga awal mula keruwetan bisa ditelusuri dengan mudah.

Ada ego yang dengan bangga dipertahankan. Ada ego yang bisa ditekan jika dipancing dengan sikap yang tepat. Ada pula ego yang sebaiknya dibuang karena menghambat pekerjaan.


Kamis, 04 November 2010

Saat hal "tidak penting" tiba-tiba menjadi urusan penting


“Kenapa sih kamu gak temenan dengan dia di Facebook?” tanya si A
Si B menjawab, “Wah, buatku tidak penting berteman dengan dia.”

Itu diucapkan si B tentang teman sekantornya, padahal semua teman sekantor ada di friends list-nya. Jadi buat si B, hanya satu orang itu saja yang “tidak penting”. Padahal, kalau boleh mengingatkan, bahkan tahu tentang Facebook saja dia kenalnya dari si “tidak penting”. Tahu tentang Friendster juga dari "tidak penting”. Jadi “tidak penting" ternyata memberi informasi dan pengetahuan yang penting kan?

Sekarang, begitu si “tidak penting” tahu alasan dia di-remove dari FB si B (meski fakta ter-remove sudah tahu sejak April 2009), dan berkata bahwa “ra kekancan ra patheken”, si B kebingungan sendiri dan bikin apologi bahwa alasan dia tidak berteman dengan “tidak penting” di FB karena “ingin meminimize bentrokan dan cara pandang yang berbeda”.

Hmm ... sekali lagi, itu hanya apologi. Karena toh seluruh orang kantor juga gak bakal punya pandangan yang sama. Kenapa juga hanya satu orang (dan suaminya) yang dia remove? Apa karena si "tidak penting” dulu beberapa kali minta uang taksi sebagai pengganti transpor lembur? Atau karena suami si tidak penting ‘masuk’ ke ruang direktur dan berkantor di sana? Atau karena si “tidak penting” menurut si B tidak mau masuk ke ruang Keuangan? Atau karena suara “tidak penting” yang sering didengarkan Bos, dan Bos bertindak mempertimbangkan pendapat “tidak penting” yang menurut si B itu sebagai bentuk pilih kasih Bos?

Kalau memang itu alasannya, "tidak penting" kasihan sekali dengan si B yang mau berepot-repot mengotori hatinya selama ini dengan asumsi-asumsi tentang "tidak penting". Karena toh si B tidak pernah bertanya pada “tidak penting” masalah-masalah di atas. Dia hanya berasumsi dan akhirnya menyebarkan asumsi itu kepada orang-orang lain, membuat semua orang punya persepsi keliru tentang si “tidak penting” bahkan ke orang baru.

Sebagai penjelasan untuk hal-hal di atas:
1. Si “tidak penting” sebenarnya tidak pernah minta uang ganti taksi ke kantor. Secara pribadi, “tidak penting” minta pada Bos untuk mengganti uang taksi dengan uang Bos pribadi, karena ia tahu, jika minta ke kantor pasti akan muncul polemik (terbukti kan?). Kalau akhirnya Bos reimburst ke kantor, itu di luar kehendak si “tidak penting”. Bukan karena si “tidak penting” tidak mau masuk ke ruang Keuangan. Hanya karena memang urusan uang taksi menurut “tidak penting” ia minta pada Bos secara pribadi. Yang akhirnya selalu membuat "tidak penting" kecewa saat ia diacungi form reimburst untuk ditandatangani, oleh Bos.

2. Suami “tidak penting” masuk dan berkantor di ruang direktur bukan karena suami “tidak penting” pengen jadi direktur. Tapi waktu itu karena semua meja penuh, dan Bos sendiri yang menawarkan untuk berbagi ruang. Jangan kira suami “tidak penting” bahagia dengan kondisi itu. Karena ia tahu, apa yang tampak, selalu diterjemahkan sebagai hal yang berbeda di kantor, tanpa usaha untuk klarifikasi pada yang bersangkutan.

3. Mengenai suara yang didengarkan, sebaiknya kita kembalikan ke duduk permasalahan. Seorang Bos tidak bodoh. Kalau bodoh ia tidak akan bisa dipercaya menjadi Bos. Jika ia mendengarkan “tidak penting” itu karena apa yang dibicarakan “tidak penting" logis dan masuk akal, dan didasari pada keinginan untuk melihat kondisi kantor yang lebih sehat. Jika akhirnya diterima sebagai bentuk pilih kasih Bos, itu karena B tidak mau susah-susah klarifikasi, hanya ngrasani di belakang, sehingga opini tidak terbentuk dengan objektif. Tanpa B tahu, Bos juga sering tidak sependapat dengan "tidak penting". Tapi hal itu tidak untuk diketahui semua orang, kan?

“Tidak penting” tahu soal ia tidak disukai B bahkan mungkin sejak 2006, meski alasan tidak sukanya itu tidak berhasil ditemukan (karena B memang tidak punya alasan kuat!). “Tidak penting” tadinya menganggap itu tidak perlu dipermasalahkan, karena rasa tidak suka itu manusiawi. Kita tidak bisa memaksakan hati. Tapi kalau hal itu diangkat ke orang lain, itu lain perkara. Apalagi jika alasannya tidak masuk akal. May God bless her.

“Tidak penting” sudah berusaha bersabar dengan tingkah B sejak lama. Jangan dikira jika suatu hal tidak diungkap, itu berarti karena “tidak penting” tidak tahu. Tapi itu karena “tidak penting” menganggap itu gak worth it, dan gak nganggu alur kerja. Jangan dikira pengetahuan “tidak penting” hanya berasal dari A saja. Karena seperti ungkapan klise yang sering kita dengar, “Dinding bisa punya telinga”. Dan banyak orang kantor yang dengan suka rela tanpa ditanya memberikan informasi mengenai topik pembicaraan B selama ini tentang “tidak penting”.

Tapi kalau melihat perilaku B, kelihatannya B bahkan tidak bisa membedakan masalah pribadi dengan masalah pekerjaan di kantor. Mau bukti?

Pekerjaan editing yang harusnya masuk ke “tidak penting” repot-repot dikerjakan sendiri oleh B karena ia tidak mau mencoba berkoordinasi dengan ”tidak penting” dengan risiko kemungkinan kesalahan, dan kerepotan. Itu bukan perilaku yang profesional, bukan?

Karena urusan kerjaan itu bukan “bantuan”. Tapi “kewajiban”. Jadi memang “tidak penting” wajib mengerjakan pekerjaan itu (jika ia tahu). Dan itu sebenarnya tidak akan mengganggu niatan untuk tetap "tidak penting berteman”. Jangan harap "tidak penting" meminta pekerjaan, karena urusan alur kerja, perpindahan job, itu tugas B. "Tidak penting" tidak bakal tahu keberadaan kerjaan jika tidak ada yang memberitahu. Tapi for the sake of professionalism, "tidak penting" tidak akan menolak job apapun yang masuk, meski itu datang dari orang yang membenci "tidak penting".

Mungkin ini memang tidak penting dibahas. Tapi kalau akhirnya jadi perpecahan, mungkin tradisi ngrasani sebaiknya dihapuskan. Mungkin yang ngrasani tidak merasa ia/mereka melakukannya. Tapi kalau kita membicarakan hal-hal tentang orang lain di belakang orang itu, namanya tetap ngrasani. Apalagi kalau akhirnya topik itu bisa didengar objek rasanan dan menimbulkan masalah tambahan.

Urusan kantor sebaiknya tetap jadi urusan kantor. Jangan dijadikan urusan pribadi. Kalau ada masalah dengan alur kerja di kantor, lakukan konfirmasi, bukan hanya mancing-mancing jawaban tanpa ketahuan background jelasnya.
Contohnya saat "tidak penting" berkali-kali ditanyai oleh orang berganti-ganti (dan sering diulang tanya lagi) masalah "sebenarnya ongkos taksi dari rumah ke kantor itu berapa sih?". "Tidak penting" tahu, para penanya pengen "tidak penting" terjerumus dan menjawab, (mungkin) "sepuluh ribu". Padahal selama ini klaim taksi yang masuk 50rb. Hmm ... mungkin para penanya itu sebaiknya sekali-kali ikut pulang "tidak penting" agak bisa membuktikan sendiri.

Mau tahu efek buruk dari hal di atas? Seperti di atas inilah salah satu efeknya.

Apa yang "tidak penting" tahu dari A, bukan penyebab terpecah-belahnya kantor, karena "tidak penting" sudah tahu hampir semua masalah yang dikatakan A jauh sebelum A mengatakan apapun. bahkan sampai sekarang pun ada hal-hal yang belum dikatakan A yang sudah "tidak penting" tahu. Tapi sejak awal "tidak penting" memang berusaha untuk tidak mengangkatnya.

Apa yang kemarin muncul di FB "tidak penting", itu hanya untuk kalangan "teman" si "tidak penting". Hanya ungkapan kemangkelan sesaat karena insight yang didapat secara tiba-tiba. Sebenarnya itu tidak akan mengubah bentuk (tanpa) hubungan antara "tidak penting" dengan B. Basa-basi masih bisa jalan terus, karena itu tidak berpengaruh apapun. Apapun yang B katakan, selama ini tidak pernah memberi pengaruh apalagi sampai mencederai "tidak penting". Hal di atas (mengenai ketidaksukaan B), tidak akan menjadi perkecualian.

Karena itu hanya lagu lama yang didendangkan penyanyi berbeda.