Kamis, 19 Mei 2011

Sedang Tidak Meng-Gelora .... (a view from Problem and Opportunity Strategy)


Sebagai salah satu pengguna jasa taksi yang lumayan rutin, aku agak-agak miris melihat nasib Gelora Taksi. Perusahaan taksi yang beroperasi di Solo ini berdirinya belum lama. Paling banter lima tahunan lah. Mungkin bahkan lebih muda lagi. Tapi sejauh ini opini negatif masyarakat sudah berkembang secara deret ukur, bukan deret hitung lagi. Padahal kalau melihat siapa-siapa saja pemiliknya, taksi ini adalah usaha resmi dan berbadan hukum milik pejabat dan pengusaha dengan citra positif di Solo.
Mengapa bisa begini?


Kalau aku lihat sih semua karena pengelolaan yang kurang rapi. Taksinya banyak yang agak-agak bau. Mungkin karena interiornya yang menggunakan bahan kain, ditambah driver-nya suka nongkrong di dalam menunggu tamu sambil ngerokok. Belum lagi citra yang terdengar di luaran, bahwa kebanyakan driver Gelora Taksi adalah preman-preman (entah apa itu maksudnya). Tapi yang jelas, perilaku mereka memang kebanyakan tukang maksa dan suka tidak tertib jika itu berkaitan dengan pemberlakuan tarif kepada tamu. Maksudnya?

Nah, sekarang kita bahas ke argometer deh. Argometer adalah sistem penagihan pembayaran yang sudah kita kenal secara umum diberlakukan pada jenis angkutan taksi yang didasarkan pada satu angka awal dikalikan jumlah kilometer yang ditempuh. Di Solo, argometer dimulai dari angka Rp 4500,-. Tapi khusus untuk Gelora Taksi, argometer memang (seringkali) tidak berlaku. Para driver lebih suka memberlakukan sistem tarif yang mereka patok seenak udel sendiri (mau tau seberapa enaknya udel driver Gelora Taksi? Silakan cicip dengan minta ijin yang punya). Dari pengalaman yang aku alami, Solo Grand Mall ke Karanganyar biasanya Rp 45.000 an (pakai argometer).

Nah, suatu saat aku pergi ke mal dengan si Bob. Karena hujan turun deras banget, kita asal minta panggilkan taksi ke customer service mal, tanpa pilih. Akhirnya datang deh satu taksi dan kami langsung naik. Di perjalanan, aku baru sadar kalau argometer-nya belum dipencet. Aku ingatkan dong pak driver-nya, secara dia nanti yang bakal rugi kalo mencetnya terlalu telat. Dan enak banget dia jawab, “Sudah biasanya kalau ke Karanganyar pakai tarif, Bu.” Lho, aku protes dong, “Biasa bagaimana? Aku hampir setiap hari naik taksi lho Pak. Dan selalu menggunakan patokan argo.” Si driver ngeyel. Terus aku tanya, “Memangnya tarif ke Karanganyar berapa?” dan dia jawab, “65ribu.” Glodhak. Lumayan nyebelin juga kan? Memang sih, uang segitu menurut dia tidak jauh-jauh amat bedanya (gundulmu pak). Tapi intinya kan itu agak-agak menjebak konsumen. Tapi karena hari hujan, dan aku juga menganggap agak salah kita juga, tidak ngecek dan pilih taksi sebelum naik, ya aku bayar sesuai permintaan dia. Tapi awas saja, kapok.

Pengalaman kakakku juga mirip tuh. Dari terminal Tirtonadi ke rumahku di Karanganyar, biasanya argometer bakal menerakan angka Rp 40rb-an. Tapi berhubung sudah malam, kakakku tidak bisa banyak pilih-pilih taksi, dan nurut saja diseret masuk ke Gelora Taksi yang mangkal di luar terminal. Lalu berapa angka yang diminta si driver? Rp 65rb. Dan cerita tentang argometer versi Gelora Taksi tidak bakal bisa dihentikan hanya sampai di sini. Sudah banyak yang mengalaminya.

Kisah menjengkelkan ini masih bisa dilanjutkan dengan kisah tentang armada Xenia mereka. Dengan argometer yang dimulai dari angka Rp 4750, driver Xenia biasanya masih minta tambahan tip yang agak-agak memaksa. Alasannya, kan mobil mereka muat orang untuk dua taksi. Jadi dihitung-hitung konsumen masih lebih untung meski ada tarif tambahan.

Dengan citra yang sudah semakin buruk, aku kasihan saja dengan pemegang mereknya, karena:
1. Apakah mereka tahu kinerja merek mereka sudah sedemikian buruk?
2. Apakah mereka tahu buruknya kinerja merek tersebut banyak dipengaruhi oleh layanan yang memang buruk?
3. Apakah mereka tahu jika kinerja merek yang buruk tidak segera ditangani bakal menjatuhkan merek itu di pasaran?
4. Apakah mereka tahu bagaimana cara menangani merek dengan kinerja yang mengecewakan?

Problem and Opportunity Strategy
Strategi beriklan ini diperkenalkan pertama kali oleh agency Batten, Bernbach, Durstine, and Osborn (BBDO). Intinya, perusahaan sebaiknya mencari permasalahan produk untuk dinetralisasi melalui iklan atau mencari peluang produk untuk dieksploitasi dalam periklanan. Selama masih ada sales resistance problem, mayoritas konsumen tidak akan mau membeli produk tersebut. Karena itu permasalahan harus diatasi oleh pabriknya (perusahaannya) maupun melalui periklanan. Strategi seperti ini baik diterapkan di periklanan produk yang: Memiliki sales resistance problem, dan problem tersebut masih bisa diperbaiki citranya.

Berarti langkah pemegang merek Gelora Taksi sebaiknya:
1. Mulai mendengarkan aspirasi dan masukan konsumen.
2. Memeriksa kebenaran masukan tersebut.
3. Memperbaiki kinerja produknya (jika memang menemukan kelemahan di tingkat operasional di lapangan).
4. Membuat kampanye periklanan untuk mengomunikasikan perbaikan-perbaikan yang sejauh ini sudah dilaksanakan.
5. Memastikan kampanye periklanannya sejalan dengan kinerja produk yang diperbaiki.
6. Menggunakan media yang tepat untuk menjangkau target audience komunikasi.

Ikut prihatin saja. Ingat kasus President Taxi yang sampai merasa harus mengganti namanya menjadi Prestasi karena layanan dan kinerja merek yang buruk. Dan betapa usaha penggantian merek itu menjadi sia-sia saat tetap tidak adanya komunikasi yang tepat setelah penggantian nama yang kemudian juga seharusnya diikuti dengan perbaikan layanan.

Salam iseng ^_^

Keluhan Seorang Korban Monster Lidah Buaya


"Ranger Transparan tidak berdaya menghadapi serangan monster Lidah Buaya. Mayday. Mayday. Mayday! perlu bantuan ke lokasi pertempuran. Segera!"

Teriakan ini sering banget beredar di wall status facebook-ku, atau di SMS yang saling aku kirim dengan teman-teman. Apa sih Monster Lidah Buaya? Seberapa berbahayakah dia? seberapa lebih sangar dibanding Cookie Monster? Inilah ceritanya ...

Aku gak ngerti, kenapa juga dulu jenis kain polyester diciptakan? kain ini kalo dipakai pas cuaca dingin, gak bisa bikin tubuh jadi hangat. Giliran digunakan saat cuaca panas, bikin badan serasa ada di dalam sauna. masih ditambah bonus pastinya juga tuh: bau ketek yang tiada tara. Jenis kain ini juga flamable. Berhubung bahan dasarnya plastik, jadinya gampang banget bereaksi dengan panas (api). jadi meski gak dibakar secara langsung, polyester cenderung mudah meleleh dan menunjukkan tanda-tanda terbakar saat berdekatan dengan api.

Nah, ketahuan banget kan, polyester sangat berbahaya.
Tapi perlu agak jujur juga, jenis kain ini cukup populer di tahun 90an. itu tuh, jenis kain yang waktu itu banyak disukai cewek-cewek karena kainnya yang gak gampang kusut. Waktu itu banyak disebut dengan "kain tisu". Cewek tahun 90an gak bakal ngerasa keren kalo belum pake baju dengan bahan dari polyester/tisu.

Kembali ke polyester vs udara panas ya ....
Baunya khas banget. Pernah nekat nyoba nyium daun lidah buaya? pasti pernah. ingat baunya kan? traumatik banget? yakin deh, seperti itu tuh bau polyester kalo sudah bergaul dengan kulit, ditaruh di suasana panas berkeringat. Coba saja selamatkan diri dengan guyuran parfum. gak bakal bisa berhasil. Bau ketek tetap bakal berkuasa. Dan baunya gak cukup slendhang-slendheng bikin penasaran. Bau ketek karena polyester biasanya langsung nyeruduk indera penciuman. membuat terpana, memualkan, memabukkan, sekaligus menyalakan internal alarm tubuh kita, bikin kita jadi memblokir segala macam bau-bauan selama setidaknya seperempat jam. Membuat kita pengen melakukan apapun untuk menyingkirkan si penyebab bau yang berkeliaran, mengumbar keteknya tanpa rasa dosa.

Siapa yang mengikuti kisah-kisah Superman? Superhero yang narsis (1. memanggil dirinya sendiri dengan sebutan "Super ..." 2. Pede banget pake celana dalem merah sebagai kostum. Mana dikombinasikan dengan legging biru lagi. eeew) ini beberapa kali muncul lemah karena berdekatan dengan batu kriptonit. Begitulah efek polyester buatku. Seperti kriptonit. Melemahkan. Membuatku membutuhkan liburan segera sebagai salah satu cara mengembalikan semangat yang sudah terlanjur terdegradasi secara semena-mena.*


*Sedang bersyukur seharian besok bisa berleha-leha di rumah memulihkan harga diri hidungku yang terlanjur ternodai.

Minggu, 15 Mei 2011

Tidak semua kesabaran membuahkan kebaikan


Chemistry adalah rasa sreg yang muncul dari dua pihak yang berbeda. Rasa yang biasanya mendasari kebersamaan indah ke depannya. Saat dua pihak saling suka, penjajakan akan dilakukan. Kita berusaha menemukan titik-titik penambah kedekatan. Kita juga menganalisis kemungkinan-kemungkinan perbedaan. Chemistry tidak bisa dipaksakan, dan aku sudah membuktikannya.
Ada satu masa, di mana aku terjebak untuk berusaha membuktikan positivitas yang aku punya atas nama chemistry yang aku kira ada. Tapi lama-lama mandek juga akhirnya. Bukankah jika atas nama chemistry, pembuktian harus dari dua pihak secara resiprokal? Berapa banyak lagi yang ia minta? Bukti apa lagi yang harus dilihat? Pengorbanan macam apa lagi yang harus dilakukan?
Jika awal keingindekatan adalah karena kepedulian, karena keinginan melihatnya mencapai kemajuan, ketimpangan ini sekarang sudah membawaku sampai di persimpangan. Apakah aku masih ingin menunjukkan kesetiaan, atau aku biarkan saja ia bertahan dalam kenaifan?
Sudahlah, bukan cuma dia yang bisa mengambil keputusan. Di tengah segala tuntutan pembuktian, aku menemukan beberapa ketidaksukaan, banyak ketidakmasukakalan, juga ketidakjujuran. Semoga banyaknya tuntutan yang dia minta bisa dipenuhi oleh entah siapa di luar sana. Good luck my friend. You'll need it indeed.