Minggu, 11 September 2011

Kemenangan talok melawan semen rama


Seharian membaca, meringkas, dan mengetik ulang tulisan-tulisan tentang filosofi batik membuat kepala pening dan badan menjeritkan kata “refreshing!” berkali-kali. Segala macam istilah dan pemaknaan mandala-tri buana-tri loka membuat mataku mengerjap-kerjap buyar. Motif dampar, burung, garuda, binatang darat, binatang laut, baito, pusaka, lidah api, meru, dan pohon hayat memukauku sekaligus menampar-nampar kecerdasan yang sudah melorot hingga ujung jurang.

Sementara rengekan Bob meminta ditemani pipis berkali-kali mampu membuat ketikanku kembali ke alam antah berantah. Belum lagi pancingan-pancingannya untuk meladeni bercanda, keluhannya karena aku yang berkali-kali menyuruhnya mengecilkan volume TV. Agak sore, waktu aku suruh tidur agar aku bisa memahami batik semen rama dengan tenang, si Bob justru merengek-rengek tak mau tenang. Segala cara dia lakukan untuk memveto keputusan tidur siang.

Akhirnya papanya menyuruhnya untuk mandi, dan setelahnya boleh berlatih sepeda (hal yang dari tadi sebenarnya ia minta). Habis mandi, giliran papanya yang ngadat tak mau menemani si Bob latihan sepeda. Halah, aku juga yang nemenin?

Akhirnya setelah dibujuk dengan kenyataan pileknya yang agak parah, si Bob mau menunda latihan sepeda, dengan ganti ia ingin main ke rumah budenya. Oke, aku antar ke sana.

Sayang, sepulang dari pintu belakang rumah Bude, aku justru sudah males banget mengais-ngais fakta tentang semen rama yang dari tadi pagi membuatku puyeng ini. Lalu aku berjalan ke halaman, dan mendapati dua pohon talok yang menaungi kiri dan kanan halaman, sudah kembali digayuti buah merah-merah berkilau manis.

Rasanya baru kemarin pagi aku meloncat-loncat memetiki buahnya. Ternyata si pohon tidak mau lama-lama mengecewakan yang punya, dan berusaha segenap cara memenuhi suplai warna merah di ujung-ujung tangkainya.

Aku juga merasa tak mau menyakiti hati si pohon. Kalau mereka sudah bersedia bersusah-payah mengeluarkan bulatan-bulatan manis itu di sana, bukankah seharusnya aku mau sedikit meluangkan tenaga untuk memetikinya?

Maka dengan sedikit berjingkat, aku petik bulir buah yang ada di jangkauan tinggiku yang 168 cm ini. Cuci dulu? No way. Enakan juga kalau langsung dikulum. Setelah yang terjangkau jinjitan lenyap terlibas perut, aku tambah sedikit upaya dengan menarik tangkai-tangkai yang ada di depan hidung. Aku raih, tarik, rengkuh. Dan segenggam talok kembali bisa menjadi bukti kemenanganku.

Buah kecil mungil seukuran kuku jempol tangan ini meski tidak segar dengan muncratan sari buah yang berlimpah, masih tetap menyimpan sensasi renyah dengan selipan biji halus yang kabarnya bisa ratusan butir per biji buah. Aromanya manis dan wangi dengan kulit buah yang merona berkilauan.

Talok yang waktu kecilku dulu di Magelang sangat akrab dengan sapaan nama kersen ini termasuk tanaman perdu yang bisa mencapai tinggi beberapa meter. Begitu pula yang ada di halaman rumah. Dengan usia yang baru sekitar empat tahun, bentuk dan kerindangannya menyerupai pohon beringin di tengah alun-alun kota. Daun pohon ini rimbun dengan warna hijau muda, dan terasa kesat berbulu saat diraba. Tebaran bunganya tak kenal musim. Pantas saja buahnya juga selalu bermunculan meski buah-buahan lain silih berganti menyapa di kios pedagang pinggir jalan.

Mengapa aku meributkan talok? Hhh, selain karena memang sedang butuh refreshing dari gempuran filosofi semen rama dan sida mukti yang memusingkan, aku juga baru saja merasakan manfaat tanaman talokku. Oke, bukan karena talok bisa mengobati asam urat ya ... karena memang aku tidak mengalami gangguan penyakit tersebut. Ini lebih karena saat aku meraih, menjangkau, menerpa, menerjang, meloncat mencoba memetik talok yang merah menggoda, aku merasakan dorongan untuk terus meregangkan tubuh. Tentu saja yang pertama menjadi sasaran adalah yang ada tepat di depan mata. Tapi begitu yang setinggi itu habis, aku menaikkan pandangan, dan meraih yang sejangkauan. Begitu tangan sudah tidak bisa meraih, giliran tubuh yang diulur dan kaki meloncat-loncat. Akhirnya kaki pun menyerah kalah. Maka aku memutuskan sudah saatnya tongkat dan kursi teras beraksi menopang energiku. Dan hasilnya? Lumayan. Selain rasa puas berhasil menggunduli pohonku, keringat juga bercucuran dan otot terasa dipekerjakan habis-habisan.

Pohon talokku, terima kasih. Sampai jumpa besok pagi ya :)

Kamis, 07 Juli 2011

"Beli Indonesia" akankah bertahan?


Apa sih bedanya gerakan "Beli Indonesia" dengan slogan dan gerakan yang dulu pernah di-hype-kan, "Aku Cinta Produk Indonesia"? Bukannya sama-sama meminta kesadaran masyarakat Indonesia untuk mencoba produk Indonesia dan kemudian diharapkan akan menggunakannya? Mengapa harus ada perubahan nama gerakan?

Kalau aku lihat dari persepsiku sih, gerakan seperti itu justru mengukuhkan kita dalam berperilaku khas bangsa yang pernah terjajah. Mengapa kita harus sebegitu takutnya bersaing dengan produk-produk luar negeri (yang biasanya diyakini sebagai produk negara yang lebih maju) jika kita yakin atas kualitas produk yang kita miliki? Kita justru tampak minder sehingga merasa harus menggalang persatuan di kalangan produsen dan konsumen untuk bisa sekata dalam melakukan konsumsi.

Aku tidak bisa membayangkan menggembar-gemborkan dan "memaksa" orang lain untuk seide dengan kita akan bisa mendongkrak konsumsi produk dalam negeri. Soalnya masalah konsumsi kan preferensi pribadi. Apa yang kita beli bisanya berdasarkan dari referensi positif yang kita miliki digabung dengan pengalaman pribadi. jadi pemaksaan slogan dan gerakan akan kurang mengena, dan aku khawatirkan hasil "Beli Indonesia" akhirnya akan tidak jauh berbeda dengan "Aku Cinta Produk Indonesia". Hanya sebatas slogan dan stiker yang ditempel di mana-mana.

Penciptaan citra yang bagus mengenai produk Indonesia (IMHO) tidak bisa dibangun dengan suatu gerakan. Kalau kita memang yakin atas produk yang kita hasilkan, mengapa kita tidak mengemas pemasarannya dengan cara yang lebih terstruktur dan disusun berdasar riset konsumen yang mendalam? Pemahaman yang mendalam tentang perilaku konsumen dan kemudian usaha untuk mendekati konsumen berdasar pemahaman tersebut biasanya akan lebih efektif dibanding memaksakan slogan yang kebanyakan orang tidak tahu atau tidak yakin akan korelasi positifnya dengan kenyataan di pasar.

Mulailah membuat strategi pemasaran yang consumer base. Jangan jadikan biaya sebagai alasan untuk meniadakan promosi karena tanpa ada promosi yang memadai, produk yang bagus tidak akan bisa terkomunikasikan dengan benar. Dan promosi pun bisa dirancang sesuai dengan budget yang ada.

Jadi, daripada "memaksa" konsumen untuk "Beli Indonesia", lebih baik yakinkan konsumen bahwa produk lokal memang layak untuk dibeli dengan menjaga mutu dan melakukan kombinasi tepat dari komponen-komponen promosi yang ada.

Kamis, 19 Mei 2011

Sedang Tidak Meng-Gelora .... (a view from Problem and Opportunity Strategy)


Sebagai salah satu pengguna jasa taksi yang lumayan rutin, aku agak-agak miris melihat nasib Gelora Taksi. Perusahaan taksi yang beroperasi di Solo ini berdirinya belum lama. Paling banter lima tahunan lah. Mungkin bahkan lebih muda lagi. Tapi sejauh ini opini negatif masyarakat sudah berkembang secara deret ukur, bukan deret hitung lagi. Padahal kalau melihat siapa-siapa saja pemiliknya, taksi ini adalah usaha resmi dan berbadan hukum milik pejabat dan pengusaha dengan citra positif di Solo.
Mengapa bisa begini?


Kalau aku lihat sih semua karena pengelolaan yang kurang rapi. Taksinya banyak yang agak-agak bau. Mungkin karena interiornya yang menggunakan bahan kain, ditambah driver-nya suka nongkrong di dalam menunggu tamu sambil ngerokok. Belum lagi citra yang terdengar di luaran, bahwa kebanyakan driver Gelora Taksi adalah preman-preman (entah apa itu maksudnya). Tapi yang jelas, perilaku mereka memang kebanyakan tukang maksa dan suka tidak tertib jika itu berkaitan dengan pemberlakuan tarif kepada tamu. Maksudnya?

Nah, sekarang kita bahas ke argometer deh. Argometer adalah sistem penagihan pembayaran yang sudah kita kenal secara umum diberlakukan pada jenis angkutan taksi yang didasarkan pada satu angka awal dikalikan jumlah kilometer yang ditempuh. Di Solo, argometer dimulai dari angka Rp 4500,-. Tapi khusus untuk Gelora Taksi, argometer memang (seringkali) tidak berlaku. Para driver lebih suka memberlakukan sistem tarif yang mereka patok seenak udel sendiri (mau tau seberapa enaknya udel driver Gelora Taksi? Silakan cicip dengan minta ijin yang punya). Dari pengalaman yang aku alami, Solo Grand Mall ke Karanganyar biasanya Rp 45.000 an (pakai argometer).

Nah, suatu saat aku pergi ke mal dengan si Bob. Karena hujan turun deras banget, kita asal minta panggilkan taksi ke customer service mal, tanpa pilih. Akhirnya datang deh satu taksi dan kami langsung naik. Di perjalanan, aku baru sadar kalau argometer-nya belum dipencet. Aku ingatkan dong pak driver-nya, secara dia nanti yang bakal rugi kalo mencetnya terlalu telat. Dan enak banget dia jawab, “Sudah biasanya kalau ke Karanganyar pakai tarif, Bu.” Lho, aku protes dong, “Biasa bagaimana? Aku hampir setiap hari naik taksi lho Pak. Dan selalu menggunakan patokan argo.” Si driver ngeyel. Terus aku tanya, “Memangnya tarif ke Karanganyar berapa?” dan dia jawab, “65ribu.” Glodhak. Lumayan nyebelin juga kan? Memang sih, uang segitu menurut dia tidak jauh-jauh amat bedanya (gundulmu pak). Tapi intinya kan itu agak-agak menjebak konsumen. Tapi karena hari hujan, dan aku juga menganggap agak salah kita juga, tidak ngecek dan pilih taksi sebelum naik, ya aku bayar sesuai permintaan dia. Tapi awas saja, kapok.

Pengalaman kakakku juga mirip tuh. Dari terminal Tirtonadi ke rumahku di Karanganyar, biasanya argometer bakal menerakan angka Rp 40rb-an. Tapi berhubung sudah malam, kakakku tidak bisa banyak pilih-pilih taksi, dan nurut saja diseret masuk ke Gelora Taksi yang mangkal di luar terminal. Lalu berapa angka yang diminta si driver? Rp 65rb. Dan cerita tentang argometer versi Gelora Taksi tidak bakal bisa dihentikan hanya sampai di sini. Sudah banyak yang mengalaminya.

Kisah menjengkelkan ini masih bisa dilanjutkan dengan kisah tentang armada Xenia mereka. Dengan argometer yang dimulai dari angka Rp 4750, driver Xenia biasanya masih minta tambahan tip yang agak-agak memaksa. Alasannya, kan mobil mereka muat orang untuk dua taksi. Jadi dihitung-hitung konsumen masih lebih untung meski ada tarif tambahan.

Dengan citra yang sudah semakin buruk, aku kasihan saja dengan pemegang mereknya, karena:
1. Apakah mereka tahu kinerja merek mereka sudah sedemikian buruk?
2. Apakah mereka tahu buruknya kinerja merek tersebut banyak dipengaruhi oleh layanan yang memang buruk?
3. Apakah mereka tahu jika kinerja merek yang buruk tidak segera ditangani bakal menjatuhkan merek itu di pasaran?
4. Apakah mereka tahu bagaimana cara menangani merek dengan kinerja yang mengecewakan?

Problem and Opportunity Strategy
Strategi beriklan ini diperkenalkan pertama kali oleh agency Batten, Bernbach, Durstine, and Osborn (BBDO). Intinya, perusahaan sebaiknya mencari permasalahan produk untuk dinetralisasi melalui iklan atau mencari peluang produk untuk dieksploitasi dalam periklanan. Selama masih ada sales resistance problem, mayoritas konsumen tidak akan mau membeli produk tersebut. Karena itu permasalahan harus diatasi oleh pabriknya (perusahaannya) maupun melalui periklanan. Strategi seperti ini baik diterapkan di periklanan produk yang: Memiliki sales resistance problem, dan problem tersebut masih bisa diperbaiki citranya.

Berarti langkah pemegang merek Gelora Taksi sebaiknya:
1. Mulai mendengarkan aspirasi dan masukan konsumen.
2. Memeriksa kebenaran masukan tersebut.
3. Memperbaiki kinerja produknya (jika memang menemukan kelemahan di tingkat operasional di lapangan).
4. Membuat kampanye periklanan untuk mengomunikasikan perbaikan-perbaikan yang sejauh ini sudah dilaksanakan.
5. Memastikan kampanye periklanannya sejalan dengan kinerja produk yang diperbaiki.
6. Menggunakan media yang tepat untuk menjangkau target audience komunikasi.

Ikut prihatin saja. Ingat kasus President Taxi yang sampai merasa harus mengganti namanya menjadi Prestasi karena layanan dan kinerja merek yang buruk. Dan betapa usaha penggantian merek itu menjadi sia-sia saat tetap tidak adanya komunikasi yang tepat setelah penggantian nama yang kemudian juga seharusnya diikuti dengan perbaikan layanan.

Salam iseng ^_^

Keluhan Seorang Korban Monster Lidah Buaya


"Ranger Transparan tidak berdaya menghadapi serangan monster Lidah Buaya. Mayday. Mayday. Mayday! perlu bantuan ke lokasi pertempuran. Segera!"

Teriakan ini sering banget beredar di wall status facebook-ku, atau di SMS yang saling aku kirim dengan teman-teman. Apa sih Monster Lidah Buaya? Seberapa berbahayakah dia? seberapa lebih sangar dibanding Cookie Monster? Inilah ceritanya ...

Aku gak ngerti, kenapa juga dulu jenis kain polyester diciptakan? kain ini kalo dipakai pas cuaca dingin, gak bisa bikin tubuh jadi hangat. Giliran digunakan saat cuaca panas, bikin badan serasa ada di dalam sauna. masih ditambah bonus pastinya juga tuh: bau ketek yang tiada tara. Jenis kain ini juga flamable. Berhubung bahan dasarnya plastik, jadinya gampang banget bereaksi dengan panas (api). jadi meski gak dibakar secara langsung, polyester cenderung mudah meleleh dan menunjukkan tanda-tanda terbakar saat berdekatan dengan api.

Nah, ketahuan banget kan, polyester sangat berbahaya.
Tapi perlu agak jujur juga, jenis kain ini cukup populer di tahun 90an. itu tuh, jenis kain yang waktu itu banyak disukai cewek-cewek karena kainnya yang gak gampang kusut. Waktu itu banyak disebut dengan "kain tisu". Cewek tahun 90an gak bakal ngerasa keren kalo belum pake baju dengan bahan dari polyester/tisu.

Kembali ke polyester vs udara panas ya ....
Baunya khas banget. Pernah nekat nyoba nyium daun lidah buaya? pasti pernah. ingat baunya kan? traumatik banget? yakin deh, seperti itu tuh bau polyester kalo sudah bergaul dengan kulit, ditaruh di suasana panas berkeringat. Coba saja selamatkan diri dengan guyuran parfum. gak bakal bisa berhasil. Bau ketek tetap bakal berkuasa. Dan baunya gak cukup slendhang-slendheng bikin penasaran. Bau ketek karena polyester biasanya langsung nyeruduk indera penciuman. membuat terpana, memualkan, memabukkan, sekaligus menyalakan internal alarm tubuh kita, bikin kita jadi memblokir segala macam bau-bauan selama setidaknya seperempat jam. Membuat kita pengen melakukan apapun untuk menyingkirkan si penyebab bau yang berkeliaran, mengumbar keteknya tanpa rasa dosa.

Siapa yang mengikuti kisah-kisah Superman? Superhero yang narsis (1. memanggil dirinya sendiri dengan sebutan "Super ..." 2. Pede banget pake celana dalem merah sebagai kostum. Mana dikombinasikan dengan legging biru lagi. eeew) ini beberapa kali muncul lemah karena berdekatan dengan batu kriptonit. Begitulah efek polyester buatku. Seperti kriptonit. Melemahkan. Membuatku membutuhkan liburan segera sebagai salah satu cara mengembalikan semangat yang sudah terlanjur terdegradasi secara semena-mena.*


*Sedang bersyukur seharian besok bisa berleha-leha di rumah memulihkan harga diri hidungku yang terlanjur ternodai.

Minggu, 15 Mei 2011

Tidak semua kesabaran membuahkan kebaikan


Chemistry adalah rasa sreg yang muncul dari dua pihak yang berbeda. Rasa yang biasanya mendasari kebersamaan indah ke depannya. Saat dua pihak saling suka, penjajakan akan dilakukan. Kita berusaha menemukan titik-titik penambah kedekatan. Kita juga menganalisis kemungkinan-kemungkinan perbedaan. Chemistry tidak bisa dipaksakan, dan aku sudah membuktikannya.
Ada satu masa, di mana aku terjebak untuk berusaha membuktikan positivitas yang aku punya atas nama chemistry yang aku kira ada. Tapi lama-lama mandek juga akhirnya. Bukankah jika atas nama chemistry, pembuktian harus dari dua pihak secara resiprokal? Berapa banyak lagi yang ia minta? Bukti apa lagi yang harus dilihat? Pengorbanan macam apa lagi yang harus dilakukan?
Jika awal keingindekatan adalah karena kepedulian, karena keinginan melihatnya mencapai kemajuan, ketimpangan ini sekarang sudah membawaku sampai di persimpangan. Apakah aku masih ingin menunjukkan kesetiaan, atau aku biarkan saja ia bertahan dalam kenaifan?
Sudahlah, bukan cuma dia yang bisa mengambil keputusan. Di tengah segala tuntutan pembuktian, aku menemukan beberapa ketidaksukaan, banyak ketidakmasukakalan, juga ketidakjujuran. Semoga banyaknya tuntutan yang dia minta bisa dipenuhi oleh entah siapa di luar sana. Good luck my friend. You'll need it indeed.

Minggu, 06 Februari 2011

Pekewuh Berkompetisi (?)


Berkali-kali ketemu dan ngobrol klien dan calon klien di Solo dan sekitarnya, bikin aku jadi punya satu hal yang bisa aku share di sini. Ini tentang ‘kompetisi’ dan ‘kompetitor’ ...

Apa karena sedang bicara pada orang-orang yang bertradisi Jawa Tengah yang penuh ewuh-pekewuh, maka kayaknya orang Solo sungkan banget untuk diajak memetakan kompetisi produk.

Contohnya nih jika ada pertanyaan:

1. Siapa sih target utama yang disasar pemegang merek?

2. Siapa yang dianggap sebagai kompetitor utama?

Untuk pertanyaan pertama, mereka akan mengurai target (target-target) market-nya yang biasanya meliputi segala sisi umur, SES, lokasi, pendidikan. Pokoknya untuk semua orang lah kalo bisa :).
Nah, begitu sampai ke pertanyaan kedua, mereka bakal berbalik, kalo gak pernah nganggep pihak mana pun sebagai kompetitor. “Kami pengennya menganggap mereka sebagai mitra.” Itu kan kontradiktif dengan kemauan menyasar target di semua lini. Kenapa bisa begitu?

Hmm, mengacu pada ‘kompetitor’ yang berkata dasar ‘kompetisi’, kata ini memang berkesan agresif sekali. Padahal agresivitas bukan budaya yang dianggap melekat pada orang Jawa Tengah yang penuh pekewuh. Jadi mencanangkan kompetisi pada pihak-pihak tertentu menjadi tabu karena berkesan sikut-sikutan.
Padahal kompetisi dan kompetitor kan gak harus selalu ditanggapi secara negatif. Soalnya, bagaimana kita bisa menjaring konsumen loyal jika kita tidak tahu pada siapa kita bicara dan siapa saja yang saat ini bicara pada mereka, kan?

Dunia pemasaran saat ini juga tidak menyarankan kompetisi langsung (head on), karena kompetisi secara langsung akan terasa melelahkan. Kompetisi langsung juga akan membuat kita kesulitan membangun merek. Mengapa begitu? Huh, boro-boro membangun merek, hidup kita akan sibuk saling panas dengan apapun yang bakal dilakukan kompetitor.

Itulah mengapa kita perlu sekali lagi memahami positioning: strategi mencari celah kosong di otak konsumen yang belum ditempati produk/merek apapun, agar produk/merek kita bisa masuk dan bertahan di sana.
Bagaimana cara kerja positioning? Tentu saja dengan memahami dulu siapa kompetitor kita. Setelah kita memahami kompetitor, kita bisa melihat target dan klaim mereka. Setelah itu, secara bodohnya, kita bisa mencari jalan lain ke hari konsumen. Jalan yang tidak bertumbukan dengan kompetitor. Kita bisa menempatkan merek kita di posisi yang belum tersentuh kompetitor. Pada akhirnya, kita bisa membuat konsumen mengenali merek kita jika disandingkan dengan kompetitor.

Soal akhirnya merek lain kita rangkul sebagai mitra, itu langkah lain. Tapi sebelumnya kita harus mengakui, bahwa kompetisi itu memang akan selalu ada sepanjang produksi dan merek berkisar di kebutuhan-kebutuhan manusia yang sama.

Minggu, 16 Januari 2011

Nongkrong di Oase-nya Solo


Beberapa hari yang lalu, aku berkesempatan mampir ke sebuah boutique hotel di Solo, Rumah Turi. Bukannya mau nginep lho, secara rumahku saja masih di lingkungan Subosukawonosraten. Yah, cuma ada janjian ketemu saja dengan kenalan.
Oke, bukan soal janjian dengan temanku yang bakal aku ceritain di sini. Karena ngerti banget kan, pasti isinya cuma ngobrol ngalor ngidul nggak jelas. Aku pengen ngobrolin Rumah Turi-nya.
Dilihat dari luar, hotel ini sudah kliatan asri banget. Dan sesuai namanya, ada beberapa pohon turi ditanam di depan. Masuk pertama, kita diajak ke area publik yang kalo di rumah Jawa pasti fungsinya bakal sama dengan pendhopo. Ruangannya terbuka (tanpa pintu, maksudku), dengan view ke taman yang didominasi tumbuhan jenis rumput-rumputan yang sempat aku kira padi ternyata tumbuhan akar wangi. Di atas tanaman akar wangi tersebut dibangun rigging terbuka. Untuk special occasion, ternyata area tersebut difungsikan sebagai panggung. Pemanfaatan ruang yang cerdas banget, kan?
Kembali ke ‘pendhopo’, ada beberapa set meja kursi di sono. Tempatnya nggak pernah benar-benar sepi, karena selama beberapa jam aku nongkrong, ada saja kelompok dan komunitas kecil yang ngobrol sambil menikmati minuman. Setelah tanya-tanya, ternyata Rumah Turi memang cuma menyediakan minuman dan menu sarapan serta snack. Hotel ini nggak neko-neko, karena pengoperasian pantry bisa dilakukan staf yang mana saja. Sedang jika punya resto, mereka musti siap dengan chef serta asisten-asistennya.
Puas nongkrong di ‘pendhopo’, aku diperbolehkan ngintip taman dan kamar (ada 3 tipe: standard, deluxe, suit). Taman Rumah Turi? Wow, fantastis. Tadi aku sudah cerita tentang space yang cukup luas berisi tanaman akar wangi. Nah, di pinggirannya, kamu masih bakal nemu area untuk rumput pendek rapi dan palung yang difungsikan sebagai kolam lengkap dengan teratai. Lalu jika kamu mampir ke Rumah Turi dan sempat naik tangga samping, kamu bakal diarahkan ke kebun di atas ‘pendhopo’. Isinya selain rumput, ada pohon-pohon ketimun dengan buah bergelantungan imut, trus ada juga pohon markisa (yang ini pas aku berkunjung belum berbuah), ada pohon cabe, sawi ... turi juga ada lagi di atas. Di bawah dek jembatan penghubung bangunan, ada lorong. Setelah aku tanyakan ke Pak Paulus owner hotel, ternyata lorong itu fungsinya untuk mengoperasikan jendela 'pendhopo'. Jadi yang tadi aku bilang “ruangan terbuka dengan view ke taman bla bla bla” ternyata bisa ditutup, dengan pengoperasian dari lorong ini. Eh, tanam-tanaman di kebun atas ini bukan cuma hiasan lho. Tapi hasilnya digunakan untuk garnish juga.
Puas dengan kebun, aku minta Yuli-butler supervisor Rumah Turi untuk melanjutkan ke kamar. Yah, secara fasilitas sih nggak jauh beda dengan hotel-hotel bintang 3. Ada kamar mandi pake shower, bed dengan penataan yang apik, tv, lemari, minibar, dll dll. Yang membuatku tertarik adalah bagaimana konsep green diterapkan sampai ke pilihan jenis kamar mandi (biar irit air, nggak pake bath up), temboknya yang memanfaatkan cuil-cuilan kayu, dan cat tembok luar yang menggunakan gerusan genteng.
Konsep green ini tidak berhenti sampai di situ saja. Aku salut dengan pemahaman yang dimiliki karyawan dalam perawatan gedung. Kayaknya konsep yang dimiliki owner, bisa ditransfer tanpa banyak distorsi sampai ke tingkat terbawah. Karena kalo buatku, green kan bukan cuma dari tampak luar dan bangunannya. Suasana dan penerapannya di keseharian akan memengaruhi kesuksesan implementasi konsep. Contohnya nih: tidak banyaknya jumlah karyawan di hotel ini. Dengan jumlah kamar (saat ini) yang 18 ruang dan halaman yang cukup rumit, Rumah Turi ‘cuma’ dijalankan oleh 16 karyawan. Itu karena mereka menerapkan bahwa semua orang harus bisa dan siap jadi butler jika dibutuhkan. Dan jangan kira bakal ketemu tampang bersungut-sungut atau hospitality standar hotel lho ya. Nggak ada tuh. Semua orang di sini ramah dan welcome ke tamu, baik itu tamu nginep atau tamu yang cuma ngerecokin macam aku :D. penerimaan mereka ke tamu juga ramah apa adanya, bukan yang mundhuk-mundhuk penuh polesan. Teman banget deh pokoknya.
Waktu itu aku yang datang dengan seorang teman, malah ngobrol santai dengan Pak Paulus, Yuli, dan Pak Aris GM Rumah Turi. Pulangnya, Bu Julia (istri Pak Paulus) yang sedang menerima tamu di meja lain malah sempat ikut mengantar sampai ke halaman.
Jadi alih-alih mendapat layanan copy paste hotel yang kerasa banget lipstik doang, di Rumah Turi, semuanya serba natural. Baik suasana, bangunan fisik, amupun keramahannya. Kalo bisa aku gambarkan, intinya penerapan sense of belonging di kalangan karyawannya pas banget.
Akhir kata, aku bilang sih hotel ini sangat mampu menerapkan sisi “Jawa” sebuah rumah tanpa harus menampakkan wujud fisik rumah Jawa. Lihat saja format layout bangunan yang masih menggunakan fungsi pendhopo, pringgitan, gandhok, dhimpil, dll. Itulah mengapa dari tadi aku nulis pendhopo aku beri tanda kutip. Habis, hotel ini menggunakan fungsi pendhopo, tapi tidak membangun bentuk pendhopo yang khas itu. Jadi ke-Jawa-an yang muncul di hotel ini lebih ke nilai intangible-nya, bahwa sebuah rumah harus membawa aura nyaman, bahwa kenyamanan bisa diciptakan jika kita “Jowo (paham)” kebutuhan orang lain (tamu), bahwa banyak tamu hotel yang merasa tidak nyaman dengan suasana hotel yang copy paste-maka mereka menciptakan hotel dengan suasana homey dan tenang.
Kalo aku musti nggambarin The Sunan Hotel Solo sesuai dengan namanya, justru suasana dan bangun seperti Rumah Turi ini lah yang sesuai. Suasana tranquil dan tenangnya "dunia antara" tergambar di sini. Serasa oase di tengah kota budaya yang semakin padat dan nggak sejuk ini.
Btw, wedang jahenya enak :D!!!

Untuk gambar hotelnya, aku memang nggak sempat motret, tapi dengan mudah bisa dilihat di sini kok:
http://www.rumahturi.com/index.html *

*Nggak kuat nahan diri untuk nguda rasa setelah menyerap keindahan.