Kamis, 05 Agustus 2010

Aku tidak suka Barbie, bisakah aku bikin anakku berpendapat sama?



Pulang kerja, aku dapat suguhan Rapunzel dan Aramina tergeletak telanjang tanpa daya. Oke, di mana pakaian mereka? Segera aku bongkar tumpukan barang-barang gak penting yang sudah diwanti-wantikan Bob untuk jangan dibuang (cuil-cuilan tisu, bungkus kado ulang tahun dia bulan lalu, potongan-potongan kayu, tiket bis kota, dan struk belanja lecek). Ada juga pakaian-pakaianku yang dipinjam Bob sebagai properti main peran-peranan.
Akhirnya pakaian Rapunzel dan Aramina bisa ketemu di balik bantal-bantal.

Fakta ini semakin bikin aku memikirkan kembali keputusan membelikan Bob boneka Barbie, meski alasan pembelian waktu itu bukan karena ketertarikannya pada sosok Barbie yang cantik, montok, dan berpakaian bagus. Bob begitu menginginkan Barbie (sampai minta dibelikan oleh pakdhenya dari Jakarta karena di Solo belum ada). Di sini Barbie berperan sebagai tokoh-tokoh dongeng favoritnya, Rapunzel dan salah satu anggota Three Musketeer versi Barbie, Aramina.
Tapi tetap saja, kepemilikan Barbie membuat anakku jadi punya keinginan untuk menelanjangi pakaiannya, mengagumi bentuk tubuhnya, dan mempertanyakan organ yang tak tampak. Bukan mainan yang aman untuk rasa ingin tahu anak kecil, aku rasa. Mengapa?

Now let’s talk about Barbie.
Aku dari dulu heran, apa sih magnet yang bikin Barbie jadi digandrungi di seluruh dunia? Tampang Barbie menurutku biasa saja. Cantik sih, tapi semua Barbie punya cetakan yang sama. Paling cuma warna rambut, warna kulit, dan warna make up yang dibedakan. Coba saja kalau kalian punya beberapa boneka itu dengan tema yang berbeda-beda. Ambil fotonya, lalu cetak BW. Pasti tampak kesupermiripannya masing-masing. Karakter Barbie cuma dimunculkan dari pakaiannya.
Nah, kalau begitu kita bicarakan pakaiannya deh. Barbie memang modis. Tapi kenapa sih banyak yang menggila-gilai pakaian yang ill fitting gitu? Bahannya seringkali terlalu kaku, jahitannya kasar, dan tidak pernah lengkap berpakaian hingga ke underwear.
Bagusnya pakaian Barbie menurut pengamatanku juga membuat anak-anak kecil cepat pengen dewasa. Mereka mendambakan pakaian dengan model yang serba terbuka dan pengekspos seksualitas. Apalagi sekarang banyak kontes-kontes berdandan mirip Barbie. Hallo, mereka masih anak kecil, sedang Barbie jelas-jelas boneka dengan payudara yang supergede untuk proporsinya.
Sekarang mari kita bahas proporsi tubuhnya …
Dalam sebuah artikel di International Journal of Eating Disorders terbitan tahun 1995 yang berjudul "Distorsi Realita untuk Anak-anak: Proporsi Ukuran Tubuh Boneka Barbie dan Ken”, K.D. Brownell dan Napolitano menggunakan ukuran pinggul sebagai konstanta, dan memperhitungkan perubahan yang diperlukan bagi perempuan dan pria dewasa muda yang sehat untuk mendapatkan proporsi tubuh yang sama dengan Barbie dan Ken.

Nah, perubahan yang diperlukan pada perempuan adalah penambahan tinggi sebanyak 60 cm, penambahan ukuran dada sebesar 12,5 cm dan penambahan panjang leher sebanyak 8 cm, sambil mengurangi ukuran pinggang sebesar 15 cm. Sedangkan pria membutuhkan penambahan tinggi sebanyak 50 cm, 27,5 cm pada dada, dan 19,75 cm pada lingkar leher. Jadi jika Barbie adalah perempuan di dunia nyata dengan tinggi awal 155 cm, maka tingginya bakal naik menjadi 215 cm dengan ukuran pinggang 55 cm dan leher yang melebihi panjang leher perempuan dari etnik Paudang-Thai. Sedangkan Ken akan bertinggi 230 cm, dengan ukuran pinggang 107,5 cm. Nggak realistis, ya?


Bekal seperti inilah yang bisa memberi persepsi tubuh yang keliru bagi gadis-gadis kecil kita. Tubuh ramping dengan lekuk-lekuk yang tepat di semua tempat, serta rambut panjang lebat. Padahal, tak semua orang dianugerahi proporsi tubuh yang bisa dibuat semirip Barbie. Satu langkah ke arah eating disorder, kan?

Barbie sejak dulu membawa citra feminin gender berkromosom X, hingga setiap orangtua akan mengarahkan referensi pada Barbie saat anak perempuan mungilnya minta boneka. Pembagiannya adalah: anak laki-laki dapat jatah boneka action figure, anak perempuan dapat Barbie. Kondisi bakal dianggap anomali dan mendapat cap tomboi jika ada anak perempuan yang ngutak-atik boneka action figure atau bahkan mainan kereta api, dan sebaliknya.

Sebaliknya, aku dan suamiku sejak dulu sepakat untuk tidak mengkotakkan gender pada saat anak kami masih balita. Pengkotakan gender adalah batasan yang ditetapkan orang dewasa. Hal ini jika diterapkan ke anak-anak bakal membatasi kreativitasnya. Baru saat dia mendapat pengaruh dari luar, maka penjelasan mengenai jenis kelamin kami rasa perlu diberikan. Hasilnya? Bob jadi lebih kreatif dalam memanfaatkan mainan-mainannya.
Untungnya ketertarikan Bob pada Barbie masih bisa kami batasi pada Barbie bertema khusus, sehingga ketertarikan dia karena kemampuan Mattel mewujudkan tokoh dongeng favoritnya menjadi boneka yang bisa ditimang, bukan pemujaan bentuk tubuh dan model pakaian yang tidak sesuai usia.

Minggu, 01 Agustus 2010

Saat bentuk tubuh, gender, dan pilihan seksualitas jadi ledekan


Tadi sore, di depan display baju tidur, seorang teman, A, mengacungkan selembar lingerie yang playful, dengan desain centil lengkap disertai renda-renda, pita, dan tentu saja tipis menerawang. Dia berkata ke aku, 'Mbak, coba pakai ini!' dan ketawa, '"Pasti kalo kamu pakai bakal keliatan kayak waria."

Oke. Tombol emosiku masuk mode ALERT.

Teman yang lain menyela, "Lho kok gitu?"

Si A dengan lagak tanpa dosa menjawab, "Ya, kan dia badannya gede gitu. Mana rambutnya pendek lagi. Hihihi!"

Tarik napas, tahan, lepaskan. Tarik napas, tahan, lepaskan. Tarik napas, tahan, lepaskan. Aku nggak boleh terpancing oleh line yang nggak educated itu. Baik, mungkin aku belum punya kesempatan mendidik mulut temanku satu itu. Tapi di sini aku ingin membicarakan beberapa hal:

1. Kenapa semua orang selalu menghakimi perempuan yang berambut pendek dan berbadan gede sebagai waria? Padahal jika mau mencoba ngecek lebih teliti, waria, karena mereka ingin sekali jadi perempuan, tidak bakal suka rela memangkas rambutnya menjadi pendek. Perempuan berambut pendek adalah perempuan yang sudah nyaman sekali dengan keperempuanannya, hingga bagi mereka ukuran rambut tidak akan mereka jadikan identitas keperempuanan. Hah, point of view baru, bukan?
2. Kalau kita membicarakan femininitas, sekali lagi aku tekankan, buatku femininitas sudah bukan saatnya ditunjukkan cuma lewat pakaian tipis melambai berjumbai-jumbai atau rambut panjang. Karena kadang identitas yang seperti itu rancu banget dengan sexiness. Dan keseksian, bukan kefemininan. Femininitas sebaiknya dimunculkan pada saat kita menghadapi situasi yang membutuhkan sifat itu. Bukan lewat dandanan fisik.
3. Rambut pendek bukan identik dengan laki-laki ataupun (sekali lagi) waria. Sejak kapan sih pemikiran itu muncul? Aku heran banget. Soalnya, kalau kita membicarakan tuntutan agama agar perempuan tidak berdandan seperti laki-laki, hmmm ... memangnya Nabi Muhammad dulu rambutnya pendek ya? Apa ada yang bisa menjamin? Soalnya jaman itu belum ada gunting lho.
4. Sekarang mari kita bicarakan masalah badan gede. Kalau aku boleh menggarisbawahi, temanku si A yang bicara tadi badannya bukan saja gede. Dia gendut, dengan huruf kapital. So, benernya aku tadi pengen ngajak dia ngaca. Look who’s talking?
5. Nah, setelah emosiku agak mengendap, aku pengen membahas tentang waria. Kenapa sih kita selalu memberi cap buruk pada mereka? Mengapa kita tidak bisa menerima mereka sebagai bagian dari masyarakat, meski mungkin secara agama memang mereka tidak diakui? Karena, mau diakui atau tidak, faktanya mereka ada, dan mereka merasa berbeda. Jadi bagiku, memperlakukan waria sebaiknya bukan sebagai olok-olokan. Terima saja keadaan ini seperti kita menerima perbedaan agama yang ada di dunia, lakum diinukum waliyadiin kan? Nah, berlakukan saja prinsip yang sama terhadap para waria. Selesai. Kita nggak terbebani, dan kita sendiri tidak menyinggung perasaan orang lain.
6. Jika kita membahas waria, rasanya belum tuntas kalau belum menyerempet ke homoseksualitas. Atau kalau dalam kasusku biasanya masalah lesbianisme. Aku straight (rasanya semua orang sudah tahu, meski dulu banyak yang ragu). Tapi itu bukan hal yang aku banggakan, meski juga bukan hal yang aku malukan. Biasa saja, karena buatku seperti waria, lesbianisme adalah dorongan hati. Kita tidak bisa menghakimi orang lain kalau itu kaitannya dengan dorongan hati, kan? Sisakan masalah surga dan neraka untuk urusan pribadi. Nah, mengenai lesbianisme ini, dulu aku sering juga dicap sebagai lesbian, hanya karena bentuk fisik, pilihan model rambut, dan jenis pakaian yang aku kenakan. TOLOL. Karena itu harusnya bukan urusan siapapun selain aku sendiri kan? Masalahnya, biasanya cewek-cewek bakal ketakutan jika tahu cewek X adalah lesbian. Kayak lesbian adalah penyakit menular saja. Kayak si lesbian bakal langsung naksir dan mengejar-ngejar cewek lain saja. Mengapa kita tidak bisa menilai para lesbian seperti kita menilai manusia pada umumnya? Toh mereka hanya akan naksir pribadi-pribadi yang ‘kena’ di hati mereka. Seperti para kita yang merasa straight memandang lawan jenis. kalau nggak naksir, nggak bakal ngelirik dua kali. Bukannya asal tomprok. Mau lesbian atau straight, setiap orang berhak dan harus dinilai achievement-nya. Jangan hanya berhenti di pilihan seksualnya.

Yang jadi pertanyaan bagiku adalah, mengapa di tengah masyarakat yang sudah modern ini perbedaan bentuk dan penampakan fisik masih jadi pembahasan yang menyebalkan? Mengapa pembicaraan di area ini biasanya menyerempet ke penghinaan dan pelecehan yang dikaitkan pada jenis kelamin tertentu atau pilihan seks tertentu? Mengapa orang tidak bisa menerima orang lain apa adanya, kalau itu kaitannya dengan bentuk fisik atau pilihan seks?