Senin, 28 April 2014

Berusaha menjawab tentang 'orgasme' ....

Barusan ada teman lama yang nge~chat di fb. (Sumpah, I was flattered) Dia cerita kalo rajin ngikutin postingan aku di wall status yang memang banyak banget ngoceh soal Bob anakku. Kata si teman, dia suka nge~save obrolan2ku dengan Bob, untuk bekal dia jawabin pertanyaan2 ajaib keponakannya.
Nah, terus teman ini cerita, kalo dia sempat mati gaya karena ditanyain keponakannya itu tentang arti kata 'orgasme', padahal keponakannya baru kelas 2 SD.

Nah lo!
Hihihi.

Temanku lalu tanya, enaknya jawabnya gimana tuh, karena tadi jawaban dia (her words, not mine) 'cetek banget'. Waktu itu si teman jawab, kalo yang namanya orgasme itu berarti 'perasaan seneng'.

Aku bilang, kalo aku yang kena apes dapat pertanyaan model gitu, aku bakal nanya dulu ke si anak (biasanya yg banyak tanya2 sih Bob ya ...)
1. kamu dapat kata itu dari mana? (baca, tv, nguping?)
2. konteks bahasannya waktu itu apa?
3. Sejauh mana kamu paham?
Nah, kalo sudah gitu, baru deh jawaban2 buat nomor 1, 2, 3, bisa dijadikan dasaran untuk ngejelasin.
Tapi gampangnya sih, aku bakalan ngajak dia untuk buka kamus, nyari kata 'orgasme' di sono. Menurut KBBI, 'orgasme' adalah 'puncak kenikmatan'.
Dari sini, aku bakal terangin, dengan tetap bawa ke basic moralitas: bahwa kalo orang sudah nikah itu ada perasaan bahagiaaaa banget (puncak bahagia, puncak nikmat), rasa bahagia ini biasanya cuma bisa didapat dan dirasakan orang yang sudah nikah. Jadi kalo kamu pengen tau 'orgasme', itu tunggu kamu nikah dulu, nanti baru tau. Sampai saat ini, umur ini, cukup segini dulu ya yang kamu tau. Nanti kalo masih penasaran, boleh tanya lagi pas umurmu sudah 15 tahun.
Hehehe ...

Ngejawab pertanyaan2 anak memang agak susah juga nemu formulanya. Karena tiap anak kan pemahamannya terhadap suatu fenomena berbeda2 tergantung kerangka persepsi dia.

Tapi rumus buatku sih, aku usahakan untuk ngasih penjelasan sejujur mungkin, sejelas mungkin, tapi juga segampang mungkin, sesuai dengan umur dia. Aku usahakan penjelasan dariku mencukupi, hingga anakku gak akan nyari penjelasan secara sembunyi2 dari tempat lain.

Pengalaman ini (tanya~jawab dengan teman tadi) bikin aku jadi menyadari, mengasuh anak itu adalah kenikmatan yang gak terganti. Kagetnya, stresnya, senengnya, semua jadi pengalaman sekali seumur hidup, karena umur anak tidak bisa diulang.

Rabu, 28 Agustus 2013

MINISET DAN SEX EDUCATION


(gambar diambil dari kidsinaustralia dot com dot au)


Morning rush hari ini mencakup:

Bangun jam 04.30, nyuci piring dan gelas bekas semalam, nyiapin minum dan sarapan (telur orak–arik) dan bekal (sandwich) Bob, nyiapin air mandi, bangunin buat sarapan dan belajar. Huaaah. 

Setelah Bob belajar dan sarapan, giliran nungguin mandi sambil nyiapin seragamnya. Nah, pas pakai baju, Bob setengah takut–takut bilang, “Boleh gak, kalo aku gak usah pakai miniset?”

Ups, apa ini? “Memangnya kenapa?”

Jawab Bob, “Kemarin, pas ganti baju olahraga si R bilang, ‘Ih, gengsi dong, pakai miniset.’ Aku malu, Ma ….”

Oke, hitung 1–5, mikir dulu, dan jawabku, “Lebih malu lagi kalo anak perempuan yang sudah mulai gede kok gak pakai miniset. Mama beliin dan minta Bob pakai miniset karena Mama sayang sama Bob, perhatian, dan gak pengen Bob nantinya malu.”

“Kenapa aku bisa malu? Si R malah bilang kalo pakai miniset itu malu.”

“gini ya Nak … anatomi atau bentuk badan anak perempuan itu berbeda dengan anak laki–laki, dan akan semakin tampak bedanya begitu kalian beranjak dewasa, contohnya bagian dada. Nah, yang beda itu harus ditutup, supaya tidak bikin penasaran yang lihat.”
Bob bengong mendengarkan.

Lanjutku, “Mungkin sekarang memang belum banyak temanmu yang pakai miniset, tapi Mama jamin deh, anak seumurmu memang sudah sebaiknya pakai. Kalo belum disarankan pakai, kenapa bisa pakaian dalam jenis miniset diciptakan? Namanya saja ‘mini’, berarti yang musti pakai adalah anak–anak mini atau kecil dong. Kalo yang musti pakai cuma anak besar, berarti harusnya langsung bra dong. Iya gak?” Bob ngangguk, jadi aku teruskan, “Biarkan saja kalo teman ngejek. Berarti teman Bob gak seberuntung Bob, punya Mama yang paham kebutuhan anak perempuannya. Oke?’

Yep, dari pengamatanku terhadap Bob dan teman–teman sekolahnya, ada beberapa catatan menarik nih:

  1. Bahwa sex education masih belum diterapkan di kebanyakan rumah tangga di lingkungan teman–teman Bob. Seks di sini bukan/belum tentang sexual intercourse ya, karena kita bicara tentang pengetahuan dini anak–anak. Tetapi lebih ke pemahaman tentang anatomi dan perbedaannya, serta bagaimana menyikapi perbedaan tersebut tanpa menyebabkan rasa risih serta sungkan. Coba saja, teman–teman Bob yang waktu kelas 2 kebanyakan sudah berumur 8 tahun, pada waktu olahraga renang masih dibiarkan saja oleh orangtua mereka untuk mandi bilas bersama–sama cowok dengan cewek, tanpa penutup badan apapun. Tetapi anak perempuan justru dibiarkan untuk merasa malu dan sungkan dengan keberadaan perangkat standar perempuan seperti miniset dan bra. 
  2. Anehnya, para orangtua malah membiarkan anak perempuannya untuk mulai mengenal cowok ke jenjang yang lebih tinggi dari pertemanan. Bukti? Dengan longgar anak–anak 8~9 tahun ini dibiarkan mulai membahas tentang ‘pacar’, ‘cowok terganteng di kelas’, ‘Coboy Junior yang paling ganteng’, dan menyanyikan lagu–lagu cinta.

Buatku hal ini aneh dan berbahaya. Bagaimana mereka bisa mulai belajar menjaga diri mereka dengan benar jika pengetahuan dasar belum diberikan, tetapi justru dibiarkan untuk mulai merambah ke area yang lebih advance seperti hubungan dengan lawan jenis ini?
(Sigh) Semoga aku bisa membimbing anakku dengan benar dengan dasar agama, logika, dan moral secara berimbang.

Selasa, 07 Februari 2012

Sabtu, 07 Januari 2012

Five Stages of Grief-Elizabeth Kubler-Ross


1. Denial/Pengingkaran

Pengingkaran adalah sebuah bentuk penolakan untuk menerima fakta, informasi, realitas, dll secara sadar ataupun tidak sadar, yang berhubungan dengan sebuah situasi. Ini adalah bentuk mekanisme pertahanan diri alami. Beberapa orang bisa terkurung dalam tahapan ini saat menghadapai perubahan traumatis yang memang tidak terelakkan.

2. Anger/Kemarahan

Kemarahan bisa mewujud dalam cara-cara yang berbeda-beda. Cara orang menghadapi kekesalan secara emosional bisa berupa marah terhadap diri sendiri dan/atau terhadap orang lain, khususnya pada orang yang dekat kepada dirinya. Memahami tahapan ini bisa membantu diri kita untuk memisahkan dan tidak menghakimi saat mengalami kemarahan.

3. Bargaining/Tawar-menawar

Biasanya, tahapan bargaining (tawar-menawar) saat orang menghadapi rasa duka bisa mencakup usaha untuk tawar-menawar dengan Tuhannya. Orang yang menghadapi trauma yang lebih ringan bisa tawar menawar atau bernegosiasi untuk mencari kompromi. Contoh: "apakah kita masih bisa berteman?" saat meghadapi putus cinta.

Ingat, tawar-menawar jarang bisa menghasilkan solusi yang berkelanjutan.


4. Depression/Depresi

Tahap ini juga dianggap sebagai masa persiapan menuju "penerimaan". Dalam satu cara, ini adalah bentuk latihan yang dijalani untuk menerima kenyataan. Satu bentuk "penerimaan" dengan emosi yang masih sangat terlibat. Bahwa memang natural untuk merasakan kesedihan dan penyesalan, ketakutan, ketidakpastian, dll. Ini menunjukkan bahwa si pelaku setidaknya mulai menerima kenyataan.


5. Acceptance/Penerimaan

Pada umumnya, tahapan ini adalah indikasi bahwa si pelaku sudah bisa memisahkan emosinya dan memandang kejadian secara objektif. Pertahankan tahapan ini, dan si pelaku akan bisa meneruskan hidupnya dengan lebih ringan.


Model ini mungkin adalah sebuah cara untuk menjelaskan mengenai bagaimana dan mengapa "waktu akan menyembuhkan luka", atau bahwa "kehidupan terus berjalan". Dan bersamaan dengan setiap aspek emosi yang kita miliki, saat kita mengetahui lebih jauh tentang tahapan apa yang sedang terjadi, maka menjalaninya akan menjadi lebih mudah.


"Grief cycle" tidak dimaksudkan sebagai tahapan-tahapan yang seragam. Urutannya bisa berbeda-beda, jangka waktu yang dialami masing-masing pelaku saat mengalami tiap tahap juga tidak sama. Model ini lebih merupakan sebuah panduan bagi pelaku untuk menjalani kedukaan yang mereka alami.

Grief cycle model ini bisa menjadi perspektif yang berguna untuk memahami reaksi emosional saat menghadapi trauma atau perubahan, dengan sebab-sebab yang yang sulit kita terima.


Extracted from: http://www.businessballs.com/elisabeth_kubler_ross_five_stages_of_grief.htm

Minggu, 11 September 2011

Kemenangan talok melawan semen rama


Seharian membaca, meringkas, dan mengetik ulang tulisan-tulisan tentang filosofi batik membuat kepala pening dan badan menjeritkan kata “refreshing!” berkali-kali. Segala macam istilah dan pemaknaan mandala-tri buana-tri loka membuat mataku mengerjap-kerjap buyar. Motif dampar, burung, garuda, binatang darat, binatang laut, baito, pusaka, lidah api, meru, dan pohon hayat memukauku sekaligus menampar-nampar kecerdasan yang sudah melorot hingga ujung jurang.

Sementara rengekan Bob meminta ditemani pipis berkali-kali mampu membuat ketikanku kembali ke alam antah berantah. Belum lagi pancingan-pancingannya untuk meladeni bercanda, keluhannya karena aku yang berkali-kali menyuruhnya mengecilkan volume TV. Agak sore, waktu aku suruh tidur agar aku bisa memahami batik semen rama dengan tenang, si Bob justru merengek-rengek tak mau tenang. Segala cara dia lakukan untuk memveto keputusan tidur siang.

Akhirnya papanya menyuruhnya untuk mandi, dan setelahnya boleh berlatih sepeda (hal yang dari tadi sebenarnya ia minta). Habis mandi, giliran papanya yang ngadat tak mau menemani si Bob latihan sepeda. Halah, aku juga yang nemenin?

Akhirnya setelah dibujuk dengan kenyataan pileknya yang agak parah, si Bob mau menunda latihan sepeda, dengan ganti ia ingin main ke rumah budenya. Oke, aku antar ke sana.

Sayang, sepulang dari pintu belakang rumah Bude, aku justru sudah males banget mengais-ngais fakta tentang semen rama yang dari tadi pagi membuatku puyeng ini. Lalu aku berjalan ke halaman, dan mendapati dua pohon talok yang menaungi kiri dan kanan halaman, sudah kembali digayuti buah merah-merah berkilau manis.

Rasanya baru kemarin pagi aku meloncat-loncat memetiki buahnya. Ternyata si pohon tidak mau lama-lama mengecewakan yang punya, dan berusaha segenap cara memenuhi suplai warna merah di ujung-ujung tangkainya.

Aku juga merasa tak mau menyakiti hati si pohon. Kalau mereka sudah bersedia bersusah-payah mengeluarkan bulatan-bulatan manis itu di sana, bukankah seharusnya aku mau sedikit meluangkan tenaga untuk memetikinya?

Maka dengan sedikit berjingkat, aku petik bulir buah yang ada di jangkauan tinggiku yang 168 cm ini. Cuci dulu? No way. Enakan juga kalau langsung dikulum. Setelah yang terjangkau jinjitan lenyap terlibas perut, aku tambah sedikit upaya dengan menarik tangkai-tangkai yang ada di depan hidung. Aku raih, tarik, rengkuh. Dan segenggam talok kembali bisa menjadi bukti kemenanganku.

Buah kecil mungil seukuran kuku jempol tangan ini meski tidak segar dengan muncratan sari buah yang berlimpah, masih tetap menyimpan sensasi renyah dengan selipan biji halus yang kabarnya bisa ratusan butir per biji buah. Aromanya manis dan wangi dengan kulit buah yang merona berkilauan.

Talok yang waktu kecilku dulu di Magelang sangat akrab dengan sapaan nama kersen ini termasuk tanaman perdu yang bisa mencapai tinggi beberapa meter. Begitu pula yang ada di halaman rumah. Dengan usia yang baru sekitar empat tahun, bentuk dan kerindangannya menyerupai pohon beringin di tengah alun-alun kota. Daun pohon ini rimbun dengan warna hijau muda, dan terasa kesat berbulu saat diraba. Tebaran bunganya tak kenal musim. Pantas saja buahnya juga selalu bermunculan meski buah-buahan lain silih berganti menyapa di kios pedagang pinggir jalan.

Mengapa aku meributkan talok? Hhh, selain karena memang sedang butuh refreshing dari gempuran filosofi semen rama dan sida mukti yang memusingkan, aku juga baru saja merasakan manfaat tanaman talokku. Oke, bukan karena talok bisa mengobati asam urat ya ... karena memang aku tidak mengalami gangguan penyakit tersebut. Ini lebih karena saat aku meraih, menjangkau, menerpa, menerjang, meloncat mencoba memetik talok yang merah menggoda, aku merasakan dorongan untuk terus meregangkan tubuh. Tentu saja yang pertama menjadi sasaran adalah yang ada tepat di depan mata. Tapi begitu yang setinggi itu habis, aku menaikkan pandangan, dan meraih yang sejangkauan. Begitu tangan sudah tidak bisa meraih, giliran tubuh yang diulur dan kaki meloncat-loncat. Akhirnya kaki pun menyerah kalah. Maka aku memutuskan sudah saatnya tongkat dan kursi teras beraksi menopang energiku. Dan hasilnya? Lumayan. Selain rasa puas berhasil menggunduli pohonku, keringat juga bercucuran dan otot terasa dipekerjakan habis-habisan.

Pohon talokku, terima kasih. Sampai jumpa besok pagi ya :)

Kamis, 07 Juli 2011

"Beli Indonesia" akankah bertahan?


Apa sih bedanya gerakan "Beli Indonesia" dengan slogan dan gerakan yang dulu pernah di-hype-kan, "Aku Cinta Produk Indonesia"? Bukannya sama-sama meminta kesadaran masyarakat Indonesia untuk mencoba produk Indonesia dan kemudian diharapkan akan menggunakannya? Mengapa harus ada perubahan nama gerakan?

Kalau aku lihat dari persepsiku sih, gerakan seperti itu justru mengukuhkan kita dalam berperilaku khas bangsa yang pernah terjajah. Mengapa kita harus sebegitu takutnya bersaing dengan produk-produk luar negeri (yang biasanya diyakini sebagai produk negara yang lebih maju) jika kita yakin atas kualitas produk yang kita miliki? Kita justru tampak minder sehingga merasa harus menggalang persatuan di kalangan produsen dan konsumen untuk bisa sekata dalam melakukan konsumsi.

Aku tidak bisa membayangkan menggembar-gemborkan dan "memaksa" orang lain untuk seide dengan kita akan bisa mendongkrak konsumsi produk dalam negeri. Soalnya masalah konsumsi kan preferensi pribadi. Apa yang kita beli bisanya berdasarkan dari referensi positif yang kita miliki digabung dengan pengalaman pribadi. jadi pemaksaan slogan dan gerakan akan kurang mengena, dan aku khawatirkan hasil "Beli Indonesia" akhirnya akan tidak jauh berbeda dengan "Aku Cinta Produk Indonesia". Hanya sebatas slogan dan stiker yang ditempel di mana-mana.

Penciptaan citra yang bagus mengenai produk Indonesia (IMHO) tidak bisa dibangun dengan suatu gerakan. Kalau kita memang yakin atas produk yang kita hasilkan, mengapa kita tidak mengemas pemasarannya dengan cara yang lebih terstruktur dan disusun berdasar riset konsumen yang mendalam? Pemahaman yang mendalam tentang perilaku konsumen dan kemudian usaha untuk mendekati konsumen berdasar pemahaman tersebut biasanya akan lebih efektif dibanding memaksakan slogan yang kebanyakan orang tidak tahu atau tidak yakin akan korelasi positifnya dengan kenyataan di pasar.

Mulailah membuat strategi pemasaran yang consumer base. Jangan jadikan biaya sebagai alasan untuk meniadakan promosi karena tanpa ada promosi yang memadai, produk yang bagus tidak akan bisa terkomunikasikan dengan benar. Dan promosi pun bisa dirancang sesuai dengan budget yang ada.

Jadi, daripada "memaksa" konsumen untuk "Beli Indonesia", lebih baik yakinkan konsumen bahwa produk lokal memang layak untuk dibeli dengan menjaga mutu dan melakukan kombinasi tepat dari komponen-komponen promosi yang ada.

Kamis, 19 Mei 2011

Sedang Tidak Meng-Gelora .... (a view from Problem and Opportunity Strategy)


Sebagai salah satu pengguna jasa taksi yang lumayan rutin, aku agak-agak miris melihat nasib Gelora Taksi. Perusahaan taksi yang beroperasi di Solo ini berdirinya belum lama. Paling banter lima tahunan lah. Mungkin bahkan lebih muda lagi. Tapi sejauh ini opini negatif masyarakat sudah berkembang secara deret ukur, bukan deret hitung lagi. Padahal kalau melihat siapa-siapa saja pemiliknya, taksi ini adalah usaha resmi dan berbadan hukum milik pejabat dan pengusaha dengan citra positif di Solo.
Mengapa bisa begini?


Kalau aku lihat sih semua karena pengelolaan yang kurang rapi. Taksinya banyak yang agak-agak bau. Mungkin karena interiornya yang menggunakan bahan kain, ditambah driver-nya suka nongkrong di dalam menunggu tamu sambil ngerokok. Belum lagi citra yang terdengar di luaran, bahwa kebanyakan driver Gelora Taksi adalah preman-preman (entah apa itu maksudnya). Tapi yang jelas, perilaku mereka memang kebanyakan tukang maksa dan suka tidak tertib jika itu berkaitan dengan pemberlakuan tarif kepada tamu. Maksudnya?

Nah, sekarang kita bahas ke argometer deh. Argometer adalah sistem penagihan pembayaran yang sudah kita kenal secara umum diberlakukan pada jenis angkutan taksi yang didasarkan pada satu angka awal dikalikan jumlah kilometer yang ditempuh. Di Solo, argometer dimulai dari angka Rp 4500,-. Tapi khusus untuk Gelora Taksi, argometer memang (seringkali) tidak berlaku. Para driver lebih suka memberlakukan sistem tarif yang mereka patok seenak udel sendiri (mau tau seberapa enaknya udel driver Gelora Taksi? Silakan cicip dengan minta ijin yang punya). Dari pengalaman yang aku alami, Solo Grand Mall ke Karanganyar biasanya Rp 45.000 an (pakai argometer).

Nah, suatu saat aku pergi ke mal dengan si Bob. Karena hujan turun deras banget, kita asal minta panggilkan taksi ke customer service mal, tanpa pilih. Akhirnya datang deh satu taksi dan kami langsung naik. Di perjalanan, aku baru sadar kalau argometer-nya belum dipencet. Aku ingatkan dong pak driver-nya, secara dia nanti yang bakal rugi kalo mencetnya terlalu telat. Dan enak banget dia jawab, “Sudah biasanya kalau ke Karanganyar pakai tarif, Bu.” Lho, aku protes dong, “Biasa bagaimana? Aku hampir setiap hari naik taksi lho Pak. Dan selalu menggunakan patokan argo.” Si driver ngeyel. Terus aku tanya, “Memangnya tarif ke Karanganyar berapa?” dan dia jawab, “65ribu.” Glodhak. Lumayan nyebelin juga kan? Memang sih, uang segitu menurut dia tidak jauh-jauh amat bedanya (gundulmu pak). Tapi intinya kan itu agak-agak menjebak konsumen. Tapi karena hari hujan, dan aku juga menganggap agak salah kita juga, tidak ngecek dan pilih taksi sebelum naik, ya aku bayar sesuai permintaan dia. Tapi awas saja, kapok.

Pengalaman kakakku juga mirip tuh. Dari terminal Tirtonadi ke rumahku di Karanganyar, biasanya argometer bakal menerakan angka Rp 40rb-an. Tapi berhubung sudah malam, kakakku tidak bisa banyak pilih-pilih taksi, dan nurut saja diseret masuk ke Gelora Taksi yang mangkal di luar terminal. Lalu berapa angka yang diminta si driver? Rp 65rb. Dan cerita tentang argometer versi Gelora Taksi tidak bakal bisa dihentikan hanya sampai di sini. Sudah banyak yang mengalaminya.

Kisah menjengkelkan ini masih bisa dilanjutkan dengan kisah tentang armada Xenia mereka. Dengan argometer yang dimulai dari angka Rp 4750, driver Xenia biasanya masih minta tambahan tip yang agak-agak memaksa. Alasannya, kan mobil mereka muat orang untuk dua taksi. Jadi dihitung-hitung konsumen masih lebih untung meski ada tarif tambahan.

Dengan citra yang sudah semakin buruk, aku kasihan saja dengan pemegang mereknya, karena:
1. Apakah mereka tahu kinerja merek mereka sudah sedemikian buruk?
2. Apakah mereka tahu buruknya kinerja merek tersebut banyak dipengaruhi oleh layanan yang memang buruk?
3. Apakah mereka tahu jika kinerja merek yang buruk tidak segera ditangani bakal menjatuhkan merek itu di pasaran?
4. Apakah mereka tahu bagaimana cara menangani merek dengan kinerja yang mengecewakan?

Problem and Opportunity Strategy
Strategi beriklan ini diperkenalkan pertama kali oleh agency Batten, Bernbach, Durstine, and Osborn (BBDO). Intinya, perusahaan sebaiknya mencari permasalahan produk untuk dinetralisasi melalui iklan atau mencari peluang produk untuk dieksploitasi dalam periklanan. Selama masih ada sales resistance problem, mayoritas konsumen tidak akan mau membeli produk tersebut. Karena itu permasalahan harus diatasi oleh pabriknya (perusahaannya) maupun melalui periklanan. Strategi seperti ini baik diterapkan di periklanan produk yang: Memiliki sales resistance problem, dan problem tersebut masih bisa diperbaiki citranya.

Berarti langkah pemegang merek Gelora Taksi sebaiknya:
1. Mulai mendengarkan aspirasi dan masukan konsumen.
2. Memeriksa kebenaran masukan tersebut.
3. Memperbaiki kinerja produknya (jika memang menemukan kelemahan di tingkat operasional di lapangan).
4. Membuat kampanye periklanan untuk mengomunikasikan perbaikan-perbaikan yang sejauh ini sudah dilaksanakan.
5. Memastikan kampanye periklanannya sejalan dengan kinerja produk yang diperbaiki.
6. Menggunakan media yang tepat untuk menjangkau target audience komunikasi.

Ikut prihatin saja. Ingat kasus President Taxi yang sampai merasa harus mengganti namanya menjadi Prestasi karena layanan dan kinerja merek yang buruk. Dan betapa usaha penggantian merek itu menjadi sia-sia saat tetap tidak adanya komunikasi yang tepat setelah penggantian nama yang kemudian juga seharusnya diikuti dengan perbaikan layanan.

Salam iseng ^_^