Tergelitik oleh postingan salah seorang blogger yang mempertanyakan “Keperawanan, Masihkah Jadi Harga Mutlak?”, aku kemarin mencoba jawab nulis di fitur reply-nya. Eh, ternyata ada sedikit hang yang malah bikin tulisanku hilang.
Baiklah, ini aku coba lagi tulis, tapi dengan media blog yang berbeda.
Keperawanan adalah bahasan yang selalu beredar. Mau kita bilang basi, nyatanya orang masih selalu memperbincangkan. Mau kita blow up, biasanya kaum perempuan akan menjadi pihak yang terugikan. Bagaimana tidak, hanya perempuan kok, yang bisa dituntut untuk berdarah-darah di malam pertamanya.
Kembali ke pertanyaan di atas, saat kita membahas tentang keperawanan, aku lebih senang jika mengelompokkan bahasan ke dalam empat dasar pemikiran. Masing-masing dasar pemikiran akan memengaruhi bagaimana cara kita memandang keperawanan itu sendiri.
1. Kesehatan
2. Agama
3. Sosial
4. Jender
Sebelumnya kayaknya perlu kita batasi dulu istilah keperawanan ini. Apakah benar yang namanya keperawanan adalah bahwa seorang gadis belum pernah “disentuh”, atau harus ada darah yang menitik sebagai buktinya?
Mengapa batasan ini penting? Karena sobeknya selaput dara adalah penyebab menitiknya darah. Sayangnya, bentuk, kelenturan, dan ketebalan selaput dara ini berbeda-beda untuk masing-masing orang. Sehingga semakin lentur, tebal, dan kuat si selaput dara, akan semakin mengurangi kesempatan organ tersebut akan rusak dan berdarah pada saat tersentuh.
Jadi di sini batasan keperawanan itu akan menjadi bias. Jika akhirnya kita kembalikan istilah keperawanan itu ke keadaan di mana seorang gadis belum pernah “disentuh” sebelumnya, maka keperawanan tidak bisa dibuktikan, karena yang tahu hanya si gadis itu sendiri.
Nah, kalau sudah begitu, terserah deh buat yang mau mengartikan, ke mana keperawanan akan dibawa untuk diartikan. Karena pembahasan ini akan aku bawa lebih jauh lagi.
1. Dari sisi kesehatan, yang dicemaskan dari hubungan seksual adalah kehamilan yang tidak diharapkan, dan atau penularan penyakit yang hanya bisa ditularkan lewat kontak seksual. Jika kita bisa melakukan pencegahan secara maksimal dan bertanggung jawab saat melakukan setiap hubungan seksual, maka KEPERAWANAN TIDAK JADI HARGA MUTLAK.
2. Membicarakan keperawanan dari sisi agama, akan membuat jawaban menjadi KEPERAWANAN MASIH JADI HARGA MUTLAK. Mengapa? Jelas, karena agama apapun, akan selalu menuntut peresmian secara agama sebelum pasangan laki-laki-perempuan bisa melakukan hubungan seks. Jadi jelas suami (pertama) si perempuan yang akan mendapatkan keperawanan. Jika si laki-laki percaya pada si perempuan, berdarah atau tidak, ia akan meyakini keperawanan pasangannya. Jadi sekali lagi, semua kembali pada kejujuran dan kepercayaan, serta niat baik bahwa pernikahan termasuk bentuk ibadah.
3. Sekarang mari kita bahas dari sisi sosial kemasyarakatan. Penilaian masyarakat didasarkan pada norma. Norma tidak membawa sanksi yang mengikat dan membebani. Norma itu sendiri terbentuk dari pandangan masing-masing individu yang menjadi anggota masyarakat, yang akhirnya menjadi konsensus bersama. Pengawasan pelaksanaan norma dilakukan oleh anggota masyarakat sendiri. Jadi sepanjang pelanggaran norma tidak diketahui anggota masyarakat, pelaku pelanggaran bisa melenggang bebas. Sanksi pelanggaran norma (biasanya) adalah pengucilan. Masalahnya, penerapan norma berbeda-beda di tiap kelompok masyarakat. Jadi untuk kasus keperawanan ini, KEMUTLAKAN ATAU KETIDAKMUTLAKAN SANGAT BERGANTUNG KEPADA MASYARAKAT MANA YANG MENERAPKAN.
4. Sekarang mari kita bawa pembahasan ke sisi gender. Dari sisi ini, KEPERAWANAN ADALAH MUTLAK milik perempuan. Keperawanan adalah atribut yang menempel bersamaan dengan atribut keperempuanannya. Terserah dia untuk memberikan kepada siapapun yang menurutnya pantas menerima. Kapan, alasan, kepada siapa keperawanan itu diberikan, tidak akan mengurangi nilai keperempuanan yang ia miliki, dan tidak akan mengurangi kualitas diri. Tolong bedakan kehilangan keperawanan dengan prostitusi.
Bagi aku sendiri, menjaga keperawanan hingga memasuki pernikahan aku lakukan bukan sebagai persembahan kepada suami. Hal tersebut aku lakukan karena aku takut akan mengalami penyesalan. Penyesalan yang seperti apa? Lihat saja keempat kriteria penilaian kemutlakan atau ketidakmutlakan keperawanan yang ada di atas.
Memandang keperawanan dari menetesnya darah hanya akan memarakkan bisnis operasi plastik pengembalian keperawanan. Maka kalau didesak lebih jauh, aku lebih suka mengupas keperawanan dari sisi gender. Karena di sini, berarti dunia mengakui kendali perempuan atas tubuhnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar