Di tengah masyarakat kita, mengaku kalau memiliki ego kadang dianggap tabu. Karena orang yang memiliki ego kadang dilekati dengan predikat egois. Maka orang berlomba-lomba ingin menutupi egonya. Padahal jika kita mau mengembalikan ke arti sebenarnya, ego memiliki beberapa artian yang mendekati positif.
e·go (kata benda)
1. ide seseorang mengenai nilai penting dirinya biasanya ini tentang tingkatan yang dianggap tepat.
2. pelebih-lebihan nilai diri dan rasa superioritas dibanding orang lain
3. Dalam psikologi aliran Freudian, ego adalah satu dari tiga bagian utama dalam pikiran manusia, yang mengandung kesadaran dan memori dan dipengaruhi oleh kontrol, perencanaan, dan konfirmasi terhadap realitas
4. Diri individual, yang secara jelas terpisah dari dunia luar dan orang lain. (terjemahan bebas dari World English Dictionary)
Artiannya tidak buruk-buruk amat, kan?
Nah, di bawah ini adalah dua kejadian yang menurutku tepat dijadikan contoh di mana ego bermain-main.
Ada seorang teman di agency lain yang marah-marah, saat ia melihat print ad yang ia buat, tiba-tiba sudah diubah-ubah copy-nya. Dan si teman saat itu disodori print ad yang sudah dipermak copy-nya, karena ia diminta untuk tambah memermak lagi.
Temanku menolak. Ia bilang, “Maaf, aku nggak bisa, karena gayanya sudah beda.”
Pernyataan yang menunjukkan tingginya ego temanku, kan? Ia tidak mau merevisi, karena ada orang lain yang sudah merevisi juga sebelumnya. Ada orang lain yang sudah mengobrak-abrik pekerjaannya.
Tapi jangan salah, aku juga bakal bereaksi sama jika dihadapkan di situasi serupa. Mengapa?
Bekerja di Creative perusahaan periklanan, saat menghadapi sebuah campaign, kita selalu mengadakan brainstorming. Di proses ini semua orang yang masuk ke dalam tim akan urun ide, habis itu saling bantai ide, hingga akhirnya keluar dari ruang brainstorming, bukan cuma puyeng kepala yang didapat, tapi setidaknya konsep matang sudah di tangan. Setelah itu, dikembalikan ke masing-masing art director dan copywriter untuk mengolah konsep yang disetujui tim. Nah, hasil itulah yang dijadikan bahan presentasi ke klien. Kalau pada saat internal presentation ada masukan, atau kritikan, atau perubahan, sampaikan saja ke si pembuat. Karena dengan logika yang tepat, pasti masukan, kritikan, dan perubahan itu akan menyempurnakan konsep yang dibuat.
Dalam kasus temanku, selagi dia gak di tempat, ada yang melakukan perubahan copy yang dia buat. Karena menurut si pelaku copy-nya kurang tepat. Setelah bos melihat hasil perubahan, bos datang ke temanku untuk merevisi copy hasil revisi gelap juga. Jadinya sudah tangan ke berapa tuh?
Nah, di sini lah temanku menetapkan garis. Ia tidak bersedia merevisi karena ia merasa itu sudah bukan hasil buatannya.
Mungkin akan lebih tepat, kalau si bos membentuk tim baru untuk memberikan ide pembanding. Tim mandiri yang lepas 100% dari tim awal dengan ide-ide yang segar.
Sekarang, kalo temanku mutung dan sudah gak mau terlibat dengan kerjaan itu lagi, siapa yang bisa disalahkan?
Ada satu kasus lain lagi. Dalam sebuah perusahaan periklanan, alur pengerjaan order adalah:
AE>Creative (AD &CW)>approval CD>AE>Klien
Nah, saat ada pekerjaan pembuatan buletin yang sudah ada materinya, AE langsung masuk ke Graphic Designer untuk membuatkan layout. Proses selanjutnya seharusnya adalah copy proofing untuk mengecek ejaan, penggalan, dan tata bahasa. Karena AE memiliki ketidaksukaan pribadi kepada CW, maka ia bertekad mengerjakan sendiri copy proofing tersebut. CW melihat si AE melakukan pekerjaan yang seharusnya ia lakukan, tapi ia diam saja. Ia biarkan si AE repot mengedit, karena toh memang request pengerjaan tidak pernah ia terima, secara lisan atau pun tertulis. Si AE tahu kalau CW tahu ada pekerjaan itu dan diam saja.
Akhirnya ada pihak lain yang menegur si AE bahwa bukannya itu seharusnya dikerjakan CW?
Dan apa jawaban AE? Katanya, ia mengerjakan sendiri pekerjaan itu karena CW tak mau bantu.
Di sini aku ingin bicara tentang ego. Tidak banyak orang yang mau mengakui ia memiliki ego yang besar. Tapi dalam kasus-kasus di atas, ego memang kadang perlu dimunculkan. Ini hubungannya erat dengan proses penciptaan sendiri.
Kasus 1.
Saat kita membuat sesuatu, maka kita memiliki gambaran jelas tentang latar belakang, proses, dan tujuan pembuatannya. Saat orang lain memutus proses itu di belakang kita, apa dia mempertimbangkan latar belakang, proses, dan tujuan yang kita ambil? Apalagi seperti kasus teman itu, perubahannya di saat ia sedang tidak ada di tempat. Jadi bagiku sah-sah saja buat teman untuk memutuskan mundur dari tim campaign tersebut. Ia mempersilakan bosnya untuk menyelesaikan campaign itu tanpa keikutsertaan temanku itu.
Kasus 2.
Di kasus 2, ada 2 ego yang berkeliaran. Ego pertama muncul dari si CW yang keras kepala tak mau ikut copy proofing karena tidak ada request lisan/tertulis. Ego kedua muncul saat AE tahu bahwa CW tahu ia mengedit sendiri, sehingga itu membuahkan cap si CW tak mau bantu. Di sini, sudah jelas, mana telurnya mana ayamnya. Sehingga awal mula keruwetan bisa ditelusuri dengan mudah.
Ada ego yang dengan bangga dipertahankan. Ada ego yang bisa ditekan jika dipancing dengan sikap yang tepat. Ada pula ego yang sebaiknya dibuang karena menghambat pekerjaan.
e·go (kata benda)
1. ide seseorang mengenai nilai penting dirinya biasanya ini tentang tingkatan yang dianggap tepat.
2. pelebih-lebihan nilai diri dan rasa superioritas dibanding orang lain
3. Dalam psikologi aliran Freudian, ego adalah satu dari tiga bagian utama dalam pikiran manusia, yang mengandung kesadaran dan memori dan dipengaruhi oleh kontrol, perencanaan, dan konfirmasi terhadap realitas
4. Diri individual, yang secara jelas terpisah dari dunia luar dan orang lain. (terjemahan bebas dari World English Dictionary)
Artiannya tidak buruk-buruk amat, kan?
Nah, di bawah ini adalah dua kejadian yang menurutku tepat dijadikan contoh di mana ego bermain-main.
Ada seorang teman di agency lain yang marah-marah, saat ia melihat print ad yang ia buat, tiba-tiba sudah diubah-ubah copy-nya. Dan si teman saat itu disodori print ad yang sudah dipermak copy-nya, karena ia diminta untuk tambah memermak lagi.
Temanku menolak. Ia bilang, “Maaf, aku nggak bisa, karena gayanya sudah beda.”
Pernyataan yang menunjukkan tingginya ego temanku, kan? Ia tidak mau merevisi, karena ada orang lain yang sudah merevisi juga sebelumnya. Ada orang lain yang sudah mengobrak-abrik pekerjaannya.
Tapi jangan salah, aku juga bakal bereaksi sama jika dihadapkan di situasi serupa. Mengapa?
Bekerja di Creative perusahaan periklanan, saat menghadapi sebuah campaign, kita selalu mengadakan brainstorming. Di proses ini semua orang yang masuk ke dalam tim akan urun ide, habis itu saling bantai ide, hingga akhirnya keluar dari ruang brainstorming, bukan cuma puyeng kepala yang didapat, tapi setidaknya konsep matang sudah di tangan. Setelah itu, dikembalikan ke masing-masing art director dan copywriter untuk mengolah konsep yang disetujui tim. Nah, hasil itulah yang dijadikan bahan presentasi ke klien. Kalau pada saat internal presentation ada masukan, atau kritikan, atau perubahan, sampaikan saja ke si pembuat. Karena dengan logika yang tepat, pasti masukan, kritikan, dan perubahan itu akan menyempurnakan konsep yang dibuat.
Dalam kasus temanku, selagi dia gak di tempat, ada yang melakukan perubahan copy yang dia buat. Karena menurut si pelaku copy-nya kurang tepat. Setelah bos melihat hasil perubahan, bos datang ke temanku untuk merevisi copy hasil revisi gelap juga. Jadinya sudah tangan ke berapa tuh?
Nah, di sini lah temanku menetapkan garis. Ia tidak bersedia merevisi karena ia merasa itu sudah bukan hasil buatannya.
Mungkin akan lebih tepat, kalau si bos membentuk tim baru untuk memberikan ide pembanding. Tim mandiri yang lepas 100% dari tim awal dengan ide-ide yang segar.
Sekarang, kalo temanku mutung dan sudah gak mau terlibat dengan kerjaan itu lagi, siapa yang bisa disalahkan?
Ada satu kasus lain lagi. Dalam sebuah perusahaan periklanan, alur pengerjaan order adalah:
AE>Creative (AD &CW)>approval CD>AE>Klien
Nah, saat ada pekerjaan pembuatan buletin yang sudah ada materinya, AE langsung masuk ke Graphic Designer untuk membuatkan layout. Proses selanjutnya seharusnya adalah copy proofing untuk mengecek ejaan, penggalan, dan tata bahasa. Karena AE memiliki ketidaksukaan pribadi kepada CW, maka ia bertekad mengerjakan sendiri copy proofing tersebut. CW melihat si AE melakukan pekerjaan yang seharusnya ia lakukan, tapi ia diam saja. Ia biarkan si AE repot mengedit, karena toh memang request pengerjaan tidak pernah ia terima, secara lisan atau pun tertulis. Si AE tahu kalau CW tahu ada pekerjaan itu dan diam saja.
Akhirnya ada pihak lain yang menegur si AE bahwa bukannya itu seharusnya dikerjakan CW?
Dan apa jawaban AE? Katanya, ia mengerjakan sendiri pekerjaan itu karena CW tak mau bantu.
Di sini aku ingin bicara tentang ego. Tidak banyak orang yang mau mengakui ia memiliki ego yang besar. Tapi dalam kasus-kasus di atas, ego memang kadang perlu dimunculkan. Ini hubungannya erat dengan proses penciptaan sendiri.
Kasus 1.
Saat kita membuat sesuatu, maka kita memiliki gambaran jelas tentang latar belakang, proses, dan tujuan pembuatannya. Saat orang lain memutus proses itu di belakang kita, apa dia mempertimbangkan latar belakang, proses, dan tujuan yang kita ambil? Apalagi seperti kasus teman itu, perubahannya di saat ia sedang tidak ada di tempat. Jadi bagiku sah-sah saja buat teman untuk memutuskan mundur dari tim campaign tersebut. Ia mempersilakan bosnya untuk menyelesaikan campaign itu tanpa keikutsertaan temanku itu.
Kasus 2.
Di kasus 2, ada 2 ego yang berkeliaran. Ego pertama muncul dari si CW yang keras kepala tak mau ikut copy proofing karena tidak ada request lisan/tertulis. Ego kedua muncul saat AE tahu bahwa CW tahu ia mengedit sendiri, sehingga itu membuahkan cap si CW tak mau bantu. Di sini, sudah jelas, mana telurnya mana ayamnya. Sehingga awal mula keruwetan bisa ditelusuri dengan mudah.
Ada ego yang dengan bangga dipertahankan. Ada ego yang bisa ditekan jika dipancing dengan sikap yang tepat. Ada pula ego yang sebaiknya dibuang karena menghambat pekerjaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar