Kamis, 04 November 2010

Saat hal "tidak penting" tiba-tiba menjadi urusan penting


“Kenapa sih kamu gak temenan dengan dia di Facebook?” tanya si A
Si B menjawab, “Wah, buatku tidak penting berteman dengan dia.”

Itu diucapkan si B tentang teman sekantornya, padahal semua teman sekantor ada di friends list-nya. Jadi buat si B, hanya satu orang itu saja yang “tidak penting”. Padahal, kalau boleh mengingatkan, bahkan tahu tentang Facebook saja dia kenalnya dari si “tidak penting”. Tahu tentang Friendster juga dari "tidak penting”. Jadi “tidak penting" ternyata memberi informasi dan pengetahuan yang penting kan?

Sekarang, begitu si “tidak penting” tahu alasan dia di-remove dari FB si B (meski fakta ter-remove sudah tahu sejak April 2009), dan berkata bahwa “ra kekancan ra patheken”, si B kebingungan sendiri dan bikin apologi bahwa alasan dia tidak berteman dengan “tidak penting” di FB karena “ingin meminimize bentrokan dan cara pandang yang berbeda”.

Hmm ... sekali lagi, itu hanya apologi. Karena toh seluruh orang kantor juga gak bakal punya pandangan yang sama. Kenapa juga hanya satu orang (dan suaminya) yang dia remove? Apa karena si "tidak penting” dulu beberapa kali minta uang taksi sebagai pengganti transpor lembur? Atau karena suami si tidak penting ‘masuk’ ke ruang direktur dan berkantor di sana? Atau karena si “tidak penting” menurut si B tidak mau masuk ke ruang Keuangan? Atau karena suara “tidak penting” yang sering didengarkan Bos, dan Bos bertindak mempertimbangkan pendapat “tidak penting” yang menurut si B itu sebagai bentuk pilih kasih Bos?

Kalau memang itu alasannya, "tidak penting" kasihan sekali dengan si B yang mau berepot-repot mengotori hatinya selama ini dengan asumsi-asumsi tentang "tidak penting". Karena toh si B tidak pernah bertanya pada “tidak penting” masalah-masalah di atas. Dia hanya berasumsi dan akhirnya menyebarkan asumsi itu kepada orang-orang lain, membuat semua orang punya persepsi keliru tentang si “tidak penting” bahkan ke orang baru.

Sebagai penjelasan untuk hal-hal di atas:
1. Si “tidak penting” sebenarnya tidak pernah minta uang ganti taksi ke kantor. Secara pribadi, “tidak penting” minta pada Bos untuk mengganti uang taksi dengan uang Bos pribadi, karena ia tahu, jika minta ke kantor pasti akan muncul polemik (terbukti kan?). Kalau akhirnya Bos reimburst ke kantor, itu di luar kehendak si “tidak penting”. Bukan karena si “tidak penting” tidak mau masuk ke ruang Keuangan. Hanya karena memang urusan uang taksi menurut “tidak penting” ia minta pada Bos secara pribadi. Yang akhirnya selalu membuat "tidak penting" kecewa saat ia diacungi form reimburst untuk ditandatangani, oleh Bos.

2. Suami “tidak penting” masuk dan berkantor di ruang direktur bukan karena suami “tidak penting” pengen jadi direktur. Tapi waktu itu karena semua meja penuh, dan Bos sendiri yang menawarkan untuk berbagi ruang. Jangan kira suami “tidak penting” bahagia dengan kondisi itu. Karena ia tahu, apa yang tampak, selalu diterjemahkan sebagai hal yang berbeda di kantor, tanpa usaha untuk klarifikasi pada yang bersangkutan.

3. Mengenai suara yang didengarkan, sebaiknya kita kembalikan ke duduk permasalahan. Seorang Bos tidak bodoh. Kalau bodoh ia tidak akan bisa dipercaya menjadi Bos. Jika ia mendengarkan “tidak penting” itu karena apa yang dibicarakan “tidak penting" logis dan masuk akal, dan didasari pada keinginan untuk melihat kondisi kantor yang lebih sehat. Jika akhirnya diterima sebagai bentuk pilih kasih Bos, itu karena B tidak mau susah-susah klarifikasi, hanya ngrasani di belakang, sehingga opini tidak terbentuk dengan objektif. Tanpa B tahu, Bos juga sering tidak sependapat dengan "tidak penting". Tapi hal itu tidak untuk diketahui semua orang, kan?

“Tidak penting” tahu soal ia tidak disukai B bahkan mungkin sejak 2006, meski alasan tidak sukanya itu tidak berhasil ditemukan (karena B memang tidak punya alasan kuat!). “Tidak penting” tadinya menganggap itu tidak perlu dipermasalahkan, karena rasa tidak suka itu manusiawi. Kita tidak bisa memaksakan hati. Tapi kalau hal itu diangkat ke orang lain, itu lain perkara. Apalagi jika alasannya tidak masuk akal. May God bless her.

“Tidak penting” sudah berusaha bersabar dengan tingkah B sejak lama. Jangan dikira jika suatu hal tidak diungkap, itu berarti karena “tidak penting” tidak tahu. Tapi itu karena “tidak penting” menganggap itu gak worth it, dan gak nganggu alur kerja. Jangan dikira pengetahuan “tidak penting” hanya berasal dari A saja. Karena seperti ungkapan klise yang sering kita dengar, “Dinding bisa punya telinga”. Dan banyak orang kantor yang dengan suka rela tanpa ditanya memberikan informasi mengenai topik pembicaraan B selama ini tentang “tidak penting”.

Tapi kalau melihat perilaku B, kelihatannya B bahkan tidak bisa membedakan masalah pribadi dengan masalah pekerjaan di kantor. Mau bukti?

Pekerjaan editing yang harusnya masuk ke “tidak penting” repot-repot dikerjakan sendiri oleh B karena ia tidak mau mencoba berkoordinasi dengan ”tidak penting” dengan risiko kemungkinan kesalahan, dan kerepotan. Itu bukan perilaku yang profesional, bukan?

Karena urusan kerjaan itu bukan “bantuan”. Tapi “kewajiban”. Jadi memang “tidak penting” wajib mengerjakan pekerjaan itu (jika ia tahu). Dan itu sebenarnya tidak akan mengganggu niatan untuk tetap "tidak penting berteman”. Jangan harap "tidak penting" meminta pekerjaan, karena urusan alur kerja, perpindahan job, itu tugas B. "Tidak penting" tidak bakal tahu keberadaan kerjaan jika tidak ada yang memberitahu. Tapi for the sake of professionalism, "tidak penting" tidak akan menolak job apapun yang masuk, meski itu datang dari orang yang membenci "tidak penting".

Mungkin ini memang tidak penting dibahas. Tapi kalau akhirnya jadi perpecahan, mungkin tradisi ngrasani sebaiknya dihapuskan. Mungkin yang ngrasani tidak merasa ia/mereka melakukannya. Tapi kalau kita membicarakan hal-hal tentang orang lain di belakang orang itu, namanya tetap ngrasani. Apalagi kalau akhirnya topik itu bisa didengar objek rasanan dan menimbulkan masalah tambahan.

Urusan kantor sebaiknya tetap jadi urusan kantor. Jangan dijadikan urusan pribadi. Kalau ada masalah dengan alur kerja di kantor, lakukan konfirmasi, bukan hanya mancing-mancing jawaban tanpa ketahuan background jelasnya.
Contohnya saat "tidak penting" berkali-kali ditanyai oleh orang berganti-ganti (dan sering diulang tanya lagi) masalah "sebenarnya ongkos taksi dari rumah ke kantor itu berapa sih?". "Tidak penting" tahu, para penanya pengen "tidak penting" terjerumus dan menjawab, (mungkin) "sepuluh ribu". Padahal selama ini klaim taksi yang masuk 50rb. Hmm ... mungkin para penanya itu sebaiknya sekali-kali ikut pulang "tidak penting" agak bisa membuktikan sendiri.

Mau tahu efek buruk dari hal di atas? Seperti di atas inilah salah satu efeknya.

Apa yang "tidak penting" tahu dari A, bukan penyebab terpecah-belahnya kantor, karena "tidak penting" sudah tahu hampir semua masalah yang dikatakan A jauh sebelum A mengatakan apapun. bahkan sampai sekarang pun ada hal-hal yang belum dikatakan A yang sudah "tidak penting" tahu. Tapi sejak awal "tidak penting" memang berusaha untuk tidak mengangkatnya.

Apa yang kemarin muncul di FB "tidak penting", itu hanya untuk kalangan "teman" si "tidak penting". Hanya ungkapan kemangkelan sesaat karena insight yang didapat secara tiba-tiba. Sebenarnya itu tidak akan mengubah bentuk (tanpa) hubungan antara "tidak penting" dengan B. Basa-basi masih bisa jalan terus, karena itu tidak berpengaruh apapun. Apapun yang B katakan, selama ini tidak pernah memberi pengaruh apalagi sampai mencederai "tidak penting". Hal di atas (mengenai ketidaksukaan B), tidak akan menjadi perkecualian.

Karena itu hanya lagu lama yang didendangkan penyanyi berbeda.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar