Kalau pertanyaan itu ditanyakan pada aku saat ini, maka jelas jawabanku adalah: TENTU SAJA, STAT! URGENT!
Aku ingat, beberapa hari yang lalu si Bob yang baru 5 tahun komplen, “Kok aku disuruh-suruh terus, diatur-atur terus, Ma? Terserah aku dong!”
Aku tanya, “Memangnya kenapa Sayang?”
Bob menjawab, “Bosen! Aku kan pengen semua terserah aku!”
Oke. Lalu aku jelaskan, bahwa dia baru 5 tahun. Anak seumur dia sampai lulus SMA adalah anak yang ada di masa belajar bertanggung jawab dan belajar disiplin. Anak di rentang usia tersebut belum bisa diandalkan untuk membedakan antara benar dengan salah, baik dengan buruk, pantas dengan tidak pantas.
Dan Bob kembali bertanya, “Disiplin itu apa?” Hmm, aku terangkan, bahwa disiplin itu adalah mampu mengikuti aturan yang ada, mampu mengatur diri sendiri.
Masih penasaran, ia kembali bertanya, “Lalu kapan dong aku bisa disiplin?”
Waduh. Akhirnya aku jelaskan, disiplin itu musti dilatih. Itulah mengapa anak seusia dia sampai lulus SMA harus mengikuti aturan orangtua dan guru. Karena orangtua dan guru lah pihak-pihak yang menanamkan disiplin, tanggung jawab, sopan-santun, dan budi pekerti.
“Lalu kalo sudah lulus SMA?” kejar Bob.
“Anak yang sudah lulus SMA, anak kuliah, biasanya diharapkan sudah mampu untuk belajar mandiri, disiplin, dan bertanggung jawab. Mereka harus mulai menerapkan aturan untuk diri sendiri. Berangkat dan bangun tidur tidak diatur, belajar tidak diatur. Nanti kalo sudah lulus kuliah dan kerja, diharapkan mereka sudah siap menjadi orang yang benar-benar disiplin, mandiri, dan bertanggung jawab.”
Di sini Bob mulai berusaha memahami.
Sayangnya ternyata selama beberapa bulan terakhir ini aku justru membuktikan sendiri kalo teoriku bahwa anak kuliahan sudah memiliki sopan santun dan pantas untuk mulai diberi kebebasan mengatur kemandirian, kedisiplinan, serta tanggung jawab adalah salah. Anak kuliahan juga aku buktikan sendiri masih jauh dari standar moral dan pekerti yang berlaku di masyarakat umum. Pendapat ini aku dapat setelah aku mengalami sendiri rendahnya nilai-nilai dasar manusiawi yang dimiliki anak kuliahan jaman sekarang (maaf, mungkin pendapat ini mengandung generalisasi).
Mari aku ceritakan dua peristiwa yang mendasari generalisasi ini:
1. Ini tentang satu kampus di mana aku ngajar mata kuliah Komunikasi Periklanan saat semester ganjil dan Manajemen Periklanan saat semester genap.
Jumlah mahasiswanya hanya enam orang. UAS tiba. Dua minggu sebelum jadwal ujian mata kuliah yang aku ampu, aku memberikan tugas sebagai pengganti ujian dengan catatan tugas tersebut harus dikumpulkan pada hari dan jam ujian. Lembar tugas aku bagikan disertai satu soft copy untuk file bagian Pengajaran. Saat hari ujian tiba, tak ada seorang pun mahasiswa yang hadir dan menyerahkan ujian (untung aku tidak menunggui sendiri ujian tersebut) tanpa ada pemberitahuan apapun. Mereka baru mengumpulkannya dua minggu setelah tanggal ujian.
Baik, aku maafkan sekali ini. Dan semester berikutnya kami bertemu lagi di mata kuliah Manajemen Periklanan. Kami kembali menjalani perkuliahan dengan lancar, meski masalah kesukaan mereka membolos bareng-bareng kembali jadi salah satu hal yang menggangguku. Bayangkan saja, apa mereka tidak bisa berpikir untuk sekedar menelpon memberitahukan bahwa mereka tidak bisa masuk kuliah? Apa mereka tidak bisa berempati membayangkan pengajar yang bersusah payah meluangkan waktu untuk memberi tambahan ilmu, harus kecewa saat datang ke kampus dan menemui kelas yang kosong melompong? Pengalaman ini ternyata juga dialami dosen-dosen yang lain.
Saat UAS. Ternyata modus ketidaksensitifan mereka tersebut berulang lagi di UAS Manajemen Periklanan. Aku tunggu sampai seminggu setelah hari ujian, tetap tidak ada yang mengumpulkan tugas. Aku sampaikan ultimatum lewat bagian Pengajaran, bahwa aku sudah tidak akan mengambil tugas mereka ke kampus. Jadi aku persilakan yang menginginkan nilainya tetap keluar untuk mengumpulkan tugas mereka ke kantorku. Mereka akhirnya mengumpulkan tugas dua minggu setelah hari ujian. Nilai pun aku keluarkan dengan memberi nilai minimal untuk tugas UAS mereka, sehingga satu dari enam orang mahasiswa tersebut tidak lulus. Yang lainnya lulus dengan nilai mepet.
2. Pengalaman selanjutnya terjadi baru dalam minggu ini. Tentang satu kampus di mana aku mengajar Manajemen Periklanan di semester ganjil dan Copywriting di semester genap.
Di awal perkuliahan Manajemen Periklanan, aku memberikan tugas review buku bagi 38 peserta didik. Seminggu kemudian sebagian besar dari mahasiswa mengumpulkan tugas, meski kebanyakan masih bingung dan kurang memuaskan hasilnya.
Oke, itu bukan masalah karena aku bisa memberikan solusi perbaikan nilai. Perkuliahan pun aku anggap berjalan cukup lancar setelahnya. Kemarin, aku iseng dan sengaja membuka-buka profile-profile mahasiswa peserta Manajemen Periklanan tersebut di Facebook. Bukan pekerjaan yang gampang, karena belum ada satu pun yang masuk ke dalam friends list-ku dan kebanyakan menggunakan nama-nama samaran yang bahkan untuk melafalkannya pun sulit. Tapi aku punya satu dan lain cara untuk mencocokkan track mereka, dan masalah ini bukan intinya kok.
Singkat cerita, di salah satu profile ada yang menulus status JUNGLE BITCH ... JAM YAH MENE TUGASE LG RAMPUNG, ASYU ... GEK KERTAS QUARTONE ENTEK SISAN. JINGAN2 ... Banyak tanggapan yang masuk. Salah satunya dari teman dia (peserta manajemen Periklanan juga) yang menanyakan apa dia sudah selesai dengan tugas yang aku berikan. Tapi ia memberikan embel-embel ‘nggateli’ di depan namaku.
Aku kaget banget baca itu. Karena:
a. Seumur-umur aku ngajar di kampus tersebut (mahasiswa angkatan-angkatan sebelumnya), belum pernah ada mahasiswa yang bersikap tidak sopan terhadapku. Selama ini kami berhasil menjalin hubungan saling menghormati.
b. Baru pertemuan pertama oknum tersebut sudah berani menempelkan kata super kasar/kurang ajar/nggak sopan kepada aku? Apa pengalaman interaksinya sudah cukup untuk itu?
c. Tugas aku berikan untuk bekal pemahaman mereka di pertemuan-pertemuan selanjutnya. Tugas tidak aku berikan karena aku iseng atau pun aku secara subjektif ingin menyiksa mahasiswa.
d. Tugas itu hanya review buku, for God’s sake! Apa sih dari review buku yang layak diberi umpatan ‘nggateli’?
e. Mahasiswa menggunakan kata-kata umpatan dan kasar di forum yang bisa dibaca orang banyak? Apa bagusnya? Apa bangganya?
f. Last but not least, kita semua tahu Facebook adalah forum umum. Dan banyak kasus yang menceritakan orang-orang terperosok masalah pencemaran nama baik, penghinaan, dll di micro blog ini. Tidakkah ybs belajar dari berita-berita yang ada?
Ingat tidak, disiplin, budi pekerti, sopan-santun, dan rasa tanggung jawab yang aku sebut di atas? Terasa banget kalau orangtua berandil besar dalam penanamannya. Nah, apa aku salah jika aku mempertanyakan orangtua jenis apa yang membesarkan para mahasiswa tersebut di contoh? Apa perlu kampus mempertimbangkan sopan santun dan budi pekerti untuk dimasukkan dalam silabus perkuliahan? Karena ternyata bekal yang selama ini mereka dapat masih sangat kurang.
Aku menganggap hal ini terjadi karena kegagalan pengasuhan dari orangtua dan kegagalan pendidikan di jenjang sebelumnya. Dengan contoh seperti di atas, bisa dibayangkan atau tidak, bagaimana kacau-balaunya dunia kerja yang bakal mereka masuki? Bagaimana kagetnya partner kerja yang mereka temui? Bagaimana shock-nya klien yang harus menghadapi?
Sebagai catatan saja: aku mengajar di mana pun, karena kampus yang memintaku. Tak ada latar belakang finansial yang menjadi dorongan, meski tentu saja ada biaya transportasi yang wajib ditanggung kampus. Waktu yang banyak tersita, emosi ekstra yang harus disiapkan, pikiran yang harus diperas-peras adalah konsekuensi yang sama sekali tak bisa diukur dengan uang. Apalagi aku masih aktif bekerja di sebuah perusahaan periklanan. Kepuasanku hanya bisa diperoleh dengan keaktifan mahasiswa di ruang kuliah, usaha dan nilai yang mereka dapatkan, pengakuan dari pihak luar atas prestasi yang mereka capai, serta senyum tulus yang mereka berikan untuk ilmu praktis yang diterima yang memang tidak tersedia di kampus. Niat awal mengajar adalah untuk berbagi ilmu mengharap berkah Allah dari keikhlasan yang selalu aku coba lakukan.
Apakah aku harus mengkaji ulang motifku?
Aku ingat, beberapa hari yang lalu si Bob yang baru 5 tahun komplen, “Kok aku disuruh-suruh terus, diatur-atur terus, Ma? Terserah aku dong!”
Aku tanya, “Memangnya kenapa Sayang?”
Bob menjawab, “Bosen! Aku kan pengen semua terserah aku!”
Oke. Lalu aku jelaskan, bahwa dia baru 5 tahun. Anak seumur dia sampai lulus SMA adalah anak yang ada di masa belajar bertanggung jawab dan belajar disiplin. Anak di rentang usia tersebut belum bisa diandalkan untuk membedakan antara benar dengan salah, baik dengan buruk, pantas dengan tidak pantas.
Dan Bob kembali bertanya, “Disiplin itu apa?” Hmm, aku terangkan, bahwa disiplin itu adalah mampu mengikuti aturan yang ada, mampu mengatur diri sendiri.
Masih penasaran, ia kembali bertanya, “Lalu kapan dong aku bisa disiplin?”
Waduh. Akhirnya aku jelaskan, disiplin itu musti dilatih. Itulah mengapa anak seusia dia sampai lulus SMA harus mengikuti aturan orangtua dan guru. Karena orangtua dan guru lah pihak-pihak yang menanamkan disiplin, tanggung jawab, sopan-santun, dan budi pekerti.
“Lalu kalo sudah lulus SMA?” kejar Bob.
“Anak yang sudah lulus SMA, anak kuliah, biasanya diharapkan sudah mampu untuk belajar mandiri, disiplin, dan bertanggung jawab. Mereka harus mulai menerapkan aturan untuk diri sendiri. Berangkat dan bangun tidur tidak diatur, belajar tidak diatur. Nanti kalo sudah lulus kuliah dan kerja, diharapkan mereka sudah siap menjadi orang yang benar-benar disiplin, mandiri, dan bertanggung jawab.”
Di sini Bob mulai berusaha memahami.
Sayangnya ternyata selama beberapa bulan terakhir ini aku justru membuktikan sendiri kalo teoriku bahwa anak kuliahan sudah memiliki sopan santun dan pantas untuk mulai diberi kebebasan mengatur kemandirian, kedisiplinan, serta tanggung jawab adalah salah. Anak kuliahan juga aku buktikan sendiri masih jauh dari standar moral dan pekerti yang berlaku di masyarakat umum. Pendapat ini aku dapat setelah aku mengalami sendiri rendahnya nilai-nilai dasar manusiawi yang dimiliki anak kuliahan jaman sekarang (maaf, mungkin pendapat ini mengandung generalisasi).
Mari aku ceritakan dua peristiwa yang mendasari generalisasi ini:
1. Ini tentang satu kampus di mana aku ngajar mata kuliah Komunikasi Periklanan saat semester ganjil dan Manajemen Periklanan saat semester genap.
Jumlah mahasiswanya hanya enam orang. UAS tiba. Dua minggu sebelum jadwal ujian mata kuliah yang aku ampu, aku memberikan tugas sebagai pengganti ujian dengan catatan tugas tersebut harus dikumpulkan pada hari dan jam ujian. Lembar tugas aku bagikan disertai satu soft copy untuk file bagian Pengajaran. Saat hari ujian tiba, tak ada seorang pun mahasiswa yang hadir dan menyerahkan ujian (untung aku tidak menunggui sendiri ujian tersebut) tanpa ada pemberitahuan apapun. Mereka baru mengumpulkannya dua minggu setelah tanggal ujian.
Baik, aku maafkan sekali ini. Dan semester berikutnya kami bertemu lagi di mata kuliah Manajemen Periklanan. Kami kembali menjalani perkuliahan dengan lancar, meski masalah kesukaan mereka membolos bareng-bareng kembali jadi salah satu hal yang menggangguku. Bayangkan saja, apa mereka tidak bisa berpikir untuk sekedar menelpon memberitahukan bahwa mereka tidak bisa masuk kuliah? Apa mereka tidak bisa berempati membayangkan pengajar yang bersusah payah meluangkan waktu untuk memberi tambahan ilmu, harus kecewa saat datang ke kampus dan menemui kelas yang kosong melompong? Pengalaman ini ternyata juga dialami dosen-dosen yang lain.
Saat UAS. Ternyata modus ketidaksensitifan mereka tersebut berulang lagi di UAS Manajemen Periklanan. Aku tunggu sampai seminggu setelah hari ujian, tetap tidak ada yang mengumpulkan tugas. Aku sampaikan ultimatum lewat bagian Pengajaran, bahwa aku sudah tidak akan mengambil tugas mereka ke kampus. Jadi aku persilakan yang menginginkan nilainya tetap keluar untuk mengumpulkan tugas mereka ke kantorku. Mereka akhirnya mengumpulkan tugas dua minggu setelah hari ujian. Nilai pun aku keluarkan dengan memberi nilai minimal untuk tugas UAS mereka, sehingga satu dari enam orang mahasiswa tersebut tidak lulus. Yang lainnya lulus dengan nilai mepet.
2. Pengalaman selanjutnya terjadi baru dalam minggu ini. Tentang satu kampus di mana aku mengajar Manajemen Periklanan di semester ganjil dan Copywriting di semester genap.
Di awal perkuliahan Manajemen Periklanan, aku memberikan tugas review buku bagi 38 peserta didik. Seminggu kemudian sebagian besar dari mahasiswa mengumpulkan tugas, meski kebanyakan masih bingung dan kurang memuaskan hasilnya.
Oke, itu bukan masalah karena aku bisa memberikan solusi perbaikan nilai. Perkuliahan pun aku anggap berjalan cukup lancar setelahnya. Kemarin, aku iseng dan sengaja membuka-buka profile-profile mahasiswa peserta Manajemen Periklanan tersebut di Facebook. Bukan pekerjaan yang gampang, karena belum ada satu pun yang masuk ke dalam friends list-ku dan kebanyakan menggunakan nama-nama samaran yang bahkan untuk melafalkannya pun sulit. Tapi aku punya satu dan lain cara untuk mencocokkan track mereka, dan masalah ini bukan intinya kok.
Singkat cerita, di salah satu profile ada yang menulus status JUNGLE BITCH ... JAM YAH MENE TUGASE LG RAMPUNG, ASYU ... GEK KERTAS QUARTONE ENTEK SISAN. JINGAN2 ... Banyak tanggapan yang masuk. Salah satunya dari teman dia (peserta manajemen Periklanan juga) yang menanyakan apa dia sudah selesai dengan tugas yang aku berikan. Tapi ia memberikan embel-embel ‘nggateli’ di depan namaku.
Aku kaget banget baca itu. Karena:
a. Seumur-umur aku ngajar di kampus tersebut (mahasiswa angkatan-angkatan sebelumnya), belum pernah ada mahasiswa yang bersikap tidak sopan terhadapku. Selama ini kami berhasil menjalin hubungan saling menghormati.
b. Baru pertemuan pertama oknum tersebut sudah berani menempelkan kata super kasar/kurang ajar/nggak sopan kepada aku? Apa pengalaman interaksinya sudah cukup untuk itu?
c. Tugas aku berikan untuk bekal pemahaman mereka di pertemuan-pertemuan selanjutnya. Tugas tidak aku berikan karena aku iseng atau pun aku secara subjektif ingin menyiksa mahasiswa.
d. Tugas itu hanya review buku, for God’s sake! Apa sih dari review buku yang layak diberi umpatan ‘nggateli’?
e. Mahasiswa menggunakan kata-kata umpatan dan kasar di forum yang bisa dibaca orang banyak? Apa bagusnya? Apa bangganya?
f. Last but not least, kita semua tahu Facebook adalah forum umum. Dan banyak kasus yang menceritakan orang-orang terperosok masalah pencemaran nama baik, penghinaan, dll di micro blog ini. Tidakkah ybs belajar dari berita-berita yang ada?
Ingat tidak, disiplin, budi pekerti, sopan-santun, dan rasa tanggung jawab yang aku sebut di atas? Terasa banget kalau orangtua berandil besar dalam penanamannya. Nah, apa aku salah jika aku mempertanyakan orangtua jenis apa yang membesarkan para mahasiswa tersebut di contoh? Apa perlu kampus mempertimbangkan sopan santun dan budi pekerti untuk dimasukkan dalam silabus perkuliahan? Karena ternyata bekal yang selama ini mereka dapat masih sangat kurang.
Aku menganggap hal ini terjadi karena kegagalan pengasuhan dari orangtua dan kegagalan pendidikan di jenjang sebelumnya. Dengan contoh seperti di atas, bisa dibayangkan atau tidak, bagaimana kacau-balaunya dunia kerja yang bakal mereka masuki? Bagaimana kagetnya partner kerja yang mereka temui? Bagaimana shock-nya klien yang harus menghadapi?
Sebagai catatan saja: aku mengajar di mana pun, karena kampus yang memintaku. Tak ada latar belakang finansial yang menjadi dorongan, meski tentu saja ada biaya transportasi yang wajib ditanggung kampus. Waktu yang banyak tersita, emosi ekstra yang harus disiapkan, pikiran yang harus diperas-peras adalah konsekuensi yang sama sekali tak bisa diukur dengan uang. Apalagi aku masih aktif bekerja di sebuah perusahaan periklanan. Kepuasanku hanya bisa diperoleh dengan keaktifan mahasiswa di ruang kuliah, usaha dan nilai yang mereka dapatkan, pengakuan dari pihak luar atas prestasi yang mereka capai, serta senyum tulus yang mereka berikan untuk ilmu praktis yang diterima yang memang tidak tersedia di kampus. Niat awal mengajar adalah untuk berbagi ilmu mengharap berkah Allah dari keikhlasan yang selalu aku coba lakukan.
Apakah aku harus mengkaji ulang motifku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar