Rabu, 06 Oktober 2010
Menyikapi Kecurangan Calon Klien
Seorang calon klien mengajak ketemuan karena ia ingin membuat event dan sekalian membuat logo perusahaan barunya. Akhirnya kita datang berempat.
Perkembangan selanjutnya, si calon klien banyak bertanya soal strategi menggelar event, plus minus venue, budgeting, konten, dll, dll. Tentu saja dia juga minta beberapa alternatif logo untuk kita tunjukkan.
Beberapa hari kemudian kami datang lagi dengan hasil logo (yang menurut kami kurang maksimal, karena memang input dari dia tidak memadai) yang niatnya kami gunakan sebagai pancingan supaya dia bisa memberi masukan lebih jauh lagi.
Ternyata pembicaraan kali itu merembet ke biaya-biaya yang harus dia keluarkan. Setelah dikomparasikan dengan perusahaan lain, dia memandang bahwa harga kita lebih mahal. Padahal kita memberikan beberapa penjelasan di mana letak kemahalan tersebut bisa dirasionalisasikan. Dia juga kaget dengan beberapa treatment pemberian harga dari kita (yang memang sudah blunder dari awal ketemu). Hingga saat itu pun aku ngerasa, prospek kerjasama antara dua pihak kecil sekali bisa terjadi.
Nah, bener saja. Setelah itu, selama beberapa hari si klien jadi sulit banget dihubungi. Akhirnya baru hari ini aku dengar kabar kalo dia gak jadi pake kita dengan alasan, “Tidak suka dengan desain logo yang kita ajukan”. Padahal sejak awal kan memang sudah aku terangkan tuh, kalo logo yang kita ajukan ke dia cuma pancingan, karena input yang memang minim banget, padahal ekspektasi dia tinggi.
Jadi sampai di sini saja lah hubungan kerja sama yang belum terjalin.
Ganjelanku adalah …
Selama beberapa kali pertemuan, aku sudah diseret ke tempat si klien untuk memberikan advis banyak sekali. Dengan gagalnya proyek ini, yakin deh, dia pasti lari ke agensi lain pilihan dia, dengan bekal advis segudang yang sudah terlanjur kita berikan.
Aku pengen banget kita bisa nge-charge cancellation fee. Tapi sayang, selama ini kasus cancellation fee belum pernah naik ke permukaan kantor. Jadinya sekarang aku ilfil banget. Rasanya kok dikadali tanpa bisa balas. Dirampok tanpa sempat menjerit minta tolong, ditipu tanpa bisa lapor polisi.
Ada beberapa pemikiran yang sempat muncul untuk kasus-kasus seperti ini:
1. Jelas, seharusnya kita menerapkan cancellation fee dari awal. Sebelum klien memanggil, kita tegaskan bahwa memang begitulah cara kerja yang benar. Bukannya datang dengan full team, habis itu diskusi panjang lebar, dan kerjasama dibatalkan secara sepihak.
2. tapi jika itu dilakukan, maka pasti akan muncul ganjalan di tim Marketing. Bagaimana mereka bisa ‘jualan’ jika calon-calon klien mereka sudah ditakut-takuti dari awal dengan cancellation fee?
3. Nah, agar besok lagi kasus seperti ini tak terjadi lagi dan lagi, kayaknya harus ada rumus baku yang musti kita canangkan. Menurutku sih … saat ada calon klien menghubungi, sudah tugas Marketing untuk menindaklanjuti. Temui si calon klien, cari tahu kebutuhan mereka, cari tahu ekspektasi mereka, pastikan keseriusan mereka, dapatkan insight mereka, gali kebingungan mereka. Setelah itu, masih tugas Marketing untuk memberi arahan awal dan merumuskan sejauh mana tim kita perlu terlibat dalam memberikan advis. Karena terlalu banyak overhead karyawan yang didatangkan untuk calon kien akan berimbas pada biaya operasional yang terbebankan bagi proyek yang belum pasti kan?
4. Jika memang rumusan sudah didapat, masih tugas Marketing untuk membicarakan term and condition kerjasama, termasuk pembebanan cancellation fee.
5. jika kesepakatan sudah dicapai, baru deh tim lebih luas boleh dilibatkan.
Semoga pemikiran ini bisa jadi patokan tim kantor dalam mengadakan pertemuan dengan calon klien. Semoga kesebalan tidak muncul lagi kemudian. Semoga besok lagi blunder-blunder tidak perlu terjadi dan pertemuan dengan calon klien bisa membuahkan kesepakatan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar