Sementara rengekan Bob meminta ditemani pipis berkali-kali mampu membuat ketikanku kembali ke alam antah berantah. Belum lagi pancingan-pancingannya untuk meladeni bercanda, keluhannya karena aku yang berkali-kali menyuruhnya mengecilkan volume TV. Agak sore, waktu aku suruh tidur agar aku bisa memahami batik semen rama dengan tenang, si Bob justru merengek-rengek tak mau tenang. Segala cara dia lakukan untuk memveto keputusan tidur siang.
Akhirnya papanya menyuruhnya untuk mandi, dan setelahnya boleh berlatih sepeda (hal yang dari tadi sebenarnya ia minta). Habis mandi, giliran papanya yang ngadat tak mau menemani si Bob latihan sepeda. Halah, aku juga yang nemenin?
Akhirnya setelah dibujuk dengan kenyataan pileknya yang agak parah, si Bob mau menunda latihan sepeda, dengan ganti ia ingin main ke rumah budenya. Oke, aku antar ke sana.
Sayang, sepulang dari pintu belakang rumah Bude, aku justru sudah males banget mengais-ngais fakta tentang semen rama yang dari tadi pagi membuatku puyeng ini. Lalu aku berjalan ke halaman, dan mendapati dua pohon talok yang menaungi kiri dan kanan halaman, sudah kembali digayuti buah merah-merah berkilau manis.
Rasanya baru kemarin pagi aku meloncat-loncat memetiki buahnya. Ternyata si pohon tidak mau lama-lama mengecewakan yang punya, dan berusaha segenap cara memenuhi suplai warna merah di ujung-ujung tangkainya.
Aku juga merasa tak mau menyakiti hati si pohon. Kalau mereka sudah bersedia bersusah-payah mengeluarkan bulatan-bulatan manis itu di sana, bukankah seharusnya aku mau sedikit meluangkan tenaga untuk memetikinya?
Maka dengan sedikit berjingkat, aku petik bulir buah yang ada di jangkauan tinggiku yang 168 cm ini. Cuci dulu? No way. Enakan juga kalau langsung dikulum. Setelah yang terjangkau jinjitan lenyap terlibas perut, aku tambah sedikit upaya dengan menarik tangkai-tangkai yang ada di depan hidung. Aku raih, tarik, rengkuh. Dan segenggam talok kembali bisa menjadi bukti kemenanganku.
Buah kecil mungil seukuran kuku jempol tangan ini meski tidak segar dengan muncratan sari buah yang berlimpah, masih tetap menyimpan sensasi renyah dengan selipan biji halus yang kabarnya bisa ratusan butir per biji buah. Aromanya manis dan wangi dengan kulit buah yang merona berkilauan.
Talok yang waktu kecilku dulu di Magelang sangat akrab dengan sapaan nama kersen ini termasuk tanaman perdu yang bisa mencapai tinggi beberapa meter. Begitu pula yang ada di halaman rumah. Dengan usia yang baru sekitar empat tahun, bentuk dan kerindangannya menyerupai pohon beringin di tengah alun-alun kota. Daun pohon ini rimbun dengan warna hijau muda, dan terasa kesat berbulu saat diraba. Tebaran bunganya tak kenal musim. Pantas saja buahnya juga selalu bermunculan meski buah-buahan lain silih berganti menyapa di kios pedagang pinggir jalan.
Mengapa aku meributkan talok? Hhh, selain karena memang sedang butuh refreshing dari gempuran filosofi semen rama dan sida mukti yang memusingkan, aku juga baru saja merasakan manfaat tanaman talokku. Oke, bukan karena talok bisa mengobati asam urat ya ... karena memang aku tidak mengalami gangguan penyakit tersebut. Ini lebih karena saat aku meraih, menjangkau, menerpa, menerjang, meloncat mencoba memetik talok yang merah menggoda, aku merasakan dorongan untuk terus meregangkan tubuh. Tentu saja yang pertama menjadi sasaran adalah yang ada tepat di depan mata. Tapi begitu yang setinggi itu habis, aku menaikkan pandangan, dan meraih yang sejangkauan. Begitu tangan sudah tidak bisa meraih, giliran tubuh yang diulur dan kaki meloncat-loncat. Akhirnya kaki pun menyerah kalah. Maka aku memutuskan sudah saatnya tongkat dan kursi teras beraksi menopang energiku. Dan hasilnya? Lumayan. Selain rasa puas berhasil menggunduli pohonku, keringat juga bercucuran dan otot terasa dipekerjakan habis-habisan.
Pohon talokku, terima kasih. Sampai jumpa besok pagi ya :)